LIPUTAN KHUSUS:

Aktivis Minta Pemimpin ASEAN Tolak Strategi Energi Kotor Jepang


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Para aktivis iklim di Asia mengadakan aksi yang mendesak para pemimpin untuk memperkuat kerja sama mereka dalam transisi energi bersih di kawasan ini dan menolak promosi bahan bakar fosil oleh Jepang.

Energi

Kamis, 07 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejalan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke-43, yang digelar pada 5-7 September 2023, di Jakarta, para aktivis iklim di Asia mengadakan aksi yang mendesak para pemimpin untuk memperkuat kerja sama mereka dalam transisi energi bersih di kawasan ini dan menolak promosi bahan bakar fosil oleh Jepang.

KTT ini ditutup pada Hari Udara Bersih untuk Langit Biru PBB. Kelompok ini mengatakan, peningkatan kualitas udara di kawasan ini--serta mengatasi krisis iklim dan energi--membutuhkan peningkatan sumber energi yang bersih dan terjangkau, seperti tenaga surya dan angin.

"Memburuknya kualitas udara di Jakarta baru-baru ini dan kejadian cuaca ekstrem di Asia menunjukkan kebutuhan mendesak bagi kawasan ini untuk beralih dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas ke energi bersih dan menjaga pemanasan dalam ambang batas 1,5 derajat Celcius," kata Novita Indri, Juru Kampanye Energi di Trend Asia.

Kualitas udara yang buruk merupakan masalah regional di seluruh negara anggota ASEAN, yang sebagian besar mengandalkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Menurut World Air Quality Index, Jakarta adalah salah satu kota yang paling tercemar di dunia. Polusi di kota ini disebabkan oleh lalu lintas, pabrik, dan pembakaran terbuka.

Kondisi Jakarta yang tampak berkabut asap akibat polusi udara. Foto: Trend Asia.

Meskipun semua faktor ini berkontribusi terhadap polusi udara, pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara yang terus menerus memiliki dampak yang besar. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), emisi polutan udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia telah meningkat 110% dalam sepuluh tahun terakhir.

Di bawah kebijakan negara saat ini, jumlah ini diperkirakan akan meningkat 70 persen lagi pada 2030. Menurut Indri, ASEAN seharusnya tidak hanya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pusat pertumbuhan energi terbarukan.

"Polusi udara hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah yang akan terus terjadi, menyebabkan penyakit bagi ratusan ribu warga dan ribuan kematian jika Indonesia terus bergantung pada bahan bakar fosil seperti batu bara," ujar Indri.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, polusi udara yang disebabkan oleh bahan bakar fosil juga menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar bagi negara-negara ASEAN, terutama Indonesia.

Bondan bilang, di Indonesia, biaya pengobatan enam jenis penyakit pernapasan melalui Jaminan Kesehatan Sosial (Jamsostek) meroket hingga Rp10 triliun atau setara dengan USD656 juta pada 2022, dan tren kenaikan ini akan terus berlanjut di 2023

"Tekanan keuangan ini menyoroti sebuah keharusan yang jelas: kita harus mempertimbangkan dampak kesehatan dari bahan bakar fosil. Untuk memerangi polusi udara secara efektif, kita harus beralih dari bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi bersih seperti tenaga surya dan angin. Ini adalah langkah penting untuk memastikan masa depan yang lebih bersih dan lebih sehat di seluruh negara ASEAN," terang Bondan.

Kelompok ini mengatakan, salah satu hambatan utama dalam transisi energi bersih adalah strategi energi kotor Jepang untuk kawasan ini. Jepang, salah satu penyandang dana terbesar untuk proyek-proyek bahan bakar fosil, merupakan pendukung utama proyek-proyek gas di Asia, bersama dengan teknologi berbasis fosil yang menurut para ahli akan memperpanjang penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara. Pemerintah Jepang juga mempelopori "Asia Zero Emissions Community (AZEC)" dan "Asia Energy Transition Initiative (AETI)," inisiatif yang mereka katakan mendukung upaya dekarbonisasi para mitra ASEAN.

Namun, kelompok tersebut menyebut inisiatif-inisiatif tersebut mencakup apa yang disebut sebagai solusi palsu terhadap krisis iklim, seperti liquefied natural gas (LNG), hidrogen fosil, carbon capture and storage (CCS), dan pembakaran bersama amonia dan biomassa (pelet kayu) pada pembangkit listrik tenaga batu bara, yang melibatkan ketergantungan berkelanjutan pada bahan bakar fosil.

Menurut lembaga think tank Transition Zero, pembakaran bersama amonia pada pembangkit listrik tenaga batu bara di Asia Tenggara pada tingkat yang paling layak secara teknologi tidak akan mengurangi emisi sesuai dengan target emisi nol bersih International Energy Agency’s (IEA) pada 2050. Demikian pula, peralihan dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke pembangkit listrik tenaga gas secara global tidak akan cukup mengurangi emisi untuk memenuhi target iklim, demikian ungkap lembaga think thank Global Energy Monitor.

Selain tujuan dekarbonisasi, kelompok ini mengatakan bahwa keamanan energi adalah alasan utama mengapa negara-negara anggota ASEAN harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, termasuk gas. Menurut para ahli energi, negara-negara berkembang di Asia harus menghindari kontrak-kontrak yang mengunci mereka pada LNG, bahan bakar yang menjadi lebih tidak stabil setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu.

Meskipun begitu, pernyataan bersama yang dirilis pada Agustus oleh para Menteri ASEAN tentang Energi Plus Tiga (Cina, Jepang, Korea) mendorong penyebaran teknologi ini, dan menekankan peran LNG untuk keamanan energi di wilayah ini.

"Kami mendesak negara-negara anggota ASEAN untuk memperkuat kerja sama mereka untuk transisi energi yang adil. ASEAN harus berdiri melawan energi kotor dan strategi solusi palsu Jepang untuk kawasan ini. Mereka harus menghentikan ekspansi energi gas di kawasan ini dan promosi teknologi berbasis fosil yang hanya berfungsi untuk melegitimasi ekstraksi bahan bakar fosil dan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara," ujar Lidy Nacpil, koordinator Asian Peoples' Movement on Debt and Development (APMDD) dan penyelenggara "Don't Gas Asia Campaign" dari Asian Energy Network.

Dengan adanya penurunan biaya di seluruh dunia, para ahli mengatakan berinvestasi pada tenaga surya dan angin merupakan cara yang paling hemat biaya untuk mengurangi emisi, terutama dibandingkan dengan teknologi seperti pembakaran batu bara amonia. Namun, ASEAN masih tertinggal dalam hal tenaga surya dan angin dibandingkan dengan negara-negara lain.

Saat ini, pasokan tenaga surya dan angin hanya mencapai kurang dari 5% dari bauran energi di sebagian besar negara ASEAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kapasitas tenaga surya terendah yang terpasang, meskipun Indonesia berhasil menghemat biaya bahan bakar sebesar USD10 juta dari Januari hingga Juni tahun lalu berkat tenaga surya.

"Ada jalur alternatif yang ditujukan untuk memastikan akses universal terhadap kebutuhan energi dasar masyarakat dan komunitas, serta mencegah bencana iklim. Kami menuntut transisi yang langsung, cepat, adil dan merata ke sistem energi terbarukan," kata Nacpil.