LIPUTAN KHUSUS:

Suku Marind Jatuhkan Sanksi Adat kepada PT Dongin Prabawa


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Anak perusahaan Tunas Sawa Erma (TSE) Group itu--sebelumnya Korindo Group--dituntut membayar sanksi adat Rp5,3 miliar oleh masyarakat adat karena pelanggaran yang dilakukan.

Masyarakat Adat

Rabu, 06 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat adat Marind dari Marga Samkakai di Distrik Ngguti, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, melakukan ‘Palang Adat’ menjatuhkan sanksi hukum adat terhadap PT Dongon Prabhawa, yang beroperasi di daerah Mam, pinggir Kali Digoel, pada Selasa (29/8/2023) lalu. Anak perusahaan Tunas Sawa Erma (TSE) Group itu--sebelumnya Korindo Group--dituntut membayar Rp5,3 miliar oleh masyarakat adat karena pelanggaran yang dilakukan.

Kepala marga Samkakai, Yohanis Samkakai bersama puluhan anggota marga, menancapkan Palang Adat yang terbuat dari kayu diberi warna, pucuk daun kelapa dan beberapa tanaman adat, di pagar halaman kantor Divisi XII PT Dongin Prabhawa, disertai ucapan ritual adat Marind. Masyarakat membentangkan tikar adat dan menduduki halaman depan kantor Divisi XII. Palang Adat juga pernah dijatuhkan masyarakat pemilik tanah di lokasi pabrik CPO ketiga PT Dongin Prabhawa pada Mei 2023 lalu.

Sanksi Palang Adat ini dilakukan karena perusahaan telah melakukan pelanggaran, yakni merusak hutan dan membangun kebun sawit di tempat yang bernama lokal Tabul Epe. Masyarakat memerkarakan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang belakangan diketahui mengembangkan lahan kelapa sawit berada di luar HGU.

Pada 6 Agustus 2023, perusahaan menggusur dan mengubur tanaman kelapa sawit di luar HGU yang sudah ditanam sejak 2017 dan telah dipanen. Luas penggusuran diperkirakan sekitar satu kilometer dengan lebar 500 meter.

Masyarakat adat Marind, Marga Samkakai, membentangkan tikar adat dan menduduki halaman depan kantor Divisi XII PT Dongin Prabawa. Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Menurut Yohanis, sekitar 2016 silam, masyarakat menolak rencana perkebunan sawit di wilayah adat tersebut dan melakukan pemalangan. Pada 2017, perusahaan mengabaikan penolakan masyarakat dan tetap menggusur dan mengembangkan kebun di Tabul Epe.

“Perusahaan telah melakukan penanaman melewati batas HGU. Kami masyarakat sudah pernah melakukan audiensi dan berkomunikasi dengan pihak perusahaan sebanyak 4 kali untuk dapat segera mengambil tindakan penyelesaian terhadap pelanggaran tersebut. Kami masyarakat adat meminta ganti rugi berupa uang tetapi tidak bisa dijawab,” kata Yohanis Samkakai, dalam sebuah keterangan tertulis, 30 Agustus 2023.

Marga Samakakai menuntut tanggung jawab perusahaan membayar sanksi kerugian dan kompensasi atas tanah dan hutan adat yang hilang sebesar Rp5,3 miliar, dan sanksi pembukaan Palang Adat sebesar Rp300 juta. Namun sejauh ini perusahaan ini belum memberikan tanggapan.

Menurut keterangan General Manager PT Tunas Sawa Erma, Jimmy Senduk, bahwa awalnya perusahaan menanam pohon sawit berdasarkan batas HGU dari Badan Pertanahan Nasional. Namun setelah pengukuran kembali oleh pihak kehutanan dan keluar keputusan batas HGU yang notabene begeser masuk ke dalam, perusahaan kemudian mengikuti batas kehutanan agar tidak jadi persoalan ke depannya.

Menurut Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, pengembangan kebun tanpa HGU jelas melanggar hukum negara, merugikan keuangan negara karena tidak melaksanakan kewajiban keuangan pada negara, dan merugikan asset masyarakat adat.

Tanah Papua Incaran Perkebunan Sawit

Franky melanjutkan, Tanah Papua sedang menjadi incaran bidikan pebisnis industri ekstraktif, di antaranya bisnis perkebunan dan minyak kelapa sawit. Pemerintah dan lembaga keuangan mempromosikan potensi sumber daya alam dan mengundang investor dalam beberapa forum ekonomi.

Yayasan Pusaka mencatat, saat ini terdapat 90 perusahaan yang telah memiliki izin bisnis kelapa sawit di Tanah Papua dengan luas lahan dan hutan yang telah dikonversi sebesar 2.208.004 hektare. Berbagai masalah terungkap dan dikeluhkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil atas pemberian izin dan praktik industri minyak kelapa sawit skala luas di Tanah Papua.

Pada 2021, Pemerintah Provinsi Papua Barat (sebagian sudah menjadi Provinsi Papua Barat Daya, 2022) melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dan belasan izin perusahaan kelapa sawit telah dicabut dan dikurangi areal usahanya, karena melakukan pelanggaran kewajiban legal berdasarkan perizinan yang diberikan.

Pemerintah Provinsi Papua (sebelum pemekaran, 2022) juga melakukan evaluasi untuk perbaikan tata kelola perizinan, optimalisasi penerimaan negara dan upaya menjaga luas tutupan hutan. Berbasiskan analisis legal dan spasial terhadap 55 perusahaan yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua, pemerintah membuat rekomendasi pencabutan perizinan 33 perusahaan dan perbaikan tata kelola kepada 22 perusahaan.

"Namun tindak lanjut rekomendasi dalam bentuk keputusan, penertiban dan sanksi hukum, belum terealisasi hingga saat ini," kata Franky.

Di lapangan, lanjut Franky, masyarakat adat setempat masih mengeluhkan dan protes terhadap keberadaan dan aktivitas perusahaan dan pabrik minyak kepala sawit yang diduga tersangkut permasalahan perampasan tanah, pengabaian hak masyarakat adat, hak buruh, kekerasan, penggundulan hutan dan pencemaran lingkungan.

Kasus-kasus tersebut seperti terjadi di PT Permata Nusa Mandiri di Lembah Grime Nawa, Jayapura, PT Indo Asiana Lestari di Kali Mappi, Boven Digoel, PT Pusaka Agro Lestari di Mimika, PT Dongin Prabhawa di Mam dan PT Bio Inti Agrindo di Muting, Merauke, PT Permata Putera Mandiri di Jamarema, Sorong Selatan, PT Subur Karunia Raya di Teluk Bintuni, dan PT Inti Kebun Sejahtera di Moisegin, Sorong.

Penguasa Sawit di Papua Selatan

Pusaka mendokumentasikan penguasa sawit di Tanah Papua berbasiskan izin konversi hutan dan izin perkebunan serta luas lahan yang diterbitkan pemerintah daerah dan nasional, dan data pemilik saham yang diterbitkan Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM. Perusahaan-perusahaan ini dikenal juga memiliki pasar dan produsen pembeli minyak kelapa sawit di luar Tanah Papua hingga ke internasional.

"Ada 20 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan perkebunan skala luas di Tanah Papua, di antaranya 15 perusahaan merupakan perusahaan modal asing (PMA)," ungkap Franky.

Franky menyebut, 10 perusahaan pemilik lahan perkebunan kelapa sawit memiliki total konsesi yang luas, yakni Korindo Group dan/atau Tunas Sawa Erma Group (berubah nama sejak 2021) melalui tujuh perusahaan menguasai lahan 148.651 hektare, Indo Gunta (Salim Group) melalui enam perusahaan menguasai lahan 135.177 hektare, Pacific Interlink Group melalui tiga perusahaan menguasai lahan 118.321 hektare.

Kemudian, Capitol Group melalui tiga anak perusahaan menguasai lahan 97.046 hektare, Austindo Nusantara Jaya Group melalui tiga anak perusahaan menguasai lahan 82.468 hektare, Digoel Agri Group melalui dua anak perusahaan menguasai lahan 78.630 hektare, KPN Group melalui dua anak perusahaan menguasai lahan 73.540 hektare, Indonusa Agromulia Group melalui tiga anak perusahaan menguasai lahan 62.174 hektare, Cliandry Anky Abadi Group melalui tiga anak perusahaan menguasai lahan 53.968 hektare, dan Sinar Mas Group melalui dua anak perusahaan menguasai lahan 40.678 hektare.

"Pemerintah telah mengatur batas luas maksimum kepada setiap grup perusahaan perkebunan kelapa sawit dan komoditi lainnya. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 98 Tahun 2013, Pasal 17, bahwa batas paling luas izin usaha perkebunan di wilayah Papua seluas 100.000 hektare. Praktiknya berbeda dan melanggar hukum."

Franky melanjutkan, beberapa perusahaan ini mengunggah dan mempromosikan komitmen penerapan pembangunan perkebunan berkelanjutan menyangkut aspek tanggung jawab sosial, penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan konservasi alam. Tumpukan piagam penghargaan atas ganjaran komitmen ditampilkan dalam laman web. Komitmen ini bukan sekedar menunjukkan kepatuhan hukum pada standar bisnis berkelanjutan, namun juga sebagai ‘pelaris’ produk untuk menarik minat lembaga keuangan dan pasar pembeli.

Perusahaan Tunas Sawa Erma Group atau Korindo Group, nama yang dikenal masyarakat adat setempat, pada laman websitenya menuliskan komitmen dan kebijakan pengembangan kebun berkelanjutan, untuk menghormati HAM, hak masyarakat adat dan buruh, penciptaan lapangan kerja, kontribusi sosial, perlindungan lingkungan hidup, penurunan emisi karbon dan memanfaatkan lahan yang telah ditetapkan pemerintah, dan sebagainya. Perusahaan menunjukkan penghargaan dan sertifikat ISPO yang diberikan kepada anak perusahaan pada 2016 dan 2019.

Penegakan Hukum

Perhatian dan sorotan terhadap tata kelola industri kelapa sawit semakin meningkat menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK, 2019) yang menemukan masih banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki HGU, banyak kebun plasma belum dibangun, tumpang tindih dengan pertambangan, menggarap kawasan di luar izin yang sudah diberikan pemerintah.

Pada April 2023, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (Selanjutnya disebut Satgas Sawit). Satgas Sawit dibentuk dan ditugaskan untuk penanganan dan peningkatan tata kelola industri kelapa sawit, penyelesaian dan pemulihan penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak pada industri kelapa sawit.

Pimpinan Satgas Sawit adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Pengarah dan Wakil Menteri Keuangan sebagai Pelaksana Satgas. Satgas ini juga melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan. Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

“Saya ulangi, pemerintah akan tegas para pelaku usaha yang tidak menghiraukan segala upaya yang tengah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit,” tegas Luhut Binsar Pandjaitan dalam Konferensi Pers, pada 23 Juni 2023.

Pernyataan ini, menurut Franky, belum memberikan efek jera terhadap perusahaan untuk patuh hukum dan kewajiban sosialnya. Demikian pula, proses pelaporan diri (Self Reporting) perizinan perusahaan tanpa diikuti penertiban dan penegakan hukum belum akan menyelesaikan masalah.

Solusi pemberian sanksi administrasi melalui pemutihan perizinan tanpa diikuti pemulihan dan rehabilitasi hak masyarakat adat terdampak dan restorasi lingkungan terdampak, belum akan menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan pembaruan tata kelola industri kelapa sawit.

"Pemerintah daerah dan aparat penegakan hukum seharusnya segera tanggap atas keluhan yang berulang, seperti dalam kasus marga Samkakai di Distrik Ngguti, Kabupaten Merauke," ucap Franky.