LIPUTAN KHUSUS:

Walhi: PLTU Captive di Sulawesi Rugikan Lingkungan dan Masyarakat


Penulis : Kennial Laia

PLTU captive, yang memasok kebutuhan listrik untuk smelter nikel, di pulau Sulawesi disebut telah merusak lingkungan, dan menghancurkan penghidupan dan kesehatan masyarakat lokal.

Tambang

Kamis, 15 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Operasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang menyuplai listrik ke smelter nikel di pulau Sulawesi (PLTU captive) dinilai telah menyebabkan kerusakan ekologis dan merugikan masyarakat setempat. Dampak negatif itu mulai dari kesehatan, kehilangan mata pencaharian, hingga risiko banjir.

Temuan itu diungkap oleh tiga organisasi yakni Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Selatan, dan Walhi Sulawesi Tenggara. Ketiganya melakukan investigasi selama lima bulan di masing-masing wilayah dalam gabungan Aliansi Sulawesi Terbarukan. 

Dampak negatif PLTU captive terjadi di Dusun 5, Desa Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Sunardi Katili, hasil investigasi mereka mengindikasikan adanya gas beracun sulfur dioksida hasil pembakaran batu bara yang berasal dari dua perusahaan smelter pemurnian nikel asal China di kawasan industri PT VDNI. 

“(Perusahaan) juga membendung Sungai Lampi tanpa sepengetahuan warga. Dikhawatirkan sewaktu-waktu hujan deras, itu bisa meluap dan merendam sawah dan pemukiman penduduk,” kata Sunardi dalam konferensi pers di Jakarta, 12 Juni 2023. 

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

Selain itu, perusahaan smelter berinisial PT GNI dan PT COR yang diresmikan pada 27 Desember 2021 itu tengah membangun tiga pembangkit listrik berkapasitas 300 MW di Tanage, Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Pembangunan dikhawatirkan mengganggu kesehatan warga, karena hanya berjarak 500 meter dari permukiman. 

“Warga sekitar PLTU sering menutup pintu dan jendela rumah agar terhindar debu hitam dari pembakaran batu bara. Setiap hari warga harus membersihkan rumahnya apalagi di puncak penghujung akhir tahun debu batubara masuk ke rumah warga,” terang Sunardi. 

Menurut Sunardi, perusahaan diduga mencaplok lahan warga seluas 65 hektare untuk perluasan pembangunan jetty. Pendapatan nelayan juga terpengaruh, karena laut tercemar bongkahan batu bara yang jatuh dari tongkang. 

Demikian pula masyarakat di kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, merasakan dampak negatif kesehatan. Riset Walhi Sulawesi Tenggara menemukan, tren penyakit ISPA di Kecamatan Morosi, Konawe meningkat selama tiga tahun terakhir. Data dari Puskesmas Morosi mencatat 440 kasus pada 2022. Namun jumlah penderitanya meningkat menjadi 704 kasus pada 2021 dan 796 kasus pada 2022. 

Direktur Walhi Sulawesi Tenggara, Andri Rahman, mengatakan tren peningkatan ISPA ini dipicu oleh polusi debu batu bara dari aktivitas perusahaan berinisial PT VDNI. Perusahaan ini diketahui membangun delapan unit PLTU batu bara dengan total kapasitas 530 MW, yang mengonsumsi batu bara sebanyak 180.000 per tahun. 

Sementara itu di desa Tani Indah, Konawe, Andi menyebut PT OSS mengoperasikan PLTU batu bara berkapasitas 1.820 MW. Aktivitas perusahaan pemurnian nikel itu disinyalir berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran udara. 

Andi menyebut, aktivitas PT OSS berkontribusi besar pada kerusakan lahan tambak di Desa Labota, Tani Indah, Lilimbue, dan Kapoiala baru. Desa-desa tersebut merupakan kawasan basah dengan komoditas unggulan seperti kepiting, udang dan bandeng. Pada 2018, Badan Pusat Statistik mencatat hasil produksi perikanan budidaya kabupaten Konawe mencapai 40.356 Ton. 

“Namun angka itu terus menurun di tahun-tahun berikutnya seiring dengan masifnya aktivitas perusahan,” jelas Andi.  

Andi menambahkan, usaha masyarakat seperti budidaya ikan dan pertanian turut tergerus. Pihaknya menemukan sebanyak 18 nelayan terpaksa berhenti karena tidak lagi menghasilkan dari laut yang tercemar, dan sekitar 151 hektare tambak tidak lagi digunakan karena rusak akibat debu batu bara. 

Tidak hanya itu, Andi mengatakan terdapat sekitar 8.400 hektare kawasan hutan lindung yang ditambang secara ilegal di Konawe Utara. Nikel hasil tambang itu kemudian dibawa ke perusahaan smelter. 

Sementara itu Direktur Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, mengatakan dua PLTU yang menyuplai listrik untuk PT HNI di kawasan industri Bantaeng telah menyebabkan daya rusak luar biasa pada lingkungan dan penghidupan masyarakat. 

Menurutnya, aktivitas pengolahan nikel PT HNI menyebabkan pencemaran berat pada Sungai Balla’ Tinggia dan pesisir laut desa Papanloe dan Desa Baruga. Kontaminasi logam berat kromium heksavalen dari limbah buangan pabrik telah melampaui baku mutu lingkungan. 

Berdasarkan hasil pengujian pada delapan titik sampel, ditemukan dua titik sampel yang memiliki kadar kromium heksavalen tinggi, yakni sebanyak >1 mg/L (ppm) pada badan air sungai Balla’ Tinggia yang bermuara ke laut. Lokasi pengambilan sampel merupakan tempat minum ternak milik warga sekitar

Patut diduga kuat maraknya kasus kematian hewan ternak di sekitaran wilayah tersebut disebabkan oleh racun logam kromium heksavalen,” kata Andi. 

Pencemaran air tersebut juga dirasakan oleh masyarakat pesisir Kecamatan Pa’jukukang. Gejala yang timbul sejak adanya pabrik menimbulkan kecenderungan penyakit gatal-gatal dan iritasi kulit pada petani rumput laut dan nelayan yang melakukan aktivitas di perairan tersebut.

Laut yang tercemar, akibat limbah panas dan bongkahan batu bara, berakibat pada turunnya tangkapan nelayan. Produksi rumput laut pun berkurang, sehingga buruh angkut ikan, udang, dan rumput laut kehilangan pendapatan karena menurunnya hasil tambak.