LIPUTAN KHUSUS:

Rumah Orangutan Tapanuli Terkepung Proyek Tambang dan Energi


Penulis : Aryo Bhawono

Orangutan tapanuli hanya hidup di ekosistem Batang Toru. Tapi, politik pengelolaan kawasan oleh pemerintah tidak berpihak pada konservasinya. Semestinya seluruh ekosistem Batang Toru dijadikan kawasan konservasi.

SOROT

Kamis, 23 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Mawas juhut bottar, nama lokal orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), hanya hidup di bentang alam Batang Toru. Sejak ditetapkan sebagai spesies tersendiri dari orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan sumatera (Pongo abelii) populasinya hanya mencapai sekitar 800 individu. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pun menetapkan statusnya sebagai terancam kritis (Critically Endangered) dalam Red List of Threatened Species

Bentang alam ini merupakan tipe ekosistem yang kompleks, terdiri atas hutan pegunungan rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan berlumut, dan beberapa rawa di ketinggian 800 mdpl. Percampuran hutan dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan ini menjadi habitat yang pas bagi orangutan tapanuli.

Tempat ini menyediakan kebutuhan utama orangutan tapanuli, seperti sumber makanan, bersarang, ruang untuk pergerakan musiman dan arboreal, hubungan sosial orangutan, dan perlindungan dari pemangsa mereka.

Perda Provinsi Sumatera Utara No. 27 Tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumut Tahun 2017-2037 mengatur mengenai kawasan ini. Bentang alam yang terentang di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah ini memiliki luas 240.985,21 hektare (ha) ini terbagi atas kawasan inti terdiri dari kawasan konservasi (suaka alam) dan hutan lindung seluas 147.771,82 ha. 

Kondisi bukaan lahan dalam proyek pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara./Kredit foto: Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara

Kemudian, kawasan penyangga berupa hutan produksi terbatas, hutan produksi dan areal penggunaan lain seluas 94.213,39 ha.

Togos, jantan alfa di Batang Toru. Spesies orangutan ini berada di ambang kepunahan karena proyek bendungan PLTA./Kredit Foto: Andrew Walmsley

Hutan Batang Toru terfragmentasi antara Blok Hutan Batang Toru Barat dan Blok Hutan Sarulla Timur Provinsi Sumatera Utara, serta beberapa cagar alam. 

Namun bentang alam ini terancam oleh tiga proyek besar, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla, dan tambang emas Martabe.

Proyek PLTA Batang Toru dibangun oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), perusahaan patungan PLN dengan BUMN Cina (SDIC). Pembangkit listrik ini dibangun dengan total luas lahan untuk keperluan pembangkit sendiri mencapai 122 ha. 

Tambang emas Martabe dikelola PT Agincourt Resources yang letaknya berdekatan dengan hutan Batang Toru Blok Barat. Luas wilayah tambang ini berdasarkan kontrak adalah 130.429 ha. 

Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) hanya hidup di ekosistem Batang Toru. Tiga cagar alam yang mendukung ekosistem Batang Toru luasnya lebih kecil dibandingkan dengan konsesi tambang yang berada di bentang alam ini. 

Perusahaan itu memiliki dua hamparan konsesi yang masuk dalam ekosistem Batang Toru, yakni seluas 427,2 ha yang sebagian masuk hutan lindung blok barat di sisi selatan dan seluas 15,7 ha yang sebagian berada di atas hutan lindung blok barat sisi utara. Sedangkan PLTP Sarulla (geotermal) yang dikelola oleh PT Medco Geothermal Indonesia berlokasi di antara Blok Hutan Batang Toru Barat dan Timur, di lembah Sarulla, Tapanuli Utara.

Komplek pembangkit dan wellpad Sarulla tersebar di beberapa titik dengan total luas (77,3 ha). Pada pemetaan komplek pembangkit ini adalah NIL Geothermal Power Plant seluas 41,5 ha, Sarulla Geothermal Limited seluas 7 ha, Sarulla Geothermal Power Plant seluas 21,2 ha, dan PT SOL-SIL Well Injection seluas 1,6 ha. 

Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, menganggap kondisi bentang alam yang terfragmentasi dan dibebani oleh berbagai proyek ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada orangutan tapanuli. 

Ketidakberpihakan ini ditunjukkan dengan perbandingan luas kawasan konservasi dengan konsesi tambang di ekosistem Batang Toru. Analisis citra satelit yang dilakukan Auriga menunjukkan tiga cagar alam yang mendukung ekosistem Batang Toru luasnya lebih kecil dibandingkan dengan konsesi tambang yang berada di bentang alam ini. 

Tiga cagar alam ini adalah Dolok Sibual-buali (5.021 ha), Dolok Sipirok (7.220 ha), dan Lubuk Raya (2.985 ha). Total luas ketiganya hanya 15.227 ha.

Sedangkan izin dalam ekosistem mencapai 26.677 ha. Izin ini dipegang oleh tambang batu quarry PT Kartika Indah Jaya, tambang quarry CV Militan, beberapa industri tambang pasir, dan paling besar adalah tambang emas Martabe. 

Artinya kawasan konservasi di ekosistem hanya 6 persen. Sedangkan izin tambang mencapai 17 persen. 

Proyek PLTA Batang Toru ini dianggap membahayakan ekosistem Batang Toru. Meski hanya membutuhkan lahan seluas 122 ha namun lokasinya di sungai dalam bentang alam itu akan mengancam satwa, terutama orangutan tapanuli./Foto: Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara 

“Politik pengelolaan kawasannya tidak berpihak pada kelestarian orangutan tapanuli. Semestinya seluruh ekosistem Batang Toru ditetapkan sebagai kawasan konservasi,” ucap Timer. 

Memang terdapat hutan lindung di ekosistem itu namun fungsi utamanya sebagai fungsi perlindungan mata air. Sedangkan fungsi perlindungan satwa idealnya dilakukan melalui penetapan kawasan konservasi yang mencakup kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam. 

Peneliti Auriga, Riszki Is Hardiyanto, menyebutkan PLTA Batang Toru memiliki posisi sentral meski tak seluas dengan tambang emas Martabe. Proyek ini berada di Sungai Batang Toru di ekosistem itu. Padahal sungai merupakan tempat bertemunya satwa, terutama orangutan tapanuli. 

Proyek yang membendung aliran Sungai Batang Toru ini memiliki area terdampak seluas 6.116 ha. 

Orangutan tapanuli, spesies yang hanya ada di ekosistem Batang Toru. Statusnya terancam sejak ditetapkan sebagai spesies tersendiri dari orangutan kalimantan dan orangutan sumatera.

Selain itu, kehadiran proyek berarti membuka akses manusia untuk masuk ke ekosistem sehingga meningkatkan risiko terhadap satwa dilindungi, termasuk soal perburuan. Risiko perburuan berbanding lurus dengan pembukaan lahan. 

“Artinya semakin terbuka kawasan habitat, pemburu jadi mudah masuk karena aksesnya mudah. Ini terjadi dimanapun,” ucap dia. 

Pembukaan lahan dari tiga proyek ini membahayakan seluruh bentang alam yang juga disebut ‘Harangan Tapanuli’.

Liputan ini merupakan kolaborasi Betahita, The Jakarta Post, CNN Indonesia, KBR 68H, Jaring.id, SIEJ, dan dukungan riset serta olah data Auriga Nusantara.  

Penanggung Jawab:
Sandy Indra Pratama

Tim Produksi:
Penulis: Aryo Bhawono
Riset dan Olah Data: Hafid Azi Harismi
Desain: Robby Eebor
Web Developer: Faizal Dinar Alfaqih