LIPUTAN KHUSUS:
Aksi Walk Out di COP 15
Penulis : Aryo Bhawono
Delegasi negara-negara berkembang walk out di COP 15 di Montreal, Kanada, saat beda pendapat pendanaan perlindungan untuk melindungi keanekaragam hayati.
Biodiversitas
Sabtu, 17 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Beda pendapat antara negara maju dan negara berkembang tentang tanggung jawab pembiayaan perlindungan ekosistem Bumi terjadi dalam KTT Keanekaragaman Hayati PBB (Cop 15) di Montreal, Kanada. Perpecahan ini mengancam menggagalkan COP 15 setelah sekelompok negara berkembang keluar dari diskusi dalam semalam.
Mulusnya kesepakatan KTT Iklim (Cop 27) di Mesir pada bulan November lalu, saat seluruh negara menyepakati pendanaan baru untuk mengkompensasi kerugian dan kerusakan akibat pemanasan global di negara-negara yang rentan, tidak terulang dalam COP 15 di Montreal. Negara-negara berkembang meninggalkan pembicaraan pada hari Rabu (14/12/2022) karena ketidaksepakatan mengenai keuangan.
Presidensi Cop15, Cina, berupaya mengorganisir pembicaraan dengan para pimpinan delegasi untuk menyelesaikan masalah ini aksi walk out terus berlanjut. Aksi ini dilakukan menyusul pertanyaan apakah negara-negara kaya, seperti Cina dan Brasil, harus mendapatkan lebih banyak bantuan untuk keanekaragaman hayati.
“Tidak ada yang bergerak sampai keuangan bergerak,” kata seorang pengamat yang dekat dengan pembicaraan tersebut, seperti dikutip dari Guardian.
Beberapa negara selatan menginginkan dana baru disepakati untuk keanekaragaman hayati sebagai bagian dari kesepakatan akhir di Kanada, di samping peningkatan pendanaan dari negara-negara kaya. Tetapi negara-negara donor di Eropa menentang pembentukan dana baru. Mereka mengatakan bahwa China, Brasil, dan negara ekonomi besar lainnya, yang telah tumbuh secara substansial dalam 30 tahun terakhir sejak perjanjian lingkungan PBB disepakati, seharusnya berkontribusi lebih banyak lagi.
Saat ini pendanaan PBB untuk keanekaragaman hayati ditargetkan pada kawasan utama untuk melindungi ekosistem vital dan menghentikan kerusakan yang berkelanjutan. Cina, Brasil, India, Meksiko, dan Indonesia adalah lima besar penerima bersejarah dari Global Environment Facility (GEF), dan akan masuk dalam lima besar untuk siklus pendanaan 5,3 miliar dolar AS berikutnya dari tahun 2022 hingga 2026. Banyak negara-negara keanekaragaman hayati dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin berpendapat bahwa mereka harus mendapatkan lebih banyak uang untuk membiayai konservasi.
“Negara berkembang benar-benar kesal. Pembicaraan telah mencapai titik krisis. Negara-negara maju perlu menyediakan lebih banyak uang,” kata seorang negosiator yang ikut dalam aksi walkout tersebut.
Sumber lain mengatakan pembicaraan membuat kemajuan yang lambat tapi pasti melalui strategi untuk mobilisasi sumber daya. Para delegasi sedang mendiskusikan pertanyaan yang paling diperdebatkan tentang pembentukan dana internasional khusus keanekaragaman hayati yang baru.
“Hari sudah larut dan urusan sebenarnya malam itu sudah berakhir. Tetapi walkout mengirimkan pesan yang jelas bahwa kita perlu bekerja lebih keras untuk mendengarkan garis merah realistis satu sama lain dan mencoba untuk berkompromi.
Brazil dan Cina adalah penerima dana GEF terbesar. Negara-negara donor merasa sulit menerima bahwa begitu banyak bantuan luar negeri kita diberikan kepada mereka. Jadi pembicaraan mengenai perlu perluasan basis donor, yaitu menambahkan pihak-pihak seperti Brazil dan Cina ke dalam daftar donor daripada daftar penerima.
“Tidak ada keraguan bahwa orang-orang Brasil menikmati perjalanan ini, membuatnya lebih sulit untuk bekerja secara kolaboratif, dan bahkan mungkin secara aktif ingin meruntuhkan semuanya. Argumen Brasil untuk dana baru dimotivasi sebagian oleh dorongan untuk memastikan mereka merancang sistem baru dan tidak perlu membayar,” jelasnya.
Direktur Kampanye Avaaz, Oscar Soria, yang berada di Montreal untuk pembicaraan tersebut, mengatakan pemogokan itu menunjukkan bahwa negara-negara berkembang bosan dengan perilaku negara-negara kaya dalam pembiayaan keanekaragaman hayati.
Menurutnya tanpa uang, pertemuan ini akan menjadi kesepakatan yang lemah, dan Montreal akan menjadi Kopenhagen berikutnya. Negara-negara berkembang meninggalkan pertemuan karena mereka menganggap tidak mungkin untuk membuat kemajuan dalam diskusi karena negara-negara maju belum siap untuk berkompromi, dan mereka mengundang pihak-pihak yang menjadi penghambat diskusi untuk merefleksikan posisi mereka untuk melangkah maju di pertemuan berikutnya.
“Setelah berminggu-minggu bertindak seolah-olah diskusi dapat berlanjut tanpa membahas masalah sumber daya keuangan dengan benar, sekarang pihak-pihak akhirnya selesai berpura-pura. Akhirnya pertandingan dimulai,” kata dia.