LIPUTAN KHUSUS:

Kelola Konflik dengan Pendekatan Interaksi Gajah dan Manusia


Penulis : Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara

Apalagi lebih dari 70 persen habitat kantong gajah berada di luar kawasan konservasi.

OPINI

Kamis, 14 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Di Indonesia, populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) diperkirakan berkisar antara 924-1.359 individu. Itu angka yang tercatat pada 2021, berdasarkan Surat Edaran (SE) 7/KSDAE/KKH/KSA.2/10/2021. Angka tersebut 50 persen lebih rendah dari angka populasi 20 tahun lalu, atau bisa dikatakan dalam rentang puluhan tahun ini telah terjadi kehilangan sekitar 1.400 individu gajah.

Tren penurunan ini dapat berlanjut jika tidak ada tindakan drastis untuk menyelamatkan populasi gajah. Apalagi lebih dari 70 persen habitat kantong gajah berada di luar kawasan konservasi, yang tentunya akan rawan terjadi konflik antara manusia dan gajah, yang akan berdampak negatif, baik bagi manusia maupun gajah itu sendiri.

Upaya pelestarian gajah sebenarnya dapat dimulai dengan memahami hubungan antara manusia dan gajah, khususnya pada masyarakat yang hidup berbagi ruang dan mengalami interaksi negatif (berkonflik) dengan gajah. Konflik akan muncul ketika gajah mendatangkan kerugian atau ancaman bagi kehidupan manusia yang dapat berdampak pada menurunnya toleransi, hingga menyebabkan kerugian baik pada manusia ataupun pada satwanya itu sendiri. Konflik antara gajah dan manusia menjadi salah satu faktor penyebab penurunan populasi gajah sumatera, selain faktor alih fungsi lahan (Habitat), perburuan dan perdagangan pada satwa.

Interaksi antara gajah dengan manusia sendiri sangatlah kompleks, karena tidak hanya berakibat pada kerusakan tanaman warga, tapi juga bisa menyebabkan konflik antarmanusia. Contohnya, masyarakat bersitegang meminta pengelola kawasan konservasi bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh gajah.

Seekor gajah betina yang sedang sedang menyusui ditemukan mati tersengat listrik di Desa Koto Pait Beringin, Bengkalis, Riau, 10 Desember 2021./Foto: Dokumentasi BBKSDA Riau.

Rumitnya interaksi tersebut membuat dimensi manusia dalam hubungan dengan gajah penting untuk dikaji. Sejauh ini, kajian ilmiah mengenai interaksi negatif manusia-gajah masih berfokus pada aspek ekologis (pola sebaran dan waktu perusakan tanaman oleh gajah) dan aspek praktis (evaluasi efektivitas metode perlindungan tanaman dari gajah), belum sampai menyentuh khusus antara konflik manusia dengan gajah, atau bahkan konflik antar manusia yang disebabkan oleh konflik antara gajah dengan manusia.

Sementara aspek seperti sikap dan perilaku masyarakat untuk hidup berbagi ruang bersama gajah masih jarang dieksplorasi, padahal ini juga penting untuk diteliti. Sebab, perspektif sosial dari kajian dimensi manusia dapat melengkapi perspektif ekologis yang telah tersedia selama ini.

Pengelolaan Konflik dengan Pendekatan Ekologis

Gajah yang keluar dari habitatnya dan masuk ke dalam areal pemukiman, sebagian besar terjadi akibat terjadinya penurunan kualitas habitat, yang kemudian memicu gajah mencari relung habitatnya yang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam pengelolaan konflik gajah-manusia terdapat pendekatan praktis untuk menghindari terjadinya konflik.

Seluruh pemangku kebijakan dapat berupaya secara bersama-sama melindungi tanaman masyarakat, melalui aksi patroli yang dilakukan dengan masyarakat, dan pembangunan penghalang seperti tanggul maupun pagar kawat. Hal ini diharapkan dapat memitigasi konflik antara manusia dan gajah dan juga dapat mencegah konflik antarmanusia.

Selain pendekatan praktis, pengelolaan konflik gajah dan manusia dapat juga dilakukan dengan beberapa cara lainnya seperti, adanya kesepahaman bersama terkait hukum dan status gajah sumatera yang merupakan satwa yang dilindungi dan jumlahnya semakin menurun, sehingga masyarakat diharapkan untuk tidak melukai atau membunuh gajah dalam upaya penanganan konflik.

Kemudian adanya pemberian dana kompensasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sebagai ganti rugi untuk masyarakat yang mengalami banyak kerugian. Selain dapat menghindari konflik gajah-manusia, hal ini juga dapat menghindari konflik antarmanusia yang disebabkan perekonomian masyarakat yang terganggu, karena terjadinya konflik antara gajah dengan manusia.

Selanjutnya, jangka panjang penyelesaian konflik gajah-manusia dapat dilakukan dengan pengelolaan habitat gajah. Yakni dengan meningkatkan kualitas dan daya dukung habitat, terutama terhadap pakan gajah dengan cara memperkaya plasma nutfah yang dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi gajah.

Pendekatan Sosial dalam Upaya Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah

Konflik antara manusia dan satwa liar adalah salah satu isu yang tersebar luas dan sulit dipecahkan. Di banyak tempat, konflik manusia dan satwa liar meningkat, seiring berkembangnya populasi manusia yang bergerak lebih jauh ke daerah yang sebelumnya tidak berpenghuni.

Strategi mitigasi yang efektif sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini, dan berbagai pendekatan teknis untuk membatasi kerusakan. Penyebab konflik sering kali kompleks dan mendalam, dan pendekatan yang lebih luas harus digunakan untuk memperbaiki konflik tersebut sepenuhnya dalam jangka panjang. Kompleksitas hubungan manusia-alam dapat diartikan bahwa biasanya ada banyak elemen berbeda yang mempengaruhi tingkat interaksi negatif antara manusia dan satwa liar.

Selain akan meningkatkan keterancaman kelestarian gajah, konflik yang terjadi, tentu juga akan banyak menimbulkan kerugian, baik dari sisi manusia ataupun gajahnya, seperti kematian dan/atau luka-luka pada gajah dan manusianya, serta kerugian dari sisi ekonomi. Peningkatan konflik ini umumnya dikarenakan keterancaman terhadap habitat gajah, yang dikarenakan konversi lahan yang sebenarnya merupakan habitat dari gajah sumatera.

Kejadian konflik terbaru yang terjadi di Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Kejadian ini terjadi pada Juli 2022 dan pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sudah datang ke lokasi untuk melakukan mitigasi kejadian konflik ini.

Gajah yang berkonflik berjumlah 3 individu, terdiri dari 2 individu gajah betina dewasa dan 1 individu gajah jantan. Dari kejadian konflik ini masyarakat menginginkan agar 3 gajah ini dievakuasi ke tempat lain. Akan tetapi area tersebut sebenarnya merupakan area jelajah gajah, yang kini sudah berubah menjadi perkebunan. Dengan kata lain gajah sudah ada lebih dahulu dari pada aktivitas manusia sekarang ini.

Kejadian konflik dan respon masyarakat terhadap keberadaan gajah menjadi sangat menarik untuk didiskusikan. Yang mana respon muncul adalah respon interaksi negatif antara manusia dan gajah.

Rendahnya ketersediaan ruang untuk bisa hidup berdampingan, sangat dipengaruhi oleh sikap manusia terhadap beberapa aspek, seperti aspek kegunaan gajah untuk masyarakat, aspek keamanan dan aspek kepentingan gajah itu sendiri.

Bagaimana bila dilakukan perlakuan, agar interaksi negatif itu bisa berubah menjadi interaksi positif, sehingga untuk ke depannya dapat tercapai suatu kehidupan yang berdampingan antara gajah dan manusia?

Pada umumnya, masyarakat cenderung tidak mau hidup berdampingan dengan gajah, karena masih menanggap gajah sebagai satwa yang berbahaya. Persepsi itu masih bisa diubah, dengan memberikan pemahaman bahwa gajah juga memiliki manfaat untuk manusia, misalnya peningkatan pendapatan masyarakat melalui aktivitas wisata.

Dengan begitu kesediaan masyarakat hidup berdampingan dengan gajah akan meningkat. Karena sikap masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh persepsi terkait keuntungan dan kerugian yang akan muncul atas keberadaan gajah yang ada di sekitarnya. Walhasil, pengelolaan konflik yang efektif akan membutuhkan pendekatan yang luas, multifaset dan benar-benar interdisipliner.