LIPUTAN KHUSUS:
Hutan Hujan Amazon Kembali Raih Rekor Deforestasi!
Penulis : Tim Betahita
Deforestasi tahun ini juga mengalami peningkatan 69 persen, jika dihitung mencapai lebih dari tiga kali luas provinsi DKI Jakarta.
Hutan
Minggu, 08 Mei 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Deforestasi di hutan Amazon, Brazil makin meresahkan, bahkan mencapai rekor tertingginya tahun ini. Kengerian deforestasi itu dilaporkan berdasarkan data terbaru pemerintah Brazil per tanggal 6 Mei 2022.
Dalam 29 hari pertama April, deforestasi di wilayah Amazon Brazil mencapai 1.012,5 km persegi, hampir dua kali luas provinsi DKI Jakarta.
Sejak 2015-2016, Badan Penelitian Antariksa Nasional Brazil, Inpe menyusun laporan pengamatan deforestasi gila-gilaan di Brazil dalam seri data bulanan berjudul DETER-B.
Dari data tersebut, Brazil tampaknya tak mau berhenti membuat rekor yang membuat dunia geleng-geleng. Pasalnya tahun ini Brazil telah tiga kali mencetak rekor deforestasi terburuk sepanjang sejarah.
Rekor deforestasi pertama tahun ini dicetak pada Januari, kemudian Februari.
Bulan Maret lalu deforestasi memang tidak setinggi bulan Februari, namun penggundulan hutan yang terjadi selama bulan itu juga tidak bisa dianggap remeh. Kini di laporan akhir April, para pembalak hutan kembali menggila dengan mencatatkan rekor deforestasi ketiga di tahun yang sama.
Selain itu, deforestasi tahun ini juga mengalami peningkatan 69 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama (Januari-April) tahun 2021 yang jika dihitung mencapai lebih dari tiga kali luas provinsi DKI Jakarta.
Diketahui tragedi deforestasi di Brazil makin parah sejak presiden Bolsonaro">Jair Bolsonaro yang berhaluan sayak kanan menjabat pada 2019.
Kebijakan-kebijakan Bolsonaro">Jair Bolsonaro dianggap melazimkan deforestasi dan melemahkan perlindungan terhadap lingkungan.
Bahkan Bolsonaro dengan tegas menyatakan bahwa jalan untuk meningkatkan perekonomian dan mengentaskan kemiskinan di kawasan Amazon adalah dengan memperbanyak lahan pertanian dan pertambangan.
Hal tersebut berarti akan ada makin banyak hutan yang dibuka demi kepentingan ekonomi.
Marcio Astrini, kepala kelompok advokasi Observatorium Iklim Brasil secara frontal menyebutkan bahwa penyebab makin parahnya pembabatan Amazon adalah Bolsonaro.
"Penyebab rekor ini memiliki nama depan dan belakang: Jair Messias Bolsonaro," kata Marcio Astrini.
Meskipun angka deforestasi telah terpublikasi, Kementerian Lingkungan dan Kehakiman mengatakan dalam sebuah pernyataan bersama bahwa pemerintah melakukan upaya besar untuk memerangi kejahatan lingkungan.
Mereka juga mengatakan bahwa polisi dan otoritas lingkungan bekerja sama dalam operasi untuk memerangi deforestasi di lima negara bagian Brazil di kawasan Amazon.
Meskipun deforestasi yang meningkat bukanlah hal yang baru di Brazil, namun Climate Observatory mengatakan para analisnya terkejut dengan angka yang begitu tinggi pada bulan April.
Hal itu dikarenakan April merupakan bagian dari musim hujan ketika hutan menjadi berlumpur dan lebih sulit diakses oleh penebang.
Pelestarian Amazon sangat penting untuk menghentikan bencana perubahan iklim karena sejumlah besar karbon dioksida pemanasan iklim yang diserapnya
Sebanyak 420 juta hektar hutan telah hilang sejak tahun 1990 akibat alih guna lahan. Data ini terungkap dalam laporan The State of the World’s Forests (SOFO) terbaru yang dirilis 22 Mei 2020 bersamaan dengan peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional.
Laporan yang disusun oleh Food and Agriculture Organization (FAO) bekerja sama dengan United Nations Environment Programme (UNEP) dan UN Environment Programme World Conservation Monitoring Centre (UNEP-WCMC) ini menyatakan, diperlukan aksi nyata untuk melindungi hutan yang terus terdeforestasi dan terdegradasi ini.
“Deforestasi dan degradasi hutan terus berlangsung dengan laju yang mengkhawatirkan. Inilah yang terus memicu hilangnya keanekaragaman hayati,” ujar QU Dongyu, Direktur Jenderal FAO dan Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP, dalam pengantar laporan ini.
Hutan menutupi 31% permukaan bumi namun wilayahnya tidak tersebar secara merata. Sebanyak 49% hutan dunia masih relatif terhubung, dimana lebih dari 34% adalah hutan primer. Sebanyak 9% hutan dunia lokasinya terpisah, dengan sedikit atau tidak terkoneksi dengan hutan lainnya.
Hanya lima negara yang menguasai lebih dari separuh wilayah hutan dunia. Indonesia tidak termasuk. Negara-negara tersebut adalah Brazil, Kanada, China, Federasi Rusia dan Amerika Serikat. Sekitar 80% hutan dunia berlokasi di wilayah dengan luas lebih dari 1 juta hektar sementara 20% lainnya tersebar di 34 juta lokasi di seluruh dunia, kebanyakan dengan luas di bawah 1.000 hektar.
Ekpansi pertanian, untuk peternakan, perkebunan kelapa sawit dan kacang kedelai, terus menjadi pemicu deforestasi dan fragmentasi hutan.
Ancaman Kepunahan
Laporan SOFO ini juga menyatakan, perkembangan upaya mencegah kepunahan spesies berjalan lamban. Dari 60.000 spesies pohon yang telah diidentifikasi, lebih dari 20.000 spesies kini masuk dalam daftar merah IUCN atau International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List of Threatened Species. Sebanyak 8.000 spesies pohon terancam punah.
Populasi mamalia, amfibi, reptil dan burung di hutan dalam periode 1970 hingga 2014 telah berkurang 53% dengan angka penurunan sebesar 1,7% per tahun. Angka ini bersumber dari hasil monitoring 455 populasi hewan di hutan, yang terdiri dari 268 populasi mamalia, bersama dengan populasi amfibi, reptil dan burung. Temuan ini menggarisbawahi risiko kepunahan spesies pada masa datang.
Laporan ini menggarisbawahi, target keanekaragaman hayati Aichi untuk melindungi 17% daratan di bumi telah tercapai di 2020. Jumlah wilayah lindung telah mencapai 18% wilayah hutan dunia, dengan luas mencapai 700 juta hektar. Namun keberadaan wilayah lindung saja tidak cukup. Masih diperlukan kerja sama internasional untuk merestorasi dan memulihkan ekosistem, mengatasi perubahan iklim dan melindungi keanekaragaman hayati.
Krisis pandemi COVID-19 kembali menyadarkan dunia atas pentingnya upaya melindungi hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan. Alasannya, tidak lain dan tidak bukan, karena kesehatan masyarakat sangat bergantung pada kesehatan ekosistem di bumi. Tak bisa diingkari.