LIPUTAN KHUSUS:

Menjual Mimpi Hilirisasi Nikel


Penulis : Aryo Bhawono

Proses hilirisasi maksimal hingga mencapai nilai tambah 19 kali tak terjadi.

Tambang

Minggu, 26 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Hilirisasi nikel di tanah air masih belum mencapai proses forming dan fabrikasi nikel. Proyeksi pemerintah untuk meraup keuntungan dari ekspor hasil hilirisasi nikel ini mencapai 20 Miliar Dolar AS pun dianggap hanya isapan jempol.

Perkembangan industri pengolahan nikel kian mengalami peningkatan ketika pemerintah menerapkan hilirisasi nikel. Investor Cina pun kini telah mendominasi industri ekstraktif ini. Namun teknologi pengolahan nikel yang kini beroperasi tak semanis yang digemborkan pemerintah. 

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara, mengungkap smelter puluhan smelter Cina yang beroperasi di Indonesia baru pada tahap pemurnian yang menghasilkan barang setengah jadi. Proses hilirisasi belum sampai ke proses forming dan fabrikasi guna menghasilkan produk siap pakai.

“Dulu pemerintah sempat menyebutkan kalau nilai tambah dari hilirisasi ini mencapai 19 kali lipat. Tetapi dari proses yang sekarang ada baru tiga atau empat kali lipat saja,” ucapnya ketika dihubungi pada Senin (20/3/2021).

Ilustrasi tambang nikel. Foto: Jatam

Mayoritas produk smelter nikel Indonesia adalah berupa Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Hydroxide, serta sedikit hasil “forming” berupa stainless steell. Karena masih jauh dari siap pakai, produk-produk ini diekspor ke Cina untuk proses fabrikasi.

Alhasil proses hilirisasi maksimal hingga mencapai nilai tambah 19 kali, hanya terjadi di Cina. 

“Hasil produksi hilirisasi di Cina ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk diimpor kembali ke Indonesia sebagai bahan jadi,” papar Marwan.

Ia menyebutkan hal ini terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah untuk benar-benar menjalankan hilirisasi. Beberapa pejabat justru mengikuti kemauan investor Cina. 

Negara itu pun kemudian memiliki peran dominan dan dapat menentukan level hilirisasi. Mereka mendikte Indonesia sesuai target produk akhir yang diinginkan, teknologi, pasar yang dikuasai, dan dana yang dimiliki. 

Data yang dikutipnya dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pada akhir 2020 terdapat 25 smelter nikel yang beroperasi di Indonesia. Mayoritas pemilik smelter adalah investor Cina dan sebagian kecil berkolaborasi pengusaha Indonesia. 

Berdasar data-data inilah Marwan menganggap perkiraan Presiden Joko Widodo mendapatkan pendapatan sebesar Rp 20 Miliar Dolar AS dari ekspor Nikel hanya isapan jempol. 

“Itu angka darimana, karena hilirisasi itu tak seperti yang digembar-gemborkan. Apalagi ada banyak bea pajak yang dibebaskan untuk investor nikel dari Cina,” ucap dia. 

Kertas Kerja Riset antara KPK dan Auriga Nusantara bertajuk ‘Tata Kelola Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah: Pengalaman Industri Berbasis Nikel di Morowali’ menyebutkan IMIP mewakili kekuatan modal transnasional mengendalikan industri berbasis sumber daya alam, nikel, yang terintegrasi secara vertikal. 

Pusat modal IMIP adalah Tsingshan Group yang mengontrol pengelolaan kawasan industri, akses terhadap deposit bijih nikel, industri peleburan nikel, dan industri baja nirkarat. Mereka juga mengontrol industri bahan baku baterai kendaraan listrik melalui penguasaan saham dan kerja sama dengan perusahaan internasional lain.  

Tsingshan sendiri tercatat sebagai raksasa dunia di industri logam. Pada 2018, Tsingshan Stainless Steel menjadi produsen baja terbesar ke-46 dunia dengan menghasilkan 9,29 juta ton baja. Tahun 2020, media bisnis terkemuka Fortune menempatkan Tsingshan Group, di peringkat 10 perusahaan terbesar dunia penghasil logam.