LIPUTAN KHUSUS:

Papua: Gencatan Senjata Jadi Jalan Baik Sementara


Penulis : Tim Betahita

Mendesak pemerintah Indonesia segera memberikan akses bagi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berkunjung ke Papua.

Hukum

Sabtu, 13 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sejumlah 194 imam Katolik dari lima keuskupan di Tanah Papua menyerukan gencatan senjata antara pasukan TNI/Polri dan kelompok bersenjata pro kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB.

Para pastor Katolik itu menyerukan agar para pihak yang bertikai mengutamakan dialog atau perundingan di antara para pemangku kepentingan konflik Papua.

Hal itu dinyatakan 194 pastor Katolik dari empat keuskupan di Provinsi Papua dan satu keuskupan di Provinsi Papua Barat yang menandatangani Seruan Moral Pastor Katolik. Seruan moral itu diumumkan di Aula Paroki Kristus Terang Dunia, Waena, Kota Jayapura, Papua, Kamis (11/11/2021).

Seruan Moral Pastor Katolik itu dibacakan Pastor John Bunay yang juga merupakan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP). “[Kami] mendesak semua kubu yang berperang, yaitu TNI/Polri dan TPNPB, agar segera mengadakan gencatan senjata/jeda kemanusiaan,” kata Pastor John Bunay saat membacakan Seruan Moral Pastor Katolik itu.

ilustrasi kekerasan. (Pixabay.com)

Para imam Katolik itu menegaskan kekerasan yang dilancarkan tidak akan menyelesaikan msalah. Para pastor yang menandatangani Seruan Moral Pastor Katolik mengingatkan bahwa masalah Papua bukan semata masalah kesejahteraan, melainkan masalah politik dan ideologi dari kedua belah pihak yang angkat senjata, yaitu tuntutan Papua merdeka dan ideologi NKRI harga mati.

Para pastor mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan ideologi telah menimpa warga sipil Papua di Papua, dan kekerasan itu benar-benar bertentangan dengan nilai pancasila. Orang Papua memiliki pengalaman bahwa ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang mereka pelajari dari pemerintah Indonesia berbeda dengan kenyataan yang mereka alami.

Pemerintah mengajarkan nilai hidup sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, nilai hidup bernegara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah bahkan mengajar lagu seperti Dari Sabang Sampai Merauke, Satu Nusa Satu Bangsa, dan Indonesia Tanah Air Beta. Orang Papua dididik mengikuti upacara bendera serta memberikan penghormatan kepada para pahlawan dan bendera merah putih.

Para pastor Katolik menegaskan perilaku dan tindakan para abdi negara yang bertugas di Papua seharusnya mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan kepada orang Papua tersebut. Para abdi negara itu seharusnya menghadirkan Negara yang melindungi seluruh rakyat Indonesia, dan bukan malah melakukan kekerasan terhadap orang Papua.

Negara semestinya hadir menyejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia melalui pembangunan yang merata, menciptakan keadilan dan perdamaian abadi bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, menurut para pastor, kenyataan berbicara lain.

Para pastor Katolik menyoroti kasus penembakan terhadap seorang anak bernama Napelinus Sondegau (2 tahun) di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Sondegau tertembak dalam kontak tembak antara pasukan gabungan TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada 26 Oktober 2021 dan meninggal dunia.

Kontak tembak yang sama juga melukai Yoakim Majau, anak berumur 9 tahun yang tengah menjalan perawatan di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika, Kabupaten Mimika. Penembakan terhadap kedua anak itu adalah satu dari rentetan panjang kekerasan terhadap orang Papua sejak tahun 1969.

Pasca penembakan kedua anak itu, telah terjadi kekerasan lagi. Mama Agustina Hondau ditembak di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, Selasa, (10/11/2021).

“Kenyataan itu membuat masyarakat Papua sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah Indonesia. [Berbagai kekerasan itu membuat orang Papua memiliki] keyakinan bahwa Papua bersama Indonesia tidak ada masa depan yang jelas. Maka, banyak orang merasa sebaiknya Papua merdeka saja, lepas dari NKRI,” demikian seruan moral para pastor.

Para imam Katolik itu mendorong pemerintah Indonesia segera membuka ruang dialog dengan orang Papua, dalam hal ini dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan mediasi JDP.

Dialog damai itu diharapkan dapat menyelesaikan konflik Papua secara manusiawi, menyepakati penyelesaian yang tidak merugikan salah satu pihak. Dialog itu telah menjadi harapan dan seruan berbagai pihak, termasuk negara-negara Pasifik.

Seruan Moral Pastor Katolik juga mendesak pemerintah Indonesia segera memberikan akses bagi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berkunjung ke Papua, supaya mereka dapat melihat dan mendengar sendiri bagaimana kondisi HAM yang sebenarnya di Papua.

“Kunjungan itu untuk mencegah terjadinya [perdebatan yang] saling mempersalahkan dalam Sidang Umum PBB, hal mana sangat memalukan,” demikian seruan para pastor.