LIPUTAN KHUSUS:

Sektor Tambang Merupakan Momok Terbesar bagi Pembela Lingkungan


Penulis : Tim Betahita

Sebanyak enam dari 51 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan, terjadi pada sektor tambang & energi.

Hukum

Sabtu, 15 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kajian terhadap aksi kekerasan serta ancaman bagi para pembela lingkungan hidup di Indonesia, yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara, menempatkan persoalan tambang sebagai momok yang paling banyak memakan korban.

Menurut data Yayasan Auriga Nusantara, sekitar separuh atau 26 dari 51 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan, terjadi pada sektor tambang & energi. Angka itu dihimpun dari penelusuran kasus sejak 2014 hingga 2020.

Roni Saputra, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, ancaman terhadap pembela lingkungan tempat kejadiannya tersebar di seluruh pulau besar Indonesia. Dari total 51 kasus yang terdokumentasi, terbanyak terjadi di Jawa-Bali dengan jumlah 16 kasus. Disusul Sumatera (11 kasus), Kalimantan (10 kasus), Sulawesi (8 kasus), Nusa Tenggara (4 kasus), dan Papua (1 kasus).

Secara wilayah administratif ancaman terhadap pembela lingkungan terjadi di 22 provinsi di Indonesia. Kasus terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Tengah, masing-masing 5 kasus; menyusul Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, masing-masing 4 kasus; kemudian Jambi, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat masing-masing 3 kasus.

Aktivitas kendaraan angkut tambang di PT Freeport Indonesia. Tailing yang dihasilkan PT Freeport rencananya akan digunakan untuk material agregat infrastruktur jalan./Foto: PT Freeport Indonesia

Apabila dipilah berdasarkan jenis kekerasannya, tambahnya, sebanayak 60 persen atau 30 dari total 51 kasus, ancaman terhadap pembela lingkungan, terjadi dalam bentuk kriminalisasi.

Jenis ancaman terbanyak setelahnya, berupa ancaman fisik sebanyak 7 kasus, intimidasi (6 kasus), dan pembunuhan (5 kasus). “Dua kasus lain menimpa Indonesianis warga asing,” ujarnya kepada betahita.id, Sabtu 15 Mei 2021.

Pertama, warga Perancis peneliti ekologi David Gaveau yang beristri warga Indonesia, dideportasi pada awal 2020 setelah menulis hasil penelitiannya mengenai kebakaran hutan dan lahan. Lainnya, seorang jurnalis Mongabay warga Amerika Serikat, Phil Jacobson, yang banyak menulis korupsi deforestasi ditahan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Januari 2020.

Selain tambang, pengembangan perkebunan menjadi penyumbang kedua terbesar ancaman terhadap pembela lingkungan (12 kasus), menyusul kehutanan (7 kasus), pencemaran lingkungan (5 kasus), dan kelautan (1 kasus).

Ancaman terhadap pembela lingkungan meningkat drastis dan mengalami puncaknya pada 2016 (14 kasus). Meski menurun pada 2018 (4 kasus), ancaman terhadap pembela lingkungan secara konstan meningkat pada tahun-tahun setelahnya.

“Grafiknya terus meningkat,” ujar Roni kepada betahita. “Banyak kasus di lapangan yang kemudian juga menguap jika bersentuhan dengan aktor-aktor pelaku kekerasan.”

Sementara itu, Komnas Hak Asasi Manusia mencatat, dari tahun 2015 hingga 2019, kepolisian merupakan pihak yang paling banyak diadukan, disusul korporasi, pemerintah daerah, TNI, lembaga peradilan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Data dari kekerasan pembela lingkungan yang ditulis bersumber dari www.environmentaldefender.id .