LIPUTAN KHUSUS:

Laju Kepunahan Massal Satwa Liar yang Keenam Semakin Cepat


Penulis : Kennial Laia

Laju kepunahan massal keenam dari satwa liar terjadi semakin cepat. Dikhawatirkan dapat menciptakan efek domino.

Satwa

Selasa, 02 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Laju kepunahan massal keenam satwa liar di Bumi terus meningkat, menurut sebuah analisis oleh para ilmuwan yang memperingatkan bahwa ini mungkin merupakan titik kritis bagi runtuhnya peradaban di Bumi.

Lebih dari 500 spesies hewan darat ditemukan berada di ambang kepunahan dan kemungkinan musnah dalam 20 tahun ke depan. Sebagai perbandingan, jumlah yang sama hilang selama satu abad terakhir. Ilmuwan mengatakan, tanpa perusakan alam oleh manusia, laju kepunahan seharusnya terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun.

Selain itu, hewan jenis vertebrata darat juga terancam punah, dengan kurang dari 1.000 individu tersisa, termasuk badak Sumatra, rusa Clarion, penyu darat raksasa Espanola, dan katak harlequin. Data yang tersedia, ilmuwan menyatakan bahwa jenis hewan di atas telah kehilangan 94% dari populasinya.

Studi yang diterbitkan oleh sekelompok ilmuwan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences itu mengingatkan bahwa, kepunahan ini dapat membawa efek domino, dengan kepunahan satu spesies diikuti spesies lain yang tergantung pada spesies tersebut.

Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Foto: Rhett Butler/Mongabay

"Kepunahan bersumber dari kepunahan," tulis ilmuwan dalam publikasi tersebut, Senin, 1 Juni 2020.

Menurut para ilmuwan yang menulis studi itu, umat manusia bergantung pada keanekaragaman hayati untuk kesehatan dan kesejahteraannya. Pandemi Covid-19 adalah satu contoh ekstrem dari bahaya merusak alam. Populasi manusia yang meningkat, perusakan habitat, perdagangan satwa liar, polusi dan krisis iklim harus segera ditangani, terang mereka.

"Saat umat manusia memusnahkan makhluk lain, ia menggerogoti anggota badannya, menghancurkan bagian dari sistem pendukung kehidupan kita sendiri," kata Profesor Paul Ehrlich, salah satu penulis laporan yang mengajar di Standford University, Amerika Serikat, dikutip The Guardian, Senin, 1 Juni 2020.

"Konservasi spesies yang terancam punah harus dielevasi menjadi darurat global untuk pemerintah dan lembaga dunia, setara dengan krisis iklim yang terkoneksi dengannya," tambahnya.

Analisis itu melihat data 29.400 spesies vertebrata darat yang dikompilasi oleh daftar merah International Union for Conservation of Nature dan BirdLife International. Para peneliti mengidentifikasi 515 spesies dengan populasi di bawah 1.000 dan menemukan bahwa setengah diantaranya memiliki populasi 250 individu tersisa. Mayoritas mamalia, burung, reptil, dan amfibi dalam daftar tersebut ditemukan berada di wilayah tropis dan subtropis.

Lebih lanjut, studi itu menemukan bahwa 388 spesies vertebrata darat memiliki populasi di bawah 5.000, dan mayoritasnya (84%) berhabitat di wilayah yang sama dengan spesies dengan populasi di bawah 1.000 individu, yang dapat menyebabkan kondisi efek domino.

Hal ini diilustrasikan ketika terjadi perburuan berang-berang laut secara besar-besaran. Satwa liar itu merupakan predator utama bulu babi pemakan rumput laut. Perburuan berang-berang laut menyebabkan ledakan populasi bulu babi yang kemudian menghancurkan hutan-hutan rumput laut di Laut Bering. Kondisi itu mengarah pada kepunahan sapi laut Steller yang memakan rumput laut.

Ilmuwan mengatakan bahwa studi ini dapat membantu upaya konservasi dengan menggarisbawahi spesies dan wilayah yang paling membutuhkan perhatian.

“Studi ini memberikan bukti lainnya bahwa krisis biodiversitas terjadi semakin cepat. Masalah terbesar yang dihadapi peneliti adalah kurangnya data mengenai sejarah distribusi geografis dari spesies di dunia. Kami hanya memiliki informasi dari 77 spesies yang terancam punah, dan kami tidak dapat memastikan seberapa tipikal spesies-spesies tersebut,” katanya.

Direktur Sains WWF Internasional Mark Wright mengatakan, “Angka dalam studi ini sangat mengejutkan. Namun, masih ada harapan. Jika kita menghentikan perampasan tanah dan deforestasi di negara-negara seperti Brazil, kita bisa mulai menekuk kurva hilangnya biodivesitas dan perubahan iklim. Namun, kita membutuhkan ambil globa untuk melakukannya,” ujarnya.