LIPUTAN KHUSUS:

Besar Rugi dari Untung, Ekspansi Sawit di Tanah Papua


Penulis : Kennial Laia

Kajian terbaru dari Pusaka menyebut kerugian ekonomi lingkungan dari investasi di Tanah Papua lebih besar dari manfaat ekonomi yang diterima.

Sawit

Kamis, 29 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat adat disebut menanggung kerugian akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar di Tanah Papua. Sebuah kajian terbaru menyebut, kerugian lingkungan dari bisnis ini pun lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh daerah. 

Laporan tersebut, yang diluncurkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Selasa, 27 Agustus 2024, menghitung dampak kumulatif investasi sawit di Tanah Papua menggunakan metode cost benefit ratio, dengan nilai sebesar 5,48 atau lebih besar dari 1. 

“Artinya biaya ekonomi yang ditimbulkan lebih besar dari manfaat ekonomi yang dihasilkan dari investasi tersebut,” kata laporan berjudul “Investasi Bodong: Mengungkap Beban dan Manfaat dari Investasi Sawit di Tanah Papua” tersebut. 

Para peneliti menghitung manfaat perekonomian dan penerimaan pajak dari investasi sawit di Tanah Papua mencapai Rp 17,64 triliun. Menurut data Pusaka, saat ini terdapat 58 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas izin 1,57 juta hektare di seluruh pulau. 

Masyarakat adat marga Moifilit dan Kalapain menyatakan penolakannya terhadap operasi perusahaan perkebunan kelapa dalam di wilayah adatnya. Foto: AMAN.

Namun biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas ini hampir enam kali lipat atau Rp 96,63 triliun. Angka ini diperoleh melalui valuasi ekonomi lingkungan menggunakan pendekatan jasa lingkungan, dari seluruh luas hutan yang berisiko dikonversi menjadi perkebunan sawit. 

Papua Selatan menjadi provinsi yang menderita kerugian ekonomi lingkungan terbesar, dengan nilai kerugian mencapai Rp 37,7 triliun. Papua Barat Daya menyusul dengan kerugian Rp 25,69 triliun, Papua Barat Rp 15,72 triliun, Papua Rp 12,87 triliun, dan Papua Tengah sebesar Rp 4,62 triliun. 

Kehadiran bisnis kehutanan seperti kayu dan perkebunan kelapa sawit juga memberikan tekanan dan perubahan terhadap orang asli Papua. Masyarakat adat ini, yang selama ratusan tahun telah bergantung pada hutannya, harus kehilangan hutan adat karena menjadi konsesi sawit. Budaya berburu dan meramu pun perlahan hilang. Telanjur kehilangan tanah, sebagian pun beralih menjadi buruh sawit. 

Di Distrik Klamono, Sorong, Papua Barat, misalnya, konflik agraria terjadi antara masyarakat adat yang menolak kehadiran PT Henrison Inti Persada (HIP). "Kami berjuang mendapatkan hak atas tanah yang telah dikuasai oleh PT HIP. Tanah kami telah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, janji perusahaan untuk memberikan kesejahteraan masyarakat, hanya janji belaka," kata warga Suku Moi, dikutip dari laporan tersebut. 

Mereka yang telah bekerja di perusahaan pun tidak mendapatkan kesejahteraan. “Sejak beroperasi (pada) 2008 sampai saat ini, peluang kerja bagi orang asli Papua sangat terbatas. Kami hanya dipekerjakan sebagai pekerja kebun, petugas keamanan dan mandor kebun. Semua pekerjaan itu hanyalah pekerja kasar, statusnya sebagai pekerja harian lepas dan pekerja kontrak. Tidak ada dari marga kami yang menjadi pekerja tetap di PT IKS,” kata warga lainnya, seorang kepala kampung dari Distrik Moi Sigin, Sorong. 

Wiko Saputra, ahli ekonomi dan penulis utama laporan tersebut, mengatakan 30 dari 42 kabupaten kota di Tanah Papua mengalami kerawanan pangan. “Ini terjadi di kawasan yang ada sawitnya. Ini terbukti dari tuntutan masyarakat Papua bahwa hilangnya hutan menyebabkan mereka kehilangan sumber pangan,” kata Wiko.

"Ke depan, kalau (hutan) terus dibuka maka kami tidak bisa membayangkan kabupaten-kabupaten tersebut memiliki tingkat kerawanan pangan yang luar biasa," ujarnya. 

“Masyarakat adat meminta satu hal. Kembalikan hak ulayat mereka karena terbukti dari hasil perhitungan, investasi sawit tidak memberikan kontribusi yang sama terutama untuk masyarakat adat,” ujarnya.

Sri Palupi, peneliti Ecosoc Institute yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan, nilai kerugian akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit kemungkinan lebih besar dari estimasi dalam laporan tersebut. 

“Masih banyak hal yang belum dihitung, termasuk dari aspek ekonomi ketika masyarakat adat kehilangan pekerjaan tradisionalnya di hutan. Kemudian ada aspek budaya yang hilang dan juga biaya kesehatan,” kata Palupi. 

Menurut Palupi, wilayah-wilayah yang terimbas ekspansi sawit mengalami penderitaan yang tidak pernah diperhitungkan. “Contoh di aspek kesehatan. Beberapa provinsi setelah ekspansi sawit mengalami lonjakan penyakit TBC. Kusta yang dulu telah hilang pun muncul kembali. Yang banyak menderita adalah perempuan karena warga lokal yang banyak jadi buruh adalah perempuan,” ujarnya.