LIPUTAN KHUSUS:

Pengakuan Wilayah Adat: Jauh Lebih Besar Potensi dari Realisasi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hingga saat ini baru 4.850.689 hektare dari 284 peta yang telah diakui sebagai wilayah adat melalui produk hukum daerah.

Masyarakat Adat

Rabu, 21 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hingga Agustus 2024, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi sebanyak 1.499 wilayah adat dengan total luas mencapai 30,1 juta hektare yang tersebar di 32 provinsi dan 166 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari total wilayah adat yang teregistrasi, 7.598.135 hektare yang tercatat, 17.681.859 hektare dalam status registrasi, 3.017.771 hektare dalam proses verifikasi, dan 1.810.750 hektare yang telah tersertifikasi BRWA.

Dalam sebuah rilis, BRWA menyebut, status pengakuan resmi dari pemerintah daerah terhadap wilayah adat masih sangat minim. Hingga saat ini baru 4.850.689 hektare dari 284 peta yang telah diakui sebagai wilayah adat melalui produk hukum daerah.

Dalam hal penetapan Hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mencatat bahwa dari potensi hutan adat seluas 23,2 juta hektare yang ada, hingga saat ini baru seluas 265.250 hektare yang ditetapkan sebagai hutan adat. Sementara itu kebijakan di sektor pertanahan masih menunjukkan masalah serius.

Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Ulayat Masyarakat Adat. Dari berbagai wilayah komunitas dan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan bahwa Peraturan ini telah mulai dilaksanakan dan telah menimbulkan keresahan. Situasi ini menunjukkan bahwa diperlukan ruang untuk membuka kembali Peraturan ini dan membuka kemungkinan pada upaya perubahan.

Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos, Fredik Sagisolo (kanan) menunjukkan surat keputusan pengakuan wilayah adatnya, usai upacara penyerahan di Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, Kamis, 6 Juni 2024. Dok. Greenpeace Indonesia

Situasi ini menunjukkan, upaya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat masih belum maksimal. Ketidakhadiran Undang-Undang Masyarakat Adat (UUMA) menyebabkan proses pengakuan wilayah adat masih terjebak dalam regulasi sektoral yang tidak memberikan kejelasan dan jaminan hak-hak masyarakat adat.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan pengesahan UUMA adalah sebuah hal yang penting, untuk memberikan kerangka hukum yang kuat dalam melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat.

"Kami menyerukan kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional dalam melindungi hak-hak masyarakat adat," kata Rukka, Sabtu (10/8/2024).

Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia Per Agustus 2024. Sumber: BRWA

Kepala BRWA, Kasmita Widodo, berpendapat pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan terobosan dalam mempermudah proses pengakuan wilayah adat dan mengatasi berbagai kendala birokrasi yang selama ini menghambat proses tersebut.

Kasmita menambahkan, peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia tahun ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempercepat proses pengakuan wilayah adat dan memberikan perlindungan nyata bagi masyarakat adat di Indonesia. Hanya dengan pengakuan yang memadai, inovasi dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dapat berkontribusi penuh dalam pembangunan nasional dan pelestarian lingkungan.