LIPUTAN KHUSUS:
Bengkulu: Sudahlah Rawan Bencana, Nir Regulasi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Perubahan tata ruang wilayah di Provinsi Bengkulu akan meningkatkan risiko bencana. Sementara sampai saat ini provinsi tersebut belum memiliki regulasi rencana penanggulangan bencana.
Ekologi
Senin, 22 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menelaah tata ruang di Provinsi Bengkulu hanya akan meningkatkan risiko bencana. Sementara, sampai saat ini provinsi berjuluk Bumi Rafflesia itu belum memiliki regulasi rencana penanggulangan bencana yang dimandatkan undang-undang.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga mengatakan, perubahan tata ruang Provinsi Bengkulu, yang telah disahkan melalui Perda Nomor 3 Tahun 2023, memperbesar risiko bencana. Sebab membuka ruang investasi ekonomi ekstraktif sebesar-besarnya. Kawasan pertambangan, contohnya, akan diperluas menjadi 194 ribu hektare yang tersebar di seluruh kabupaten, kecuali kota.
"Kami menilai bahwa perubahan tata ruang di Provinsi Bengkulu belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek risiko bencana," kata Abdullah Ibrahim Ritonga, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Sabtu (20/4/2024).
Ibrahim menguraikan, luas daratan wilayah Provinsi Bengkulu hampir menyentuh angka 2 juta hektare, sekitar 46 persen atau 924.631 hektare di antaranya berstatus kawasan hutan. Wilayah Bengkulu itu sudah terkaveling berbagai perizinan berusaha, di antaranya Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 86 ribu hektare, dengan berbagai komoditas batu bara, pasir besi, emas, dan mineral lainnya, dan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 214 ribu hektare, dengan komoditas antara lain sawit, karet dan lain-lain.
Pelepasan kawasan hutan yang disampaikan Pemerintah Provinsi Bengkulu, kata Ibrahim, luasnya sekitar 122 ribu hektare kawasan hutan. Namun yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 lalu hanya 23 ribu hektare saja, yakni untuk peningkatan iklim investasi, penyelesaian konflik tenurial, dan pengembangan iptek.
Ibrahim mengatakan, Provinsi Bengkulu merupakan wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi terhadap ancaman bencana, di antaranya gempa bumi, tsunami, gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim dan abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan. Pada 2022, data bencana Indonesia mencatat terdapat 3 bencana yang mendominasi di Bengkulu yaitu Banjir, tanah longsor dan puting beliung.
"Bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir di Provinsi Bengkulu merupakan dampak dari salah urus tata kelola sumber daya alam oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Salah urus tata kelola sumber daya alam terakumulasi menjadi rangkaian peristiwa yang menyebabkan terjadinya bencana ekologis," kata Ibrahim.
Hasil studi Walhi Bengkulu menunjukkan, terdapat 6 wilayah kabupaten yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana, yakni Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Kaur, Mukomuko, Seluma, dan Bengkulu Tengah. Kemudian terdapat 4 wilayah yang memiliki risiko sedang terhadap bencana, yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong dan Kabupaten Rejang Lebong.
Menurut Ibrahim, sampai saat ini Provinsi Bengkulu belum memiliki regulasi rencana penanggulangan bencana (RPB). Sebab Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 34 Tahun 2018 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi Bengkulu 2018-2022 telah berakhir masa berlakunya. Padahal regulasi ini telah dimandatkan Undang-Undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Yang mana, masing-masing pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang dalam penanggulangan bencana. Kebijakan tersebut kemudian diturunkan ke dalam PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana bahwa Perencanaan Penanggulangan Bencana merupakan bagian dari Perencanaan Pembangunan
"Sehingga penting bagi pemerintah provinsi Bengkulu agar segera merumuskan peraturan daerah mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana Provinsi Bengkulu," kata Ibrahim.
Ibrahim berpendapat, regulasi kebijakan RPB itu akan menjadi acuan dan harus dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu, agar jika terjadi bencana sudah memiliki kesiapan terkait penanganannya dan upaya mitigasi bencana.
"Rencana penanggulangan bencana harus komprehensif. Rencana penanggulangan bencana ini harus mengacu pada hasil kajian risiko bencana dan identifikasi akar masalah," ujarnya.
Tujuan penyelenggaraan penanggulangan bencana, kata Ibrahim, adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman risiko dan dampak bencana. Penanggulangan Bencana merupakan upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Dokumen RPB ini juga menjadi masukan terhadap RPJMD, renstra dan renja. RPB juga harus terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan daerah di tingkat provinsi, dan kab/kota.
"Memahami risiko bencana adalah jantung dalam membangun ketahanan terhadap bencana. Kajian risiko bencana harus dilakukan dengan perhitungan bahaya, kerentanan, dan kapasitas di masing-masing provinsi, kab/kota. Bahwa kami menilai tidak ada satupun kabupaten dan kota yang bebas dari bencana di Provinsi Bengkulu," ucap Ibrahim.