Papua Barat: Rusak Hutan Adat, PT BKI Dituntut Ganti Rugi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Sabtu, 19 November 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Aifat Timur merongrong PT Bangun Kayu Irian (BKI) untuk membayar ganti rugi kerusakan hutan adat milik marga Same U dan Same T. Perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam--atau biasa disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH)--yang beroperasi di Kabupaten Maybrat, Papua Barat itu, dianggap "mencuri" kayu bernilai ekonomis milik dua marga tersebut.

Salah seorang tetua marga, Tobias Same, meminta pihak PT BKI segera mengganti segala kerugian pada kerusakan hutan adat yang berdampak pada flora dan fauna di wilayah adatnya. Tobias menyebut, perusahaan logging itu mulai menebang kayu besi (merbau) di wilayah Aifat Timur sejak 2021. Namun sampai kini perusahaan tersebut belum mengganti kerugian kerusakan flora dan fauna di wilayah adat

"Kami minta ganti rugi semua barang, hewan dan tumbuhan yang telah dirusakkan oleh alat berat saat masuk operasi kayu. Tempat keramat rusak, kali Kamundan yang tercemar. Perusahaan sgera ganti rugi. Kalau tidak, kami akan gugat PT BKI," kata Tobias, Rabu (16/11/2022), dikutip dari Suara Papua.

Tobias menjelaskan, sejak PT BKI beroperasi, dampak buruk dialami masyarakat setempat, akibat hancurnya habitat satwa yang hidup berdampingan di atas tanah adat. Ia berpendapat, sejak awal perusahaan itu tidak pernah melibatkan semua pemilik hak ulayat untuk musyawarah saat penandatangan Memorandum of Understanding (MoU).

Aset PT Bangun Kayu Irian di Maybrat, Papua Barat dibakar oleh TPNPB Kodap IV Sorong Raya./Foto: Dokumentasi Jubir TPNPB/Suara Papua.

Saat pembahasan MoU dimaksud hanya dua marga saja yang dilibatkan. Oleh karena itu, Tobias meminta PT BKI segara mengadakan pertemuan ulang dengan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk meninjau kembali MoU yang dibuat satu tahun yang lalu.

Tobias menganggap sikap yang ditunjukkan oleh PT BKI itu sama dengan pencuri. Alasannya karena perusahaan terbukti melakukan kejahatan terhadap Masyarakat Adat Same U dan Same T.

"Seharusnya perusahaan melaporkan kepada masyarakat, berapa kayu sudah diambil. Kami juga mau tahu. Kami pemilik tanah juga mau melihat kembali isi perjanjiannya," terang Tobias.

Tobias Same mengaku heran dengan keberadaan PT BKI. Sebab menurutnya, perusahaan itu tidak memiliki kantor yang jelas.

"Kami cari untuk ketemu sulit. Kantor kadang di warung kopi. Terus pindah ke warung makan. Sekretariat kantornya tra jelas," lanjut Tobias.

Tokoh Masyarakat Adat Aifat Timur, Soleman Mate menjelaskan, PT BKI memiliki izin HPH--kini disebut PBPH Hutan Alam--dengan Nomor SK.7875/MENLHK-PHPL/KHPHP.0/12/2020, yang diterbitkan pada 23 Desember 2020. Ia kesal karena izin tersebut dibuat di Jakarta dan dianggap membuat para pemilik hak ulayat berkonflik.

"HPH dibuat di Jakarta seolah hutan ada kami di Jakarta. Sebaiknya Jakarta jangan suka menciptakan konflik horizontal antarwarga masyarakat pemilik hak ulayat. Perusahaan ini seenaknya tebang kayu-kayu di wilayah Aifat Timur tanpa ganti rugi kepada pemilik hak ulayat," jelas Soleman.

Baik Soleman, maupun Tobias kesal dengan sikap pemerintah pusat yang mereka anggap hanya merugikan masyarakat adat. Sebab suatu saat penerbitan izin PT BKI ini hanya akan berujung pada konflik horizontal antarmarga.

"Masyarakat adat teidak pernah kasih izin HPH kepada perusahaan manapun untuk melakukan operasi dan membabat hutan adat kami."

Menurut data yang dirilis di SI-PNBP.online, PT BKI telah melakukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sejak Januari hingga Oktober 2022 senilai Rp1.599.140.380, dengan jenis kayu yang dibayar adalah merbau atau kayu besi.

SHARE