Papua: MIFEE Ubah Orang Malind Jadi Manusia Transaksional

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Kamis, 01 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Siang itu matahari sedang terik-teriknya, ketika mobil pickup berjalan pelan di sepanjang Kampung Zanegi, Distrik Anim-Ha, Merauke. Di bagian belakang baknya yang terbuka, terlihat kardus-kardus berantakan, beberapa terisi sayur-sayuran seperti terong, tomat, wortel, ikan asin dan lain-lain, namun sebagian sudah kosong.

“Kami habis keliling dari bevak di sana”, tutur sosok perempuan berjilbab merah muda, yang biasa dipanggil Budhe, yang ternyata adalah salah satu penjaja dari sayur-sayuran tersebut, bersama suaminya.

Beberapa warga keluar dari rumah dan memeriksa barang-barang dagangan. Tampak terong yang dijual tidak lagi segar, banyak bercak-bercak di sekujur kulitnya, meski masih cukup layak dikonsumsi, sehingga Budhe menjualnya dengan harga miring. Terong dalam jumlah banyak ia obral seharga Rp20 ribu saja.

“Kalau sayur-sayur biasa beli deng Mas Jawa dorang itu. Dorang datang siang ke kampung, setelah keliling dari bevak-bevak perusahaan sana,” tutur salah seorang warga Kampung Zanegi, menerangkan bagaimana mereka biasanya mendapat asupan makanan sehari-hari.

Perempuan adat Suku Malind bersama anaknya di Kampung Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Istimewa

Bevak-bevak dimaksud adalah semacam pondok sementara atau camp, terbuat dari bahan baku kayu yang menjadi tempat tinggal bagi para buruh pekerja beserta seluruh keluarganya di areal perusahaan perkebunan tanaman industri milik PT Selaras Inti Semesta (SIS), anak perusahaan Medco Group. Di bevak itu, mereka bertempat tinggal, memasak, mencuci, dan melakukan aktivitas hidup sehari-hari lainnya.

Para penjaja sayur dan bahan makanan pokok biasanya berkeliling terlebih dahulu ke wilayah-wilayah bevak itu. Sebab di sana cukup banyak orang yang tinggal bersama anggota keluarga.

Selain membeli sayur-sayuran dari mobil pickup, warga di kampung maupun di Bevak juga membeli kebutuhan bahan pokok lainnya, seperti beras, gula, kopi, teh rokok, dari kios-kios di sekitar kampung, yang umumnya dimiliki oleh pendatang, seperti petugas linmas dan bidan,

Bonefasius Gebze, mantan kepala kampung sekaligus Ketua Gapoktan di Zanegi bilang, orang-orang di kampungnya sudah mulai enggan berkebun, bahkan di sekitar rumah. Hanya segelintir orang tua, termasuk dirinya, yang masih rajin memanfaatkan pekarangan rumah untuk cocok tanam.

"Orang su tida tahu tanam lagi. Semua tinggal di bevak, kampung sepi. Sekarang semua harus beli," ujar Bonefasius Gebze.

Perusahaan perkebunan kayu setempat pernah memberikan bantuan bibit sayuran dan membeli hasil tani warga kampung. Hal itu sempat membangkitkan semangat warga untuk bercocok tanam.

Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama, sebab perusahaan tidak lagi melanjutkan permintaannya. Dampaknya, antusiasme warga dalam hal menanam sayur-sayuran juga menurun.

Selain perusahaan, pemerintah melalui instansi terkait sebetulnya pernah pula memberikan bantuan. Pada 2017 lalu misalnya, dinas terkait memberikan padi sepaket dengan pupuk, bibit karet dan pisang kepada masyarakat. Akan tetapi program tersebut terkesan tidak serius. Bantuan bibit itu hanya sekedar diserahkan saja, tanpa adanya pendampingan yang berkelanjutan.

Ketidakseriusan pemerintah ini mengulang permasalahan serupa yang terjadi 5 tahun sebelumnya. Kala itu masyarakat pernah berusaha membuka sawah, bahkan sempat menikmati dua kali panen. Tapi dikarenakan kurangnya pendampingan serta terhentinya bantuan sarana produksi, pertanian padi sawah itupun ikut berhenti.

Kini penghidupan masyarakat Zanegi terbelah dua. Sebagian kecil masih menggantungkan hidup dari hutan dan alam (subsisten), sebagian lainnya memilih menjadi buruh upahan di perkebunan tanaman industri.

Bagi yang bertahan subsisten umumnya mereka berburu hewan, memancing ikan, mencari kayu bakar, mencari kulit gambir, memangkur sagu, berkebun dan lain-lain. Namun begitu, ada problem yang dihadapi, yakni semakin sempit dan jauhnya areal perburuan akibat perluasan pembukaan hutan skala besar untuk perkebunan tanaman industri.

Sementara bagi mereka yang jadi buruh perusahaan, mengandalkan kerja-kerja upahan seperti mandor leles (mengumpulkan kayu sisa dari lokasi tebangan kayu bulat kebun tanaman dan hutan alam), buruh leles, penebang, operator alat berat dan pengumpul biji akasia.

Mereka yang kerja upahan di perusahaan tinggal menetap di bevak selama beberapa pekan hingga seluruh pekerjaan kayu selesai, meninggalkan kampung dan memboyong seluruh anggota keluarga. Tentunya waktu untuk mengupayakan pangan mandiri, selain jual beli, sulit dilakukan, lantaran waktu sehari-hari dihabiskan seutuhnya untuk kerja upahan.

Bentang hutan di wilayah konsesi perusahaan di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua./Foto: Istimewa

Masifnya konversi hutan oleh aktivitas perkebunan tanaman industri yang menghancurkan dusun (hutan) sagu, kebun dan kali-kali kecil sumber ikan di sekitar kampung, menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghidupan, pangan dan keragaman hayati hutan.

Aktivitas subsistensi masyarakat Zanegi berubah menjadi rumit, bahkan sulit dilakukan. Berburu misalnya, tak lagi memungkinkan dilakukan di sekitar kampung karena pembukaan hutan. Warga harus berjalan jauh hinga ke wilayah lain yang tidak dirambah. Sebab hewan-hewan buruan terganggu oleh kebisingan suara chainsaw dari aktivitas penebangan kayu.

Semakin tertutupnya kanal variasi pemenuhan pangan akibat aktivitas bisnis hutan selanjutnya membuat masyarakat terkurung pada pilihan yang tak terelakkan, yakni menjadi buruh upahan pada perusahaan perkebunan tanaman industri.

Warga Zanegi berbondong-bondong kerja untuk mendapatkan uang kepada ke perusahaan, yang akhirnya uang tersebut juga akan digunakan untuk kebutuhan pangan. Hal yang ironis bagi mereka yang tinggal di atas areal proyek MIFEE.

---

Itu sekelumit cerita perubahan kondisi masyarakat adat Suku Malind di sebuah kampung bernama Zanegi, di Distrik Animha, Merauke.

Bila mundur ke belakang, apa yang terjadi di Zanegi ini berawal dari tingkah pemerintah yang nekat menjalankan proyek mercusuar perluasan lahan pertanian tanaman pangan dan energi skala luas bermerek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini rencananya akan dikerjakan di atas lahan seluas 1,2 juta hektare di wilayah Merauke.

Namun lebih dari selusin tahun berjalan, sejak diresmikan pada Februari 2010, proyek ambisius MIFEE ini hanya menyisakan angan kosong belaka, kalau tidak mau disebut gagal. Tak ada manfaat yang dapat dipetik, tidak seperti yang direncanakan, yang digadang-gandang akan mampu memperkuat ketahanan pangan nasional, sekaligus berkompetisi di pasar ekspor pangan global.

Yang terjadi justru MIFEE menciptakan hilangnya kemampuan sebagian masyarakat adat Suku Malind memproduksi dan mendapatkan pangannya secara subsisten dan mandiri. Sebagian masyarakat Suku Malind di Zanegi kini jadi manusia transaksional, tuman membelanjakan rupiah tiap harinya, hanya demi mencukupi pangan.

Apa yang terjadi di Tanah Malind ini terdokumentasikan dalam laporan bertajuk "Torang Semua Ini Hanya Penonton Saja: Lumbung Pangan dan Riwayat Kegagalannya di Tanah Malind", yang diterbitkan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama Perkumpulan Petrus Vertenten MSC Papua.

Laporan ini memotret bagaimana kondisi itu terjadi dan bagaimana masyarakat justru terseret ke dalam mekanisme kerja upahan di perusahaan besar swasta perkebunan tanaman industri.

SHARE