Tangkal Api di Daerah Penyangga Taman Nasional Way Kambas

Penulis : Lusia Arumingtyas dan Kennial Laia

SOROT

Selasa, 05 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

Kolaborasi liputan Betahita dan Mongabay Indonesia. Tulisan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center 

BETAHITA.ID -  Pucuk pohon dengan daun merah kecoklatan terlihat mencolok di sekitar kawasan restorasi Rawa Kadut, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Tanaman itu bernama mentru atau puspa, sebuah spesies pohon endemik yang tahan api. Jika terbakar, batangnya di atas tanah akan menghitam, tapi akarnya masih bertahan dan menumbuhkan cabang baru.

Masih lekat di ingatan Arum Mutazim, bagaimana kebakaran melahap tanaman pada 2015 lalu. Pohon mentru, sungkai, laban, jambon air, ketapang, gaharu, sempu yang usianya baru tujuh bulan habis dilalap api. Tingginya kala itu masih bersaing dengan ilalang dan tanaman jenis melastoma atau senggani, sekitar 30-50 cm.

Arum merupakan warga desa Bungur, Way Bungur, Lampung Timur, Lampung, yang ikut bekerja dengan Yayasan Silvagama–kini Yayasan Auriga Nusantara pada area restorasi di Rawa Kadut, Taman Nasional (TN) Way Kambas. Kala itu, Silvagama masih tergabung dalam konsorsium Aliansi Lestari Rimba Terpadu (AleRT) untuk melakukan reforestasi. 

Masyarakat lokal menebas ilalang di area restorasi Rawa Kadut, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Kawasan tersebut didominasi ilalang dan semak belukar, sehingga rentan terbakar, dipicu oleh ular pemburu liar. Dok Auriga Nusantara

“Waktu itu ilalangnya masih tinggi, siang-siang ada api dari timur yang tidak bisa kita tahan. Habis sudah,” kata Arum menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tim Kolaborasi BetahitaMongabay Indonesia di pondok Rawa Kadut, pertengahan November 2021 lalu. 

Api disebabkan orang yang tak bertanggung jawab yang sedang berburu. Kondisi kemarau membuat lompatan api semakin tidak terkendali. Tahun itu, Arum dan tim mendapatkan pekerjaan tambahan untuk menjaga kawasan, memadamkan api saat kebakaran dan menahan agar api tidak meluas, selain melakukan penanaman pohon.

Setelahnya, mereka berupaya untuk menghalau kebakaran yang meluas dan menjaga area restorasi dengan membuat sekar bakar dengan lebar 30 meter. Kini monitoring dan pemadaman api menjadi bagian dari pekerjaan restorasi di atas wilayah seluas 1.250 hektare, bentuk kerja sama terbaru Yayasan Auriga dengan Balai TN Way Kambas hingga 2025. 

Kebakaran menjadi ancaman paling besar pada upaya konservasi di Taman Nasional Way Kambas. Hal ini disebabkan oleh masifnya perburuan liar. Membakar menjadi jalan termudah bagi pemburu. Sebab pasca kebakaran tunas baru akan muncul, dan memancing satwa keluar.  

Tak hanya ancaman perburuan satwa, dahulunya TN Way Kambas juga menjadi lokasi para pembalak kayu liar tahun 1990-an. Arum adalah eks pelaku illegal logging sejak usianya kelas dua SMP pada 2002. Dalam satu minggu dia bisa mendapat 1-2 kubik kayu untuk jajan, bayar sekolah, dan membantu ekonomi orang tua. 

“Dulu seperti kampung yang pindah ke dalam hutan, ramai,” tuturnya.

Arum Mutazim, salah satu masyarakat Dusun Tanjung Tirto, Desa Bungur yang ikut dalam upaya restorasi hutan bersama dengan Yayasan Auriga. Foto: Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

TN Way Kambas dikelilingi 38 desa penyangga, sehingga akses keluar masuk kawasan ini sangat mudah. Ancaman perburuan dan pembalakan liar pun terus terjadi hingga saat ini. Kepala Balai TN Way Kambas Kuswandono mengatakan kini pembalak liar sudah jarang ditemukan, namun pemburu masih terus menghantui. Ancaman ini juga seringkali memunculkan titik-titik api di taman nasional. 

Data Balai TN Way Kambas pada 2021 menyatakan, dalam 10 tahun terakhir terdapat 22 kasus kematian gajah akibat diburu untuk gading dan giginya. Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa endemik yang terancam punah. Salah satunya habitat alaminya berada di taman nasional ini. 

Satwa lain dilindungi seperti badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), dan tapir (Tapirus indicus) juga berhabitat di kawasan ini. Artinya, api menjadi ancaman bagi keberlangsungan populasi dan kelestarian satwa ini. 

Analisis Yayasan Auriga menggunakan data kebakaran hutan dan lahan tahun 2015-2020 dan kawasan hutan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total kebakaran di TN Way Kambas dalam periode tersebut mencapai 58.901 hektare. 

Kerentanan kebakaran hutan di TN Way Kambas tak lepas dari sejarah panjang kawasan ini. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan ini merupakan lokasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta pembalakan liar, kemudian menjadi pemukiman dan lahan pertanian. Kini, 30 persen atau sekitar 37.000 hektare dari total luas 125.000 hektare merupakan lahan kritis yang didominasi ilalang. 

Upaya pemulihan terus dilakukan hingga hari ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Gagasan rehabilitasi awalnya dilakukan karena terjadi kebakaran hebat di tahun 1997. 

Basuki Budi Santoso, Koordinator Proyek Restorasi Auriga di Way Kambas mengatakan, restorasi menjadi cara untuk menghambat perburuan liar. “Karena ada yang menjaga,” ujarnya.

Tapak kaki harimau yang melintas di area restorasi Rawa Kadut, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Dok Istimewa  

Selain itu pemulihan padang ilalang menjadi pepohonan setelah restorasi bisa mengembalikan satwa-satwa di kawasan taman nasional, seperti gajah, rusa, harimau dan satwa lainnya. 

Dia bilang upaya restorasi menjadi penting karena ruang habitat yang memadai dapat menyediakan pakan bagi satwa. Hal ini juga mengurangi konflik satwa dengan manusia karena satwa tidak perlu ke pemukiman manusia. 

“Kami juga pernah melihat rusa dan harimau melintas di kawasan restorasi ini. Artinya ya mereka merasa nyaman,” ujarnya. 

Perjumpaan satwa turut dialami Hadi dan Nana, masyarakat lokal yang menjadi staf di Aliansi Lestari Rimba Terpadu (AleRT) yang sedang piket di area restorasi Bambangan. 

“Semalam ada rombongan gajah yang tiba di area restorasi Bambangan. Jumlahnya sekitar 60-70 individu. Mereka menyebar di kanan dan kiri kamp,” ujar Nana. Dia menambahkan, beberapa mendekat ke arah kamp dan mereka bertepuk tangan untuk menghalau gajah agar tidak terlalu dekat. Pohon bambu yang berada dekat kamp pun terlihat patah dan sedikit roboh karena dilewati gajah. 

Nana, warga desa Braja Asri, Way Jepara, Lampung Timur, mengaku telah delapan tahun bekerja dengan ALeRT. Selama itu pula dia menyaksikan perubahan di sejumlah titik restorasi di dalam taman nasional, termasuk Bambangan. Nana mengikuti pertumbuhan pohon-pohon di Bambangan hingga 2 meter, dan kemudian habis dilalap api pada 2014. Hingga saat ini Bambangan tumbuh menjadi hutan sekunder, dengan kanopi yang rapat.  

“Dulu itu melihat ke kejauhan, masih kelihatan. Sekarang nggak bisa (terhalang pohon, red),” tutur Nana. 

Bibit pohon di area restorasi Bambangan, yang dikelola oleh ALeRT dan melibatkan masyarakat lokal. Area ini merupakan salah satu yang berhasil di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia 

Sejak 2012, AleRT sebagai salah satu mitra Balai Taman Nasional Way Kambas melakukan restorasi di wilayah itu. Mohammad Lukman, polisi hutan TNWK mengatakan bahwa area ini dahulunya padang ilalang dan perjumpaan satwa sangat jarang. Kini pohon di area Bambangan sudah mencapai lebih dari 10 meter dengan tegakan yang cukup rapat dan telah menjadi hutan sekunder. Luasnya mencapai 50 hektare.  

“Tahun 2021 sudah terlihat seperti hutan, suara satwa sudah banyak. Burung, siamang, gajah dan harimau,” kisahnya.

Basuki bilang pelibatan masyarakat lokal menjadi satu bagian penting dalam upaya restorasi. “Kegiatan ini harus dilakukan secara integral dengan melibatkan masyarakat agar tercapai hutan lestari yang menyejahterakan masyarakat. Perlu peningkatan kesadaran dengan sumber ekonomi dari hasil hutan non-hutan, seperti kegiatan penanaman bibit atau pengembangan wisata edukasi di TNWK.” 

Rangkul masyarakat, tingkatkan kesejahteraan

Tahun 2019, Balai TN Way Kambas menawarkan program kemitraan konservasi kepada masyarakat. Salah satunya melestarikan kembali area Rawa Kidang. Lokasi ini rentan terbakar karena wilayah ini berbatasan langsung dengan perkampungan dan surga bagi pemburu. Di sini banyak ditemui binatang seperti kijang, menjangan dan sebagainya. Program tersebut pun disambut baik oleh Hadi, warga Desa Labuhan Ratu VII dan teman-temannya. 

“Tahun 2019 terjadi kebakaran hebat, asap dan latu (sisa kebakaran, red) itu terbang-terbang. Mengganggu. Kebakaran ya sampai pinggir desa, belakang rumah Mang Udin,” ceritanya. 

Di tengah asap kebakaran tersebut, muncul usulan untuk membuat kelompok kerja tani dan menanam di hutan. Kegelisahan Hadi dan masyarakat desa Labuhan Ratu VII disambut baik oleh balai sampai akhirnya mereka mendapatkan perizinan untuk melakukan rehabilitasi di Rawa Kidang. Januari 2020, mereka membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Rahayu Jaya dan memiliki perizinan melalui penandatangan perjanjian kerjasama (PKS) kemitraan konservasi selama 5 tahun.

Gapura pintu masuk camp restorasi yang dikelola oleh KTH Rahayu Jaya, yang digagas oleh masyarakat Desa Labuhan Ratu VII. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Hadi mengaku pernah menjadi pemburu satwa di taman nasional pada awal 2000-an. Namun akhirnya sadar bahwa membakar dan memburu adalah perbuatan yang salah. 

“Hanya iseng karena banyak teman di kampung juga melakukan, tapi dulu juga pakai anjing pemangsa,” ujarnya. 

Atas izin kemitraan konservasi, bersama anggota lain, Hadi melakukan pembibitan dan penanaman dengan tanaman endemik. Sejak tahun 2020, rehabilitasi di Rawa Kidang memiliki target penanaman 50 hektare dari 150 hektar wilayah yang dikelola. 

Bersama dengan 19 anggota lainnya, kawasan Rawa Kidang dijaga untuk patroli kebakaran, pembibitan dan penanaman pohon. Hingga saat ini, kelompok KTH Rahayu sudah menanam 65.000 bibit pohon dan anggotanya bertambah menjadi 56 individu. 

“Tantangannya itu saat perawatan itu banyak satwa yang memakan dan dicabut saat awal-awal menanam. Biasanya saat musim babi, dia mengangkat semua hingga ke akar-akarnya untuk mencari cacing,” tutur Hadi.

Tak hanya menanam pohon, masyarakat pun melakukan usaha non-kehutanan lainnya di daerah penyangga. Diantaranya, peternakan lebah, pembibitan, budidaya sapi, perikanan, peternakan bebek, fermentasi pakan, dan sebagainya. 

“Dari segi kesejahteraan ekonomi memang belum begitu terasa karena usaha ini kan baru dimulai. Tapi harapannya ini bisa menjadi alternatif pendapatan dan bisa mengajak masyarakat lainnya untuk tetap menjaga hutan,” kata Hadi.

Masyarakat ikut memadamkan api ketika terjadi kebakaran di Taman Nasional Way Kambas, terutama warga yang terlibat dalam upaya restorasi. Dok Istimewa 

Selain KTH Rahayu Jaya, juga ada KTH Wana Bhakti di Desa Rantau Jaya Udik II, Lampung Timur. KTH ini digagas oleh Paulus Untoro, warga desa tersebut. Setelah 30 bekerja sebagai polisi hutan TN Way Kambas, kini dia mengajak masyarakat sekitar desa untuk menanam pohon dan menjaga kawasan taman nasional dari api. 

Api memang menjadi momok di dalam kawasan taman nasional. Biasanya api mulai terjadi pada April dan puncaknya antara Oktober dan November. “Kalau sudah di bulan itu, susah madaminnya,” kata Untoro. 

Ketika masih bertugas sebagai polisi hutan (polhut), tantangan yang dihadapi seperti sumber air jauh, apalagi kebakaran terjadi saat musim kemarau. Anggota pemadam api pun kadang harus keluar ke desa terdekat atau pabrik singkong untuk melangsir air. 

“Kadang api (tingginya) tinggal dua mater, lalu ditinggal keluar karena airnya habis, malah jadi meluas lagi,” kenang Untoro.  

Menurut Untoro, antara desa penyangga dan taman nasional sebenarnya sudah dibuat kanal untuk perbatasan. Ini untuk membatasi akses terutama bagi orang-orang yang ingin ngarit atau berburu satwa. Namun masih ada “oknum” yang membuat jembatan untuk masuk.  

Salah satu tugas Untoro dahulu dengan mitra konservasi lainnya adalah untuk memutus akses ini. Namun itu juga bukan pekerjaan mudah. “Pernah beberapa kali, hari ini jembatan kita potong pakai chainsaw, besok siang sudah bagus lagi,” katanya.  

Area restorasi Bambangan. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Untoro bercita-cita ingin menurunkan angka perburuan liar di desanya. Karena itu dia mengajak mantan pemburu bergabung di KTH Wana Bhakti. “Di kelompok saya ini ada lima hingga enam orang yang mantan-mantan (pemburu) di dalam. Saya inginnya yang mantan-mantan itu direkrut agar ada rasa memiliki,” kata Untoro. 

“Kalau ke sininya, untuk perburuan khususnya Dusun IV 100 persen sudah berhenti. Tetapi masih ada beberapa di dusun lainnya,” jelas Untoro. 

Karena itu, Untoro dan kelompoknya juga rajin melakukan pelatihan untuk peningkatan ekonomi seperti budidaya lebah dan peternakan. KTH Wana Bhakti juga berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan aktivitas ilegal, seperti berburu dan merambah kayu di dalam hutan.  

Hal ini penting. Sebab, masyarakat haruslah lebih dulu berdaya secara ekonomi dan memiliki sumber pencaharian lain agar tidak merambah hutan. Salah satu cara yang sedang ditempuh adalah pembentukan kelompok-kelompok tani hutan (KTH) yang tersebar di sejumlah desa penyangga taman nasional.

Mei lalu, KTH Wana Bhakti menandatangani perjanjian kerja sama kemitraan konservasi dengan Balai Taman Nasional Way Kambas. Pihaknya kini dapat melanjutkan kegiatan restorasi seperti menanam pohon di area Susukan Baru, seluas 50 hektare. Ditambah 100 hektare untuk bagian penjagaan kebakaran.  

Rusdiyanto, penyuluh kehutanan TN Way Kambas, menerangkan terbentuknya KTH Rahayu Jaya awalnya merupakan permohonan dari masyarakat Labuhan Ratu VII atas keprihatinan terjadinya kebakaran hutan di TNWK. “Sebagai zona penyangga, masyarakat sangat merasakan dampak saat kebakaran terjadi. Sejak dijaga di 2020, wilayah ini zero deforestation. 

Pada program rehabilitasi ini dilakukan penanaman pakan badak berupa 61 jenis tumbuhan. “Harapannya selain memulihkan kondisi hutan juga sebagai lumbung atau pencanangan pakan badak,” ujar Rusdiyanto. 

Pohon yang kembali tumbuh di bekas kebakaran di area restorasi Rawa Kadut, Taman Nasional Way Kambas. Mitra konservasi memilih menanam tanaman endemik yang resisten api. Dok Istimewa  

Hingga saat ini ada dua KTH yang bermitra dengan Balai TN Way Kambas. Menurut Rusdiyanto, saat menandatangani perjanjian kerja sama, kelompok masyarakat harus  mematuhi prasyarat tertentu. Rusdiyanto menyebutnya sebagai Pakta Integritas, yang berisi empat persyaratan yang harus di untuk tetap melanjutkan kegiatan restorasi di dalam taman nasional. 

Pertama adalah masyarakat harus ikut membantu upaya pemadaman api jika terjadi kebakaran. Lalu ikut dalam menangani konflik gajah, seperti menghalau satwa tersebut dari area restorasi. Anggota kelompok juga tidak boleh memiliki satwa dilindungi, termasuk burung.  

Masyarakat yang menjadi mitra juga tidak boleh melakukan pelanggaran seperti berburu atau aktivitas ilegal lainnya di dalam kawasan Way Kambas. 

“Semua syarat ini harus diikuti jika ingin kemitraan konservasi berlanjut. Dan sampai saat ini, masyarakat patuh,” kata Rusdiyanto.  

Dia menambahkan tantangan utamanya adalah menjaga semangat kelompok dan meyakinkan bahwa program ini memiliki manfaat bagi masyarakat dan taman nasional.

Danang Wibowo, koordinator reforestasi, sosial, dan wisata ALeRT, mengatakan masyarakat menjadi garda terdepan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan restorasi hutan di sekitar kawasan taman nasional. 

“Ketika masyarakat sudah tahu bahwa kebakaran itu merusak, itu hal baik. Tetapi kita juga harus memikirkan apakah kebutuhan ekonomi mereka tercukupi? Jika ekonomi sudah stabil, mereka tidak akan banyak melakukan pelanggaran di taman nasional,” kata Danang. 

Banyaknya kelompok-kelompok tani hutan yang terbentuk di desa-desa penyangga Taman Nasional Way Kambas bisa jadi sinyal baik untuk pemulihan hutan, khususnya dalam upaya mengurangi kebakaran. Kuncinya hanya satu, masyarakat harus berdaya secara ekonomi tanpa merusak hutan, dan hutan pun terjaga. 

Upaya restorasi di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, melibatkan masyarakat lokal. Dok Auriga Nusantara 

SHARE