Geliat Masyarakat Pulihkan Taman Nasional

Penulis : Kennial Laia dan Lusia Arumingtyas

SOROT

Senin, 20 Juni 2022

Editor : Kennial Laia

Kolaborasi liputan Betahita dan Mongabay Indonesia. Artikel ini merupakan tulisan berseri yang diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center

BETAHITA.ID -  Pesalat, sebuah kawasan di Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah, rimbun ditumbuhi pohon gaharu, meranti, jelutung, ulin, ramin, nyatuh dan tanaman endemik lainnya. Kanopinya rapat dengan menyisakan ‘jendela-jendela’ kecil bagi masuknya sinar matahari. 

Rini (29) menjadi satu-satunya perempuan yang bekerja di lapangan bersama masyarakat sekitar dalam upaya restorasi di Taman Nasional Tanjung Putih, Kalimantan Tengah. Menanam pohon baginya seperti membesarkan bayi, yang harus dirawat dan dijaga terus menerus. Foto: Tim kolaborasi liputan Betahita-Mongabay Indonesia

Kembalinya kawasan ini menjadi kondisi hutan hujan tropis tak lepas dari kerja keras masyarakat yang ada di sekitar sejak tiga dekade lalu. Sebuah foto yang diambil tahun 2003 lalu menunjukkan bagaimana kondisi kawasan pesalat. Hanya ada rumah panggung kayu, sebuah tonggol pohon ulin hitam bekas terbakar dan padang ilalang yang tumbuh di sekitarnya. 

Sejak 2003, Friends of The National Parks Foundation (FNPF) mendapatkan izin restorasi di kawasan Pesalat dengan luasan 400 hektar. Bersama masyarakat lokal, lokasi ini menjadi sebuah ‘rumah belajar’ untuk mengenal bibit dan juga mencari cara agar restorasi dapat berjalan secara ekonomis, efektif dan mudah.

“Saya ikut belajar (restorasi) mulai dari Pesalat bersama teman-teman, sehabis menambang liar. Usia saya 14 tahun waktu itu,” ujar Ariyadi (29), salah satu pemuda Desa Sungai Sekonyer, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. 

Adut, panggilan akrab Ariyadi, berasal dari Desa Sungai Sekonyer, Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pemuda ini awalnya tergabung menjadi relawan dalam kegiatan restorasi di TNTP. Hingga kini, dia konsisten melakukan kegiatan ini. 

Desa Sungai Sekonyer, merupakan salah satu desa penyangga bagi Taman Nasional Tanjung Puting sekaligus bagi pintu masuk bagi para wisatawan. Kelestarian hutan menjadi hal yang penting bagi Ariyadi dan masyarakat Sekonyer lainnya.

Pada tahun 1970-an, Pesalat merupakan ladang berpindah dan pemukiman bagi masyarakat Dayak dan pernah terbakar luas. Lahannya telah terdegradasi, hanya ada ilalang dan bruta. Masa itu hanya bersisa tunggul-tunggul pohon berwarna hitam bekas kebakaran yang kini masih terlihat.

Pesalat dulu bagaikan lapangan bola, tonggol-tonggol pohon bekas terbakar terlihat dimana-mana, bruta dan ilalang seperti rumput di halaman rumah. 

Restorasi di Pesalat dimulai dari keterbatasan. Pembibitan tanaman dilakukan menggunakan bungkus bekas gula sebagai pengganti polybag. Sistem tanam yang dilakukan bermula dengan jarak tanaman yang beragam, mulai dari 5x5 m kemudian semakin mengecil dipadatkan menjadi 1x1 m. “Agar menyerupai hutan yang sebenarnya,” ujar Adut.

Pesalat adalah satu dari 136.502 hektar zona rehabilitasi dari yang ada di Tanjung Puting. Luas zona ini sepertiga dari luas taman nasional tanjung puting, yakni 415.000 hektar. 

“Restorasi ini sebutannya pemulihan ekosistem. Jadi kami selalu melibatkan masyarakat di sekitar kawasan. Ini penting dalam meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian kawasan,” ujar Murlan Dameria Pane, Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting.

Murlan mengatakan kondisi taman nasional memiliki indikator cukup baik. “Kalau di taman nasional, banyak muncul permudaan-permudaan alami, itu istilahnya pioneer-pioneernya sudah muncul. Misalkan pohon pulay yang sudah banyak anakannya yang tumbuh secara alami.”

Seperti di pondok Ambung dan pondok Tanggui yang menjadi salah satu wilayah pemulihan ekosistem yang dilakukan Balai Taman Nasional dan beberapa mitra. Sejarah kedua lokasi ini adalah lokasi berladang masyarakat di tahun 1970. 

Di pondok Ambung ini menjadi salah satu contoh restorasi yang berhasil dengan pendekatan suksesi alami. “Hal terpenting dari suksesi alami ini menjaganya saja. Beberapa kita tanam namun hanya untuk mengisi saja. Kita tanam jenis-jenis untuk pakan hewan,” ujar Maslan, polisi hutan TNTP. 

Pohon Bedaru, simpur, nyatoh, ubar jambu, ubar samak, blangeran merupakan spesies endemik yang ditemukan di wilayah tersebut. Berbeda dengan pesalat, kanopi di wilayah ini masih belum terbentuk. Beberapa pohon hanya setinggi kurang lebih 3 meter namun bruta sudah jarang ditemui. 

Bruta dan ilalang menjadi dua spesies yang menunjukkan status lahan tersebut tergolong kritis. Jika secara suksesi alami, lahan yang kritis akan tumbuh ilalang, berganti bruta dan kemudian menjadi jenis tumbuhan Melastoma sp. Jika sudah ada kanopi tumbuhan keras, maka tumbuhan-tumbuhan tersebut akan hilang seiring dengan waktu. 

Sama seperti pondok Tanggui, lokasi pemulihan ekosistem ini masih belum seutuhnya pulih. Sejauh mata memandang hanya ada bruta dan beberapa tegakan pohon dengan jarak yang masih jarang. Beberapa bibit pohon setinggi betis orang dewasa ditanam dengan ajir (penanda bibit).

Lahan di area restorasi Pondok Tanggui oleh Balai Taman Nasional Tanjung Puting yang masih dipenuhi dengan bruta. Beberapa pohon hasil restorasi tumbuh. Area ini menjadi salah satu wilayah jelajah orang utan dan wisata feeding orang utan. Dok. Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

“Kalau Tanggui dan Ambung ini zona penyangga, jadi memang kita jaga terus karena rentan terbakar,” cerita Maslan. 

Berdasarkan data Balai TNTP, luas keseluruhan pemulihan ekosistem yang telah dilakukan seluas 6.500 hektar dari 2018-2021 dan 1.729,25 ha yang telah dilakukan oleh mitra TNTP.  

Tantangan pemulihan ekosistem ini, kata Murlan adalah kebakaran hutan dan berburu satwa. Sejak 2000-an, ekosistem di kawasan taman nasional tanjung puting sudah rusak akibat illegal logging.

Kerusakan ekosistem ini menyebabkan kerentanan kebakaran hutan di dalam kawasan. Pada tahun 2015, areal terbakar mencapai 91.479,68 hektar, sedangkan pada tahun 2019 seluas 39.840,19 hektar. Tak hanya itu, kebakaran hutan ini disebabkan oleh aktivitas manusia antara lain dari kegiatan pembersihan kebun untuk ladang berpindah dan berburu satwa liar. 

Murlan mengatakan masyarakat sekitar kawasan mengambil peran penting dalam menjaga kawasan dan juga turut andil bagian dalam pemulihan ekosistem TNTP. “Masyarakat juga kita libatkan dalam kegiatan pengamanan perlindungan, termasuk upaya pengendalian, pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. Selain itu mereka juga terlibat dalam pemulihan ekosistem,” ujarnya.

Selain illegal logging, karhutla dan perburuan satwa, di sekitar TNTP juga banyak penambangan emas tanpa izin (PETI). Sepanjang sungai Sekonyer, banyak PETI yang dilakukan oleh masyarakat desa penyangga. Mulai dari pertigaan Camp Leakey hingga ke arah utara sepanjang sungai Sekonyer. Bahkan mereka membuat ‘perkampungan’ dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial di Natai Tengah. 

Restorasi, kata Samsul, salah satu staff FNPF yang asli pemuda Sekonyer menjadi sebuah jalan untuk ‘mengusir’ penambangan liar di dalam kawasan hutan secara bertahap. “Semakin luas restorasi, lokasi PETI kian menjauh.” 

Di Natai Tengah dahulunya dikerjakan oleh BPDAS HL di tahun 2010-2011 yang dikerjakan oleh TNI. Namun, selanjutnya wilayah ini menjadi izin restorasi FNPF.

Taman Nasional Tanjung Puting merupakan habitat alami orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dengan populasi terbesar. Dok CIFOR

Berbeda dengan Pesalat, di Natai Tengah kondisi hutannya masih kritis. Bruta dan ilalang masih mendominasi, beberapa bibit sudah tumbuh lebih dari 3 meter dan mayoritas masih setinggi ilalang. Di tahun 2020, FNFP sudah menanam 1,5 juta pohon dan telah selesai. Luasnya hingga 655 hektar. 

Bagas Dwi Nugrahanto, Manager FNPF mengatakan dahulunya Natai Tengah menjadi area pintu masuk penambang emas liar dan kondisinya sangat kritis. Setelah penanaman, perawatan bibit akan dilakukan selama 3 tahun. “Menurut masyarakat, selama bibit tanaman melebihi alang-alang dia akan tumbuh 100%. Asal tidak terbakar. Ini yang penting,” ujarnya. 

Baik Adut maupun Isam–panggilan Samsul merupakan bekas menambang emas dan juga penebang kayu liar. Alasan iseng dan tuntutan ekonomi membuat keduanya dikatakan sebagai perusak hutan. Lalu, FNPF kala itu datang dan mereka menjadi relawan. 

“Awalnya bantu-bantu saja mencari bibit, mengisi polybag, membuat persemaian dan menanam pohon. Berawal dari nyoba-nyoba saja hingga tertarik sampai sekarang,” ujar Adut. 

Meski sudah tidak bekerja di FNPF, Adut masih bekerja untuk menjaga wilayah TNTP. Bahkan dia membentuk kelompok peduli lingkungan Tanjung Lestari. Ada 36 orang yang menjadi anggota, kegiatannya lebih bagaimana mengedukasi para pemuda dan pemudi untuk menjaga lingkungan. 

Bagas mengatakan kerja-kerja restorasi di FNPF tak terlepas dari peran masyarakat di sekitar taman nasional. Mereka adalah bekas penambang, penebang, tour guide dan sebagainya. 

“Edukasi terselubung saat restorasi itu seperti ‘Ini lho kita menanam tuh tidak semudah ketika kalian menebang.’ Prosesnya kita lebih saling bertukar pengetahuan tentang hutan, tanaman,” ujarnya. 

Ancaman manusia menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pemulihan ekosistem di TNTP. Hingga saat ini berburu rusa dan babi masih seringkali terjadi dan memicu kebakaran di kawasan yang sedang dilakukan upaya pemulihan ekosistem. 

Geliat masyarakat melakukan penanaman pohon di area Jerumbun, Kecamatan Kumai, Kalimantan Tengah. Jerumbun merupakan salah satu zona penyangga Taman Nasional Tanjung Puting. Dok. Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

***

Hal serupa terjadi di Taman Nasional (TN) Way Kambas, Lampung. Aktivitas manusia dari perburuan liar sering menyulut api, yang berujung pada terbakarnya tanaman. Kebakaran ini bahkan bisa terjadi dalam hitungan hari.

Contohnya sore itu ketika telepon genggam Paulus Untoro terus berdenting oleh notifikasi pesan. Di sebuah gubuk kayu dua tingkat yang berdiri di area restorasi Rawa Kidang, bagian selatan TN Way Kambas, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, Lampung, pria berusia 60 tahun itu dengan sigap membalas pesan di grup aplikasi pesan WhatsApp.

“Sedang terjadi kebakaran di Susukan Baru,” kata Untoro seraya menunjukkan video kebakaran dari layar ponselnya. Dia bilang, lokasi api sekitar 20 kilometer dari area tersebut.

“(Kabarnya dari) WA grup. Kebetulan di restorasi ini, kami setiap hari ada satu orang yang patroli di sana. Ketika ada asap, langsung berhubungan dengan grup baik ke resort-nya maupun grup restorasinya sendiri,” jelas Untoro.

Untoro, warga UD Rantau Jaya, bekerja sebagai polisi hutan (polhut) di TN Way Kambas selama puluhan tahun. Setelah pensiun dua tahun lalu, dia tetap aktif berkoordinasi dalam memantau kebakaran di wilayah tersebut. Berbekal WhatsApp Group, berisi masyarakat pekerja restorasi, polisi hutan, mereka rajin berbagi informasi mengenai kondisi kebakaran di TN Way Kambas.

Menurut Untoro, kebakaran cukup parah di TN Way Kambas. Tahun-tahun terakhir dia dinas, antara 2015 dan 2017, kebakaran berulang sering terjadi. “Dalam setahun itu bisa terjadi belasan kali,” ujarnya.

Penyebabnya hampir pasti ulah pemburu liar, kata Untoro. Pembakaran memudahkan mereka mendapat hewan buruan. Biasanya setelah ilalang bersih, tunas-tunas baru akan muncul. Tanaman ini merupakan pakan rusa sehingga hewan itu akan keluar dari tempat persembunyian.

Ini berabe. Sebab, taman nasional tersebut merupakan habitat badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dan gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis), dua satwa endemik yang terancam punah. Ada pula hewan terancam lainnya seperti tapir (Tapirus indicus), dan beruang madu (Helarctos malayanus). 

Gajah, harimau, dan badak Sumatra merupakan satwa kunci Taman Nasional Way Kambas. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Tak hanya mengancam habitat, si jago merah juga menjadi musuh gerakan restorasi di kawasan tersebut. Penanaman hutan, dilakukan oleh mitra seperti lembaga swadaya masyarakat maupun warga lokal yang tinggal di desa penyangga kawasan.  

Kepala Balai TN Way Kambas Kuswandono menyebut kebakaran hutan sebagai tantangan terbesar di wilayah tersebut, sebesar 80-90 persen. “Ini berbahaya karena dapat menyebabkan tanaman habis dan terdegradasi, sehingga harus dipulihkan kembali,” kata Kuswandono ketika ditemui di Balai TN Way Kambas.

Taman Nasional Way Kambas memiliki sejarah kebakaran hutan yang panjang. Pada 1980-an, sebagian wilayahnya telah menjadi bekas hutan produksi (HPH). Pembalakan liar besar-besaran, serta pembukaan lahan secara ilegal untuk pemukiman dan pertanian masyarakat transmigran juga terjadi. Aktivitas ini mendorong degradasi hutan, dan mayoritas kawasan tersebut ditumbuhi alang-alang dan semak belukar.

Elisabeth Devi Krismurniati, kepala urusan data, monitoring evaluasi, laporan, dan perizinan berusaha Balai TN Way Kambas mengatakan, lahan kritis di TN Way Kambas mencapai 30% atau sekitar 37.000 hektare dari total luas sekitar 125.000 hektare. Selain rentan terbakar saat musim kering, kondisi ini memudahkan pemburu liar beraksi. Pasalnya ada 38 desa penyangga yang mengelilingi taman nasional sehingga banyak akses masuk bagi perisak hutan.

Menurut Kuswandono, rehabilitasi hutan di TN Way Kambas tercetus pasca kebakaran hebat pada 1997. Program penanaman pohon dilakukan, termasuk kerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) milik pemerintah. Sebagian berhasil, sebagian tidak.

Gerakan ini kemudian berkembang dengan pelibatan tiga organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat. Salah satunya adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Rahayu Jaya, yang digagas oleh masyarakat Desa Labuhan Ratu VII, salah satu desa di perbatasan taman nasional.

Hadi, ketua KTH Rahayu Jaya, mengatakan kelompok tersebut berdiri pada Januari 2020. “Awalnya kita ngobrol-ngobrol aja tuh karena tahun 2019 terjadi kebakaran hebat. Asapnya itu terbang-terbang, benar-benar (sampai) di desa. Bahkan kebakarannya sampai pinggir desa, di belakang rumah (tetangga),” tutur Hadi.

Niat tersebut disambut oleh penyuluh di Balai TN Way Kambas. Hadi mengaku, kelompok beranggotakan 56 individu tersebut menerima pembinaan, mulai dari pencarian dana, perizinan, maupun pendampingan saat mencari bibit tanaman di dalam kawasan taman nasional.

Gapura pintu masuk camp restorasi yang dikelola oleh KTH Rahayu Jaya, yang digagas oleh masyarakat Desa Labuhan Ratu VII. Kelompok ini merupakan salah satu mitra konservasi Balai Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia 

Area pembibitan di restorasi Rawa Kidang, Resort Margahayu, TN Way Kambas dikelola oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Rahayu Jaya. Tanaman yang ditanam merupakan pakan badak. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Setelah melewati proses tersebut, KTH Rahayu Jaya menandatangani perjanjian kerja sama dengan Balai TN Way Kambas. Menurut Kuswandono, saat ini kelompok tersebut satu-satunya yang menjalin kemitraan konservasi dengan pihaknya. 

Hadi mengatakan pihaknya mengelola 150 hektare lahan di sebuah area yang dinamai Rawa Kidang, terletak di bagian selatan taman nasional. Seluas 50 hektare untuk penanaman pohon dan sisanya termasuk wilayah yang dijaga untuk patrol kebakaran. Kemitraan itu akan berlangsung selama lima tahun, atau hingga 2025.

Selama dua tahun, KTH Rahayu Jaya telah menanam 65.000 bibit pohon. Jenis tanamannya bisa dari desa maupun taman nasional (didampingi oleh polhut ketika mengambil). Mayoritas tanaman yang ditanam merupakan pakan badak. Sesuai dengan perjanjian dengan Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang mendanai kegiatan kelompok tersebut. 

Hadi, ketua kelompok KTH Rahayu Jaya bersama salah anggota kelompok di area pembibitan restorasi Rawa Kidang, TN Way Kambas, Lampung. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Rusdiyanto, seorang penyuluh dari Balai TN Way Kambas yang mendampingi kelompok tani hutan di desa-desa sekitar taman nasional sedang menunjukkan progress restorasi yang dilakukan KTH Rahayu Jaya di Rawa Kidang. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

“Ke depan memang pohon yang kami tanam ditujukan untuk pakan badak,” jelas Hadi. 

“Penanaman di sini tidak pakai ukuran. Awalnya ada yang 4 meter, nanti setelah tumbuh kita rapatkan lagi. Kita mau buat hutan. Kalau berjalur-jalur nanti malah seperti kebun,” kata Hadi.

Tidak hanya di Rawa Kidang, restorasi juga dilakukan di beberapa titik yang telah menjadi hutan. Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), lembaga swadaya masyarakat untuk konservasi hutan dan satwa, telah terlibat dalam rehabilitasi hutan sejak 2010. 

Menurut Danang Wibowo, Koordinator Reforestasi, Sosial, dan Wisata ALeRT, pihaknya pada 2021 menanam satu juta pohon di area seluas 310 hektare bernama Rawa Purba. Area tersebut termasuk dalam SPTN III Kuala Penet, bagian selatan taman nasional. 

Salah satu area yang berhasil adalah Bambangan dengan luas 50 hektare, sekitar 2 kilometer dari Pusat Latihan Gajah. Ketika kami datang ke camp, area tersebut rimbun dengan pepohonan setinggi 8-15 meter dan kerapatan tak lebih dari 1 meter. 

Sebelum 2012, area Bambangan di SPTN III Kuala Penet, TN Way Kambas, gersang ditumbuhi ilalang dan semak belukar. ALeRT memulai restorasi di lokasi ini pada Juni 2012. Meskipun sempat terbakar pada 2014, area itu kembali pulih dan telah menjadi hutan. Foto aerial diambil Mei 2022. Dok Salih Alimudin/Tim Kominfo ALeRT

Camp area restorasi Bambangan yang diambil dengan drone. ALeRT bekerja sama dengan masyarakat untuk penjagaan area tersebut. Dok Salih Alimudin/Tim Kominfo ALeRT

Di area bernama Rawa Kadut, dekat zona inti di Desa Bungur, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur, salah satu keberhasilan kecil juga tampak di area restorasi yang dilakukan oleh Yayasan Auriga Nusantara. Sejak 2013, organisasi tersebut telah menanam puluhan ribu pohon, dan kini di wilayah itu telah tumbuh hutan sekunder seluas 100 hektare.  

Menurut Basuki Budi Santoso, staf restorasi Auriga, area yang tadinya kerontang, kini sering diidentifikasi pihaknya dilewati satwa. Jejak rusa, tapir, harimau, dan gajah hampir menjadi temuan biasa di wilayah tersebut. Tapak kaki dan kotoran dari rombongan gajah yang lewat juga sering ditemui.

Basuki mengatakan, saat ini pihaknya telah kembali menanam seluas 350 hektare dari total 600 hektare yang ditargetkan rampung pada akhir 2023. Namun secara keseluruhan organisasi tersebut mengelola sekitar 1.250 hektare, yang setengahnya merupakan bagian dari monitoring kebakaran. 

“Restorasi bukan cuma menanam, tetapi bagaimana mengembalikan fungsi ekosistem. Salah satunya dengan adanya interaksi satwa, yang memakan tunas-tunas atau daun-daun tanaman yang kita tanam, dan juga aktivitas menjaga dan memantau api,” ujar Basuki.

Kebakaran hutan dan lahan di Taman Nasional Way Kambas dipicu oleh perburuan liar. Dok Istimewa

Diky, koordinator pemadam kebakaran hutan TN Way Kambas, mengatakan tingkat kesuksesan restorasi di kawasan tersebut tinggi. Tanaman bahkan bisa tumbuh secara alami tanpa campur tangan manusia. Sebab, tanahnya cukup subur karena strukturnya terdiri dari tanah mineral dan lava gunung berapi.

“Idealnya, Way Kambas bisa pulih sepenuhnya dalam 30 tahun tanpa ditanami. Artinya, ada masalah. Yaitu intensitas terjadinya kebakaran tahun tinggi. Daerah di sini juga ada perambahan dan illegal logging. Tetapi kalau kita ngomong faktor utama penyebab degradasi kawasan yaitu kebakaran,” kata Diky.

Pada 2014, area Bambangan dengan tanaman setinggi 3-4 meter habis dilalap api. Pada tahun yang sama, Auriga juga harus kehilangan 8.500 pohon karena kebakaran. 

Namun karena tanamannya resisten api, kecemasan sedikit berkurang. Ketika kebakaran terjadi, api hanya melalap bagian daun dan ranting. Ketika api padam, daun dan ranting akan kembali tumbuh.

“Kemudian yang paling utama adalah penegakan hukum. Lalu, bagaimana kita bisa memiliki sistem pengendalian kebakaran hutan yang bagus. Hal ini pelan-pelan kita lakukan,” ujar Diky.  

Menurut Diky, sejak 2010 Balai TN Way Kambas menerapkan aktivitas tambahan dalam perjanjian kerja sama dengan mitra. Setiap lokasi restorasi ditambahkan area yang masuk dalam penjagaan dari kebakaran. 

Pohon puspa tumbuh di restorasi di Rawa Kadut yang dikelola Yayasan Auriga. Tanaman ini menjadi tanaman kunci di TN Way Kambas karena tahan api. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Hutan yang mulai tumbuh maupun telah tumbuh seperti Rawa Kidang dan Bambangan, misalnya, wajib menjaga dan memantau area seluas 100 hektare dari kebakaran. Sementara itu Yayasan Auriga pada perjanjian barunya mendapat tugas menjaga sekitar 650 hektare dari api. Biasanya masyarakat akan diberdayakan untuk berjaga dengan sistem upah harian. Konsep serupa terjadi di titik lain, sesuai dengan perjanjian kerja sama dengan mitra maupun Balai TN Way Kambas. 

Strategi tersebut dinilai cukup berhasil. Menurut Diky, kebakaran yang dulunya merata di seluruh seksi wilayah (Selatan, Tengah, dan Utara), intensitasnya menurun dalam dua tahun terakhir. 

“Dua tahun belakangan di sini hampir tidak ada kebakaran hutan… Semua aktivitas konservasi yang dilakukan melibatkan masyarakat secara intensif dan itu berbanding lurus dengan berkurangnya intensitas kebakaran hutan,” kata Diky. 

Sementara itu Danang bilang, masyarakat harus menjadi garda terdepan soal perlindungan dan pemulihan taman nasional di masa mendatang. Termasuk dalam pencegahan si jago merah. Edukasi konsisten dilakukan sehingga masyarakat sadar betul mengenai dampak negatif kebakaran. 

“Namun kita juga harus memikirkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Apakah tercukupi ketika terlibat perlindungan TN Way Kambas? Ketika ekonomi masyarakat sudah stabil, mereka tidak akan banyak ‘intervensi’ di dalam kawasan taman nasional,” jelas Danang. 

Ketika masyarakat telah menyadari pentingnya menjaga kawasan dan tidak terlibat aktivitas ilegal, hasil positif mulai terlihat. Ada rasa ‘memiliki’ yang menumbuhkan semangat melindungi taman nasional. 

Dua staf ALERT menunjukkan semalam ada gajah yang lewat di kamp Bambangan, TN Way Kambas. Area restorasi ini merupakan salah satu area restorasi yang berhasil di TN Way Kambas. Indikator restorasi berhasil adalah suara dan keberadaan satwa yang seringkali di jumpai. Dok Tim Kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Menurut Kuswandono, keberhasilan restorasi dengan mitra seperti organisasi dan kelompok tani hutan itu terletak pada pemeliharaan terus-menerus. 

“Di sini masyarakat benar-benar menjaga. Masyarakat menanam, memelihara… Kalau ada yang mati, disulam. Jadi ada penjagaan terus menerus dari masyarakat,” jelasnya. 

Menurutnya, kemitraan konservasi yang dijalin Balai TN Way Kambas dengan KTH Rahayu Jaya, misalnya, secara tidak langsung berpengaruh pada upaya penurunan aktivitas ilegal dari desa tersebut. 

“Dulunya (masyarakat dari desa ini) sering beraktivitas ilegal ke dalam kawasan. Ketika diajak kerja sama untuk mengelola area alang-alang, mereka memang mendapat upah, tetapi mereka sepakat dari bimbingan di sini untuk tidak menghabiskan uang yang diterima. Namun disisihkan dalam kelompok untuk mencoba mengembangkan aktivitas di luar kawasan di desanya,” jelas Kuswandono.

“Jadi harapannya, nanti kalaupun tidak diperpanjang atau ada kemitraan di area lain lagi, mereka sudah memiliki simpanan. Konsepnya seperti itu,” kata Kuswandono. 

Hadi mengatakan, meskipun saat ini kegiatan restorasi belum berpengaruh pada kesejahteraan secara individual, pembangunan terjadi di desanya. Misalnya pembangunan jalan raya dan perlengkapan tempat ibadah. Desanya juga menjadi desa wisata, sehingga menerima kunjungan di Rawa Kidang. Banyak orang datang berdonasi kepada kelompoknya, termasuk pemberian kursi orang roda untuk orang dengan disabilitas. 

Demplot lebah masyarakat KTH Mekar Sari yang berada di zona penyangga TN Way Kambas. Kelompok dari desa lainnya, seperti KTH Rahayu Jaya, menjadi 'mitra' belajar pengembangan usaha madu. Dok Tim kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Anggota KTH Mekar Sari, Desa Rantau Jaya Udik II, Sukadana, memanen madu dari hasil ternak lebah. Jenis usaha ini sedang ramai dikembangkan di desa-desa penyangga sekitar TN Way Kambas, Lampung. Dok Tim Kolaborasi Betahita-Mongabay Indonesia

Menurut Hadi, persepsi dan kapasitas sumber daya manusia di desanya juga meningkat. “Pola pikir yang awalnya masih bergantung di hutan, dengan adanya KTH mereka tidak melakukan itu lagi. Lalu yang eks (pemburu) itu bisa memberitahukan kepada yang lain untuk tidak melakukan lagi.” 

“Bahkan dulu sebelum ada KTH, babi atau menjangan sulit ditemui. Sekarang sering lewat ke ladang dan masuk lagi. Kebakaran juga (berkurang) atau hampir tidak ada lagi di (area restorasi) sini,” jelasnya. 

Sementara itu upah harian sebesar Rp 125.000 yang diterima anggota KTH saat berjaga disimpan dalam kas desa. Per November 2021, uang terkumpul mencapai Rp 40 juta. Harapannya, setelah terkumpul, kelompok akan terjun ke bisnis seperti lebah madu, pembibitan, budidaya sapi, perikanan, dan peternakan bebek. 

“Satu per satu unit usaha itu dibentuk. Sembari kita belajar dengan desa lainnya,” kata Hadi.

Devi mengatakan, total lahan yang direstorasi mencapai 18.000 hektare selama periode 2000-2018. Namun pihaknya masih mendata presentasi keberhasilan dalam periode waktu tersebut. Sementara itu area yang telah berhasil dan kini suksesi alami, masuk ke dalam monitoring dan penjagaan masing-masing kantor resor. 

Selain itu Balai TN Way Kambas juga berencana akan menambahkan area restorasi seluas 4.500 hektare untuk periode 2021-2025. Ekosistem yang dipulihkan tidak hanya daratan, tetapi juga perairan, rawa, dan mangrove di sepanjang pantai timur.

“Rencana juga akan ada KTH lainnya dengan kisaran hampir sama 50-100 hektare dan seluruhnya berada di dalam kawasan. Dan Mei lalu kami juga baru saja menandatangani perjanjian baru dengan KTH,” ujar Devi.

Semangat untuk restorasi tersebut memang menular. Beberapa kelompok tani hutan di desa lain turut berminat untuk terlibat dalam restorasi melalui kemitraan restorasi dengan Balai TN Way Kambas. 

Salah satunya dibentuk oleh Untoro, bernama KTH Wana Bhakti di Desa Rantau Jaya Udik II, Sukadana, Lampung Timur, yang baru saja menandatangani perjanjian kerja sama baru dengan pihak Balai TN Way Kambas. Sebelum perjanjian kerja sama, Untoro bersama anggota kelompoknya itu kerap bertandang ke KTH Rahayu Jaya untuk berdiskusi dan bertukar ilmu. Di antaranya soal restorasi dan bisnis madu dan ternak. 

Secara khusus Untoro mengajak eks pemburu maupun pemburu yang masih aktif untuk turut terlibat. Di dalam kelompok tersebut, Untoro aktif memberikan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran. Sekitar enam orang anggotanya merupakan mantan pemburu di taman nasional tersebut.

“Saya ingin mantan pemburu yang direkrut itu ada rasa memiliki sehingga mau menjaga taman nasional,” tandasnya.  

SHARE