Ajakan Bergabung Tim Kajian Sedimentasi Laut Ditanggapi Dingin

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kelautan

Kamis, 08 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejumlah organisasi masyarakat sipil lingkungan menanggapi secara dingin ajakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk bergabung dalam tim kajian yang akan dibentuk sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Tanggapan dingin itu wajar, apalagi sejak awal proses pembentukan dan penyusunan PP, organisasi masyarakat sipil lingkungan tidak pernah dilibatkan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bahkan secara terbuka menolak bergabung dalam focus group discussion (FGD), yang menurut jadwal, akan digelar oleh KKP di Provinsi Kepulauan Riau, pada Kamis (8/6/2023).

Sekjen Kiara, Susan Herawati menegaskan, penolakan yang disampaikan oleh Kiara dalam surat terbuka itu bukan hanya berlaku bagi undangan FGD, namun juga terhadap PP 26 dan ajakan bergabung dalam tim kajian yang akan dibentuk KKP. Susan menegaskan, pihaknya sama sekali tidak peduli apakah Kiara akan diundang atau tidak. Ia menganggap kalaupun Kiara diundang, itu terkesan hanya formalitas belaka.

"Seakan, KKP ataupun Negara mau bilang bahwa proses dari perumusan kebijakan ini sudah sedemikian terbuka dan egaliter. Tapi aku rasa enggak sih. Kan toh kita juga terimanya sudah jadi PP. Sedari awal dirumuskan kita tidak pernah terlibat. Kawan-kawan di Semarang itu pernah dapat surat undangan untuk membahas ini (pembentukan PP) dan itu rata-rata yang diundang itu perusahaan," ungkap Susan, Rabu (7/6/2023).

Kapal menambang pasir laut untuk kepentingan infrastruktur seperti reklamasi, infrastruktur dan termasuk ekspor pasir laut. Dok: Istimewa

Dalam surat terbukanya, Kiara menguraikan sejumlah alasan menolak hadir dalam FGD KKP. Pertama, sejak awal Kiara menolak praktek penambangan pasir laut dengan dalih apapun. Kedua penyampaian undangan dilakukan mendadak dan terkesan hanya sebagai formalitas. Kiara tidak melihat niat yang serius untuk mengundang dalam waktu yang singkat dan lokasi kegiatan yang jauh.

Secara metode, alasan ketiga, KKP tidak memahami metode FGD sebagai metode yang digunakan untuk melakukan wawancara secara bersama-sama dan dihadiri secara terbatas oleh sekoelompok orang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang sesuai dengan bidangnya. FGD seharusnya tidak menggunakan narasumber, karena setiap peserta yang diundang adalah narasumber.

Alasan keempat, penentuan lokasi pertemuan FGD yang akan dilaksanakan di Kota Batam, Kepulauan Riau, jelas menandakan area mana yang akan menjadi sasaran eksploitasi nantinya. Alasan terakhir, pada prinsipnya, pertemuan apapun yang dibuat KKP tidak sejalan dengan visi dan misi yang dijunjung Kiara, karena berbagai kebijakan yang dibuat KKP selalu menyudutkan masyarakat pesisir dan nelayan, serta merampas dan mengikis ruang hidup mereka.

Kiara menyebut, sudah beberapa kali pihaknya memohon audiensi dengan KKP terkait kasus-kasus terkait isu laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang merugikan masyarakat pesisir, namun permohonan dimaksud tidak pernah ditanggapi oleh KKP. Kementerian selalu condong berpihak pada pihak-pihak yang menghancurkan lingkungan laut dan pesisir di berbagai kasus.

"Salah satu permohonan audiensi yang pernah kami sampaikan adalah terkait kasus reklamasi di Pulau Minanga, Manado, Sulawesi Utara," kata Susan.

Penolakan keterlibatan dalam tim kajian KKP juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, mengaku telah dua kali dihubungi oleh tim dari KKP, untuk berdiskusi terkait pengelolaan sedimentasi di laut yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 2023, namun ajakan diskusi itu ia tolak dengan tegas.

"Mereka (KKP) tanya, apa yang jadi konsen Walhi? Ya konsen kami kan soal kelestarian lingkungan, kelestarian laut dan hak-hak masyarakat atas lingkungan yang bersih dan sehat. Ajakan itu yang tegas tetap kami tolak," ujar Parid, Rabu (7/6/2023).

Parid bilang, pihaknya hanya akan bergabung dalam tim kajian bila pemerintah, dalam hal ini KKP, bersedia menyusun dan membuat aturan yang akan memberi kepastian keselamatan dan pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Lebih lanjut, Parid menyebut pemerintah sangat tidak demokratis dalam penyusunan dan pembentukan PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sebab, sebelum PP dimaksud terbit pada 15 Mei 2023 lalu masyarakat sipil, khususnya Walhi, tidak pernah diajak berdiskusi apalagi diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan masukkannya.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional juga menyatakan penolakannya terlibat dalam diskusi apalagi menjadi bagian dalam tim kajian KKP, hal tersebut ditegaskan Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional. Melky menyebut pemerintah memiliki tabiat buruk yang selalu sama, cenderung mengajak masyarakat sipil untuk diskusi setelah kebijakan atau regulasi dibuat dan mendapatkan penolakan dari publik.

"Bukan (ajak diskusi) sebelum dan atau dalam proses kebijakan dan regulasi itu dibuat," kata Melky, Rabu (7/6/2023).

Ajakan diskusi dari KKP itu, menurut Melky, sudah tak relevan lagi. Selain karena KKP tidak layak untuk menjadi teman diskusi, juga tak ada jaminan keputusan atau kebijakan yang telah dibuat bisa dievaluasi ulang.

"Lebih relevan jika KKP dibubarkan saja, daripada jadi sumber masalah untuk publik dan lingkungan," hemat Melky.

Sebelumnya, Menteri Sakti Wahyu Trenggono mengajak organisasi pegiat lingkungan bergabung dalam tim kajian yang dibentuk KKP sebagai tindak lanjut terbitnya PP No, 26 Tahun 2023. Menurut Trenggono, dengan bergabung dalam tim kajian, organisasi pegiat lingkungan dapat menolak eksplorasi dan pengerukan hasil sedimentasi laut, bila menurut hasil kajian dianggap merusak lingkungan.

"Kalau dia pintar tidak akan menolak, masuk saja, masuk kemudian dia kaji kalau dia (eksplorasi dan pengerukan hasil sedimentasi laut) ini merusak lingkungan, dia hentikan, tidak bisa, selesai," kata Menteri Trenggono, Selasa (6/6/2023) kemarin, dikutip dari Antara.

Pernyataan tersebut disampaikannya menanggapi beberapa organisasi masyarakat sipil lingkungan hidup yang menolak bergabung dalam tim kajian yang di dalamnya termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Pusat Hidro-Oseanografi, para akademisi serta praktisi.

Menteri KP mengatakan, hasil sedimentasi laut hanya bisa dilakukan dan diambil serta digunakan untuk kepentingan reklamasi, baik di dalam negeri maupun luar negeri jika tim kajian menyetujui permintaan itu.

"Hati-hati ya sedimentasi hanya bisa dilakukan, diambil, digunakan untuk kepentingan reklamasi baik di dalam negeri maupun luar negeri, hanya kalau tim kajian mengatakan itu bisa dilakukan, kalau tidak, tidak bisa," ujar Menteri Trenggono.

Organisasi pegiat lingkungan, lanjut Trenggono, tidak bisa hanya melarang pemanfaatan hasil sedimentasi laut saja, namun diperlukan solusi bersama terkait masalah ekonomi yang menyangkut banyak orang.

SHARE