Orangutan Berkeliaran di Konsesi Tambang Batu Bara di Kaltim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Kamis, 08 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Hari mulai terang, orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio) bertubuh kecil beranjak meninggalkan sarang di ketinggian pohon. Orangutan yang tampak belum terlalu dewasa itu kemudian menuruni batang pohon tempat ia bersarang, sebelum berjalan di areal semi terbuka menggapai buah-buahan yang ada di sekitarnya.

Selain orangutan kecil itu, tampak pula beberapa orangutan lainnya yang berjalan di lahan terbuka yang cukup luas. Bahkan di bagian tertentu, tampak satu individu orangutan dewasa yang menyeberangi jalan raya yang cukup sibuk dilintasi kendaraan. Pemandangan itu tergambar dalam sebuah video yang dirilis Conservation Action Network (CAN) di laman Facebook-nya, pada Selasa (6/6/2023).

Berdasarkan penelusuran Betahita, video tersebut diambil belum lama ini di sekitar jalan Simpang Perdau, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim). Kawasan itu belakangan diketahui sebagai lokasi penyelamatan dua individu orangutan yang dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur (Kaltim) bersama CAN, pada 31 Mei 2023 kemarin. 

Pada postingan Facebook sebelumnya, CAN juga mengabarkan mendapat laporan dari masyarakat tentang keberadaan orangutan yang sering berada di pinggir Jalan Simpang Perdau, Kabupaten Kutai Timur dan beberapa kali disebut masuk ke desa. Tim CAN dan Wildlife Rescue Unit (WRU) BKSDA Kaltim sampai di lokasi dan menemukan hutan yang menjadi tempat tinggal orangutan, sangat kecil dan terfragmentasi.

Salah satu individu orangutan yang terpantau berkeliaran di sekitar areal tambang batu bara di sekitar jalan Simpang Perdau, Kabupaten Kutai Timur. Foto: CAN

"Tim kami menemukan lebih dari 3 orangutan (1 jantan dewasa dan 1 bayi bersama ibunya), tim sedang di lapangan untuk menyelamatkan orangutan-orangutan malang ini," tulis CAN dalam postingannya.

Dua individu orangutan yang diselamatkan dan dievakuasi oleh BKSDA Kaltim akhir Mei lalu di jalan poros Sangatta-Simpang Perdau-Muara Wahau itu adalah satu individu orangutan betina bersama dengan anaknya. Menurut keterangan resmi BKSDA Kaltim, orangutan betina yang diselamatkan dari lokasi itu usianya sekitar 13-15 tahun, sedangkan anaknya berusia kurang lebih 1 tahun berkelamin jantan.

Masih berdasarkan penjelasan pihak BKSDA Kaltim, sepasang induk dan bayi orangutan itu terpaksa dievakuasi karena dikhawatirkan berkonflik dengan warga. Sebab, dua satwa dilindungi itu diketahui telah beberapa kali masuk ke pemukiman dan memakan buah-buahan yang ada di sekitar rumah warga. Orangutan betina dan anaknya ini diperkirakan sudah cukup lama berada di kawasan itu, karena ditemukan banyak sarang lama dan baru.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Kaltim, Dheny Margianto, menjelaskan selain potensi konflik dengan masyarakat, alasan lain induk dan bayi orangutan ini harus diselamatkan dan dipindahkan adalah karena dua orangutan ini diperkirakan tidak akan dapat bertahan hidup dalam waktu lama di lokasi itu.

Induk dan bayi orangutan ini, lanjut Dheny, ditangkap dengan menggunakan peluru bius dan jaring. Tidak ada masalah dalam proses penangkapan dua orangutan itu. Setelah ditempatkan dalam kandang dan dinyatakan sehat, keduanya kemudian dilepasliarkan ke kawasan hutan yang lebih aman.

"Khawatir ada orang yang mengganggu (orangutan). Akhirnya tim WRU mendatangi lokasi. Saat itu kerja sama dengan teman-teman CAN, mereka membantu evakuasi. Tim menilai orangutan ini perlu dievakuasi dan ditranslokasi ke wilayah yang lebih aman," terang Dheny, via sambungan telpon, Selasa (6/6/2023).

Orangutan betina bersama anaknya terpaksa diselamatkan dan dievakuasi oleh BKSDA Kaltim dari sekitar jalan poros Sangatta-Simpang Perdau-Muara Wahau. Foto: CAN

Dheny mengaku tidak mengetahui secara jelas kondisi lokasi penyelamatan dua orangutan itu, termasuk dugaan lokasi yang berada di dalam izin usaha pertambangan. Namun Dheny bilang, lokasi tersebut belum tentu merupakan habitat orangutan. Meskipun lokasinya berdekatan dengan hutan alam.

Menurut Dheny, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan orangutan-orangutan ini keluar dari hutan habitatnya dan masuk ke pemukiman warga. Sehingga dirinya tidak berani berspekulasi menyebutkan penyebab pasti orangutan memilih masuk ke pemukiman warga.

"Kalau dibilang itu habitatnya, tidak juga. Ada berdekatan dengan hutan, tetapi kenapa keluar dari habitatnya, itu banyak faktor. Kami tidak bisa menjustifikasi. Tapi sering kami lihat karena musim buah. Tapi kalau dibilang di habitatnya (hutan) tidak ada pakan dan lain-lain, harus ada kajiannya," kata Dheny.

Soal penanganan orangutan di areal pertambangan, Dheny mengatakan, BKSDA Kaltim pernah beberapa kali bekerja sama dengan perusahaan pertambangan dalam hal penyelamatan dan pengevakuasian orangutan dan satwa liar lainnya yang masuk ke areal pertambangan. Biasanya, kata dia, perusahaan tambang akan melapor ke BKSDA Kaltim bila ada satwa liar yang masuk ke areal tambang.

"Beberapa kali ada (laporan). Kalau karyawan mereka (tambang), harusnya sudah paham karena sudah disosialisasikan. Ada call center BKSDA. Tapi beberapa kali sudah terlanjur viral. Tapi itu karena ternyata karyawan yang melihat orangutan itu karyawan subkontrak, jadi belum pernah dilakukan sosialisasi," katanya.

Dheny menguraikan, upaya penyelamatan dan evakuasi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan terhadap orangutan yang tidak dapat bertahan hidup di lingkungan yang tidak mendukung. Tetapi sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut, satwa yang diselamatkan terlebih dahulu akan dinilai perilaku dan kondisi fisiknya.

Apabila sifatnya masih liar dan secara fisik itu sehat, tidak kurus dan tidak ada luka, kata Dheny, maka satwa akan segera ditranslokasi atau dipindahkan ke lokasi lain. Namun jika si satwa secara fisik dianggap kurus, kurang sehat, maka satwa dimaksud akan lebih dulu menjalani rehabilitasi.

Citra satelit lokasi temuan orangutan di jalan Simpang Perdau, Kutai Timur, berdasarkan titik koordinat lokasi. Tampak dalam citra satelit, hutan yang terfragmentasi dan lahan-lahan terbuka pertambangan batu bara di sekitar jalan poros jalan poros Sangatta-Simpang Perdau-Muara Wahau. Gambar: CAN

Belum Ada Aturan yang Mewajibkan Konsesi Tambang Menyediakan Areal Konservasi

Betahita mencoba melakukan analisis spasial terhadap lokasi temuan orangutan tersebut. Hasilnya diketahui bahwa lokasi orangutan-orangutan itu berada di dalam konsesi atau izin usaha pertambangan batu bara PT KPC.

Fenomena orangutan berkeliaran di konsesi pertambangan seperti ini sebetulnya sudah sering kali terjadi, bahkan beberapa di antaranya viral di media sosial. Hal ini juga menjadi perhatian bagi peneliti orangutan.

Yaya Rayadin, akademisi sekaligus peneliti orangutan kalimantan dari Universitas Mulawarman, mengakui perebutan ruang antara orangutan dan kegiatan usaha berbasis lahan seperti tambang, telah mengakibatkan luas habitat orangutan di Kaltim berkurang. Dampaknya, banyak habitat menjadi terfragmentasi dan orangutan terjebak dalam suatu kondisi lingkungan yang buruk.

"Intinya harga batu bara semakin mahal, eksploitasi semakin meningkat, luas habitat orangutan semakin berkurang," kata Yayan Rayadin, Selasa (6/6/2023).

Berbeda dengan perkebunan sawit yang diatur dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan perkebunan kayu (hutan tanaman industri) yang diatur lewat aturan pemerintah dan prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Rayadin menyebut, pada kegiatan pertambangan tidak ada satu aturan pun yang mewajibkan pemegang konsesi tambang membangun dan menyiapkan areal konservasi dalam areal tambangnya.

"Sebenarnya pemilik konsesi hanya taat sama aturan. Selama aturannya tidak ada, tidak dibangun, maka akan susah terkait konservasi orangutan. Harusnya seperti itu (penyediaan areal konservasi) dan dituangkan dalam aturan sehingga sifatnya mandatory alias menjadi kewajiban," ujar Rayadin.

Selain tidak ada kewajiban untuk menyediakan atau menyisakan sebagian areal untuk konservasi, masih kata Rayadin, secara umum juga tidak ada kewajiban bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan pemantauan dan survei populasi orangutan di dalam areal tambangnya.

"Kalaupun ada. Mungkin ada di AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) atau RKL (rencana pengelolaan lingkungan) dan RPL (rencana pemantauan lingkungan hidup) perusahaan, namun belum menjadi perhatian pemerintah," terang Rayadin.

SHARE