Greenpeace: Raksasa Agribisnis Raup Keuntungan di Tengah Krisis

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Food Estate

Jumat, 10 Maret 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejumlah perusahaan raksasa agribisnis diduga meraup keuntungan miliaran dolar saat Dunia tengah didera krisis pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Hal tersebut diuraikan dalam laporan terbaru Greenpeace International berjudul Food Injustive 2020-2022.

Penelitian dimaksud menemukan, sebanyak 20 perusahaan--terbesar di sektor biji-bijian (gandum, kedelai, dan lainnya), pupuk, daging, dan susu--membagikan USD53,5 miliar dividen untuk para pemegang saham mereka pada 2020 dan 2021.

Keuntungan yang mereka dapatkan cukup untuk membiayai kebutuhan dasar jutaan orang yang membutuhkan. Merujuk perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dana sebesar USD51,5 miliar akan cukup untuk menyediakan makanan, tempat tinggal sementara, dan menunjang kehidupan 230 juta orang paling rentan di dunia.

“Ketidakadilan sistem pangan global ini sangat berdampak ke Indonesia, yang merupakan salah satu importir besar pupuk dari Rusia dan gandum dari Ukraina. Ketika terjadi perang antara kedua negara itu, suplai pangan Indonesia sangat terimbas,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan resmi, Kamis (9/3/2023).

Spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis! dibentangkan di atas lahan food estate di Kalteng. Foto: Greenpeace Indonesia

Laporan Greenpeace International itu menganalisis keuntungan 20 korporasi agribisnis di seluruh dunia selama 2020-2022–periode terjadinya pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina. Riset ini menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengeksploitasi krisis global untuk meraup keuntungan fantastis, menjerumuskan jutaan orang ke dalam kelaparan, dan memperkuat kendali mereka atas sistem pangan global, demi keuntungan jumbo para pemilik dan pemegang saham mereka.

Empat perusahaan besar, yakni Archer-Daniels Midland, Cargill, Bunge, dan Dreyfus, mengontrol 70 persen perdagangan biji-bijian dunia. Cargill juga merupakan importir kedelai terbesar di Indonesia. Pada 2012, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut Cargill dan satu perusahaan lainnya menguasai 74 persen pasar impor Tanah Air.

Namun, perusahaan-perusahaan itu tak punya kewajiban untuk mengungkap apa yang mereka ketahui tentang pasar global, termasuk stok mereka sendiri. Ketiadaan transparansi tentang stok ini--terutama selepas invasi Rusia ke Ukraina--merupakan faktor utama yang memicu spekulasi harga pangan.

Situasi ini jelas berpengaruh kepada Indonesia, mengingat masifnya intervensi makanan dari luar ke dalam negeri. Data Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah impor gandum dan pupuk ke indonesia relatif meningkat setiap tahunnya. Impor pupuk yang dikuasai perusahaan-perusahaan skala besar juga merugikan para petani kecil, yang sudah tergantung dengan pupuk kimia.

“Kita sedang berhadapan dengan ancaman krisis pangan karena krisis iklim. Apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu menambah kerentanan pangan yang mengintai kita semua,” imbuh Syahrul.

Di Tanah Air, kerentanan ini juga diperparah dengan upaya penyeragaman pangan, seperti yang dilakukan pemerintah lewat program lumbung pangan atau food estateRiset Greenpeace Indonesia sebelumnya menemukan, proyek itu justru mengancam sistem budaya pangan lokal yang beragam dan bergizi.

Greenpeace mendukung pergeseran menuju model kedaulatan pangan, sebuah sistem pangan yang kolaboratif dan komunal, yang memungkinkan komunitas lokal memiliki kekuatan dan kontrol terhadap produksi pangan mereka sendiri. Kedaulatan pangan ini mencakup hak atas pangan lokal, seperti sagu untuk masyarakat Papua, yang eksistensinya terancam oleh pembangunan yang tak berkelanjutan.

“Pemerintah di level internasional, nasional, dan lokal memiliki peran kunci untuk mengakhiri kontrol dan monopoli korporasi, serta memastikan transparansi demi keadilan pangan,” tutup Syahrul.

SHARE