Pemerintah Harus Tuntaskan Pelanggaran K3 PT GNI

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Kamis, 16 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Organisasi buruh dan lingkungan mendesak pemerintah tuntaskan pelanggaran keselamatan tenaga kerja PT GNI. Mereka menganggap pemerintah tutup mata terhadap keselamatan pekerja meski kecelakaan kerja kian banyak terjadi, baik di PT GNI maupun smelter nikel lainnya. 

Hanya selang beberapa hari setelah aksi mogok yang berujung ricuh di PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), Morowali Utara, pada 14 Januari 2023, kecelakaan kerja kembali terjadi di perusahaan itu. Pada Minggu, 29 Januari 2023, seorang operator dump truck meninggal karena kecelakaan di jalan hauling. 

Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Rudi HB. Daman, menganggap kecelakaan ini sebagai ironi karena salah satu tujuan aksi mogok di PT GNI adalah persoalan keselamatan kerja. Data Trend Asia dari sumber terbuka menemukan 8 insiden dengan 5 korban meninggal dunia karena kecelakaan kerja, 3 orang terluka, serta 2 diduga bunuh diri di sepanjang 2020-2022.

Ia menyebutkan pelanggaran aturan ketenagakerjaan terjadi di perusahaan itu, mulai dari tidak adanya Peraturan Perusahaan (PP), pemberlakuan status kontrak bagi pekerjaan yang bersifat tetap, pemotongan upah, melanggar aturan K3, serta PHK secara sepihak. PT GNI bahkan tidak memberi akses leluasa kepada pejabat Disnaker terutama pengawas ketenagakerjaan. 

Data Kecelakaan Kerja dan Bunuh Diri di Industri Nikel Indonesia

“Saya menduga PT GNI tidak melaksanakan wajib lapor ketenagakerjaan dan jika itu benar, itu jelas tindak pelanggaran ketenagakerjaan," ucapnya dalam jumpa pers di kantor YLBHI, Jakarta pada Senin (13/2/2023).

Sebagaimana tertulis dalam UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, ada tiga tujuan utama dari penerapan K3 di semua perusahaan tanpa terkecuali, salah satunya melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja. 

Namun permasalahan menyangkut nyawa dan keselamatan pekerja ini lebih banyak absen dari tindakan pemerintah selama ini. Terbukti, pemerintah justru tak menyoroti soal kecelakaan kerja dan tuntutan buruh. 

Penegak hukum justru berkutat untuk menindak pelaku kerusuhan dalam aksi mogok. 

Pada hari terakhir aksi mogok kerja, Sabtu (14/1) terjadi bentrok yang diduga dipicu oleh pemukulan kepada pekerja berkewarganegaraan Indonesia dari pekerja Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok. Bentrok tersebut berujung pada pembakaran mes karyawan dan kendaraan kerja hingga mengakibatkan dua pekerja, masing-masing TKA dan TKI, meninggal dunia. Namun perlu digarisbawahi, dalam keseharian bekerja tak ada gesekan antara pekerja asing maupun Indonesia di area PT GNI. 

Parahnya data yang dipapar Trend Asia menemukan ada total 68 insiden yang menyebabkan 76 pekerja terluka dan 57 meninggal dunia, baik karena kecelakaan kerja maupun dugaan bunuh diri. Insiden tersebut terjadi di 15 lokasi kawasan smelter nikel yang berlokasi di Sulawesi dan Maluku. PT IMIP di Morowali, Sulawesi Tengah menduduki peringkat pertama dengan insiden terbanyak sejumlah 18 insiden, di antaranya 15 korban meninggal karena kecelakaan kerja, tiga dugaan bunuh diri, dan 41 korban luka.

Kesiapan pemerintah yang hanya menyediakan pengawas hak pekerja dan keselamatan kerja diragukan. Menurut mereka hanya ada 1.686 orang pengawas untuk mengawasi 343.000 perusahaan. Artinya setiap orang harus mengawasi sekitar 200 perusahaan, sementara seharusnya per orang mengawasi maksimal 60 perusahaan. 

Peneliti Trend Asia, Rio Tarigan mengungkapkan sektor tambang memiliki risiko tinggi sedangkan pengawasan dari pemerintah buruk. Alih alih untuk melaksanakan transisi energi, kata dia, pemerintah justru terus melakukan eksploitasi di bidang nikel batu bara dan energi ekstraktif, bukan memfokuskan pada transisi energi bersih dan berkelanjutan. 

“Kecelakaan kerja yang terjadi di industri tambang merupakan suatu fenomena bahwa pemerintah gagal menciptakan ruang kerja aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika kita berbicara mengenai energi berkelanjutan, industri tambang bukan hanya buruk bagi lingkungan saja namun terbukti buruk juga kepada manusia. Ini terlihat dari peraturan, pengawasan dan keamanan yang timbulnya korban terus menerus,” kata Rio.

Peneliti Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Sugeng mengungkap persoalan K3 jarang menjadi isu utama dalam aksi-aksi pemogokan buruh. Jika itu muncul, sebagaimana yang terjadi di PT GNI, artinya situasi tempat kerja sudah seperti ‘liang kubur’, buruk. 

“Dengan kata lain, banyak kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan buruh terluka hingga kehilangan nyawa. Investasi pada industri smelter atau baja di Indonesia menempati urutan kedua setelah sektor energi. Namun kondisi kerjanya sangat buruk; upah rendah hingga jam kerja panjang. Kondisi itu yang menjamin perusahaan smelter menghasilkan keuntungan dengan memangkas biaya produksi dengan cara beroperasi di bawah standar perburuhan dan lingkungan," paparnya. 

Peneliti Rasamala Hijau Indonesia, Catur, mengungkap tuntutan tersebut tidak direspons oleh pihak pemerintah, sementara PT GNI menolak audiensi yang diinisiasi pekerja. Karenanya, serikat pekerja melakukan mogok kerja akibat tuntutan yang tidak diindahkan oleh perusahaan. 

Buruh dalam industri smelter nikel di Morowali, mulai dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) maupun PT GNI, harus bekerja dengan resiko keselamatan kerja yang tinggi. Sudah lama isu keselamatan kerja berlangsung. Namun, tidak ada perbaikan berarti. Hampir setiap hari ada berita kecelakaan kerja, mulai dari yang ringan hingga fatal. 

“Resiko tinggi dalam industri smelter nikel ini tidak dibarengi dengan upah yang layak. Selain itu, PT GNI juga melakukan diskriminasi upah yang mengakibatkan kesenjangan antara buruh lokal dengan tenaga kerja asing," jelas 

Mereka pun mendesak pemerintah memberikan tindakan tegas terhadap PT GNI dan perusahaan smelter nikel lainnya. Selain itu pemerintah harus menjadi pengawas terhadap terlaksananya keselamatan dan kesejahteraan buruh, serta menghentikan upaya kriminalisasi. 

SHARE