Masyarakat Pulau Mendol Menang, HGU PT TUM Akhirnya Dicabut

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Senin, 06 Februari 2023

Editor : Aryo Bhawono

BETAHITA.ID - Perjuangan masyarakat Pulau Mendol berbuah manis. Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit seluas 6.055,77 hektare yang dipegang PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM), yang berlokasi di Pulau Mendol, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, akhirnya dicabut oleh Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) lewat Surat Keputusan Nomor 1/PTT-HGU/KEM-ATR/BPN/I/2023, pada 24 Januari 2023 lalu.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Even Sembiring menyebut pencabutan HGU PT TUM ini merupakan buah dari perjuangan masyarakat Pulau Mendol yang menolak kehadiran perusahaan perkebunan sawit tersebut.

Menurut Even, kemenangan masyarakat Pulau Mendol merupakan preseden baik pada awal tahun politik 2023. Membawa harapan terjadi penerbitan kebijakan serupa sepanjang tahun politik 2023 dan jelang Pemilu 2024. Pencabutan HGU PT TUM ini merupakan buah dari perjuangan masyarakat Pulau Mendol yang menolak kehadiran perusahaan perkebunan sawit tersebut.

"Sebuah kemenangan yang tidak dapat dilepaskan dari perjuangan almarhum Said Abu Supian yang secara konsisten mendorong pencabutan HGU di atas tanah kelahirannya," kata Even, dalam konferensi pers yang digelar Sabtu (4/2/2023).

Tampak dari ketinggian satu alat berat jenis ekskavator berada di dekat kanal yang sedang dibuka oleh pihak perusahaan./Foto: Walhi Riau

Pencabutan HGU PT TUM membebaskan pulau Mendol sebagai pulau kecil dari beban investasi. Kebijakan ini mengurangi ancaman bencana ekologis, seperti abrasi, subsidensi dan kebakaran hutan dan lahan akibat praktik buruk investasi perkebunan kelapa sawit.

Apabila PT TUM dibiarkan terus beraktivitas, bukan hanya mengancam keberadaan Mendol sebagai pulau kecil, aktivitas tersebut tentu akan menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan nafkah hidup masyarakat pulau. Pencabutan HGU PT TUM menyelamatkan masyarakat Pulau Mendol dari letusan konflik agraria dan dampak buruk perubahan iklim.

Tokoh masyarakat Riau, Hj. Azlaini Agus dan Kazzaini KS, berpesan agar kemenangan ini tidak boleh membuat masyarakat lupa bahwa kemenangan kecil ini harus ditindaklanjuti dengan memastikan legalitas hak masyarakat atas tanah tersebut. Meski begitu, pengelolaan lahan oleh masyarakat harus dipastikan selaras dengan kondisi ekosistem Pulau Mendol sebagai pulau kecil yang mayoritasnya adalah ekosistem gambut.

Walhi Riau berpendapat, pencabutan HGU PT TUM ini patut dilakukan. Karena terdapat sejumlah kekeliruan kriteria penerbitan HGU tersebut. Pertama, HGU PT TUM terbit di atas lahan yang sudah lama digarap oleh masyarakat. Yang mana HGU PT TUM terbit pada 19 Oktober 2017, sementara hasil pantauan lapangan dan informasi dari masyarakat menemukan bahwa areal HGU PT TUM itu telah digarap masyarakat selama sekitar 10-15 tahun.

Proses transisi pelepasan kawasan hutan menjadi HGU dalam kurun waktu yang cukup panjang mengakibatkan lokasi terlebih dulu dikuasai masyarakat. Untuk diketahui, areal HGU PT TUM di Pulau Mendol ini berasal dari Pelepasan Kawasan Hutan pada 1997 silam--berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 659/Kpts-II/1997--sedangkan HGU PT TUM baru terbit pada 2017.

Kedua, penerbitan HGU PT TUM bertentangan dengan prioritas peruntukan pulau-pulau kecil yang diatur Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WPPK). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU tersebut, Pulau Mendol masuk dalam kategori pulau kecil, karena luasnya hanya 307,17 km persegi atau setara dengan 30.717 hektare.

Selanjutnya, Pasal 23 UU WPPK menyebut pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan konservasi, pendidikan, dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, dan budidaya laut. Tidak untuk perkebunan skala besar kelapa sawit.

Ketiga, HGU PT TUM terbit di atas areal gambut. Konsideran huruf d nomor 2 dokumen HGU PT TUM menyebut “Tanah yang dimohon HGU PT TUM bukan merupakan lahan gambut sehingga terbebas dari Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut". Pertimbangan dalam konsideran ini abai pada ketentuan dan kebijakan lain yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.

Hal pertama yang diabaikan dalam penerbitan HGU terkait ekosistem gambut adalah ketentuan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor: 14/Permentan/Pl.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Permentan tersebut menentukan kriteria lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit ialah harus berada pada kawasan budidaya (FBEG), yakni kawasan yang berasal dari pelepasan hutan atau APL (Area penggunaan lain).

Tumpang susun peta HGU PT TUM dengan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional memperlihatkan areal tersebut berada di atas 9,96 hektare Fungsi Lindung Ekosistem Gambut Non Kubah Gambut dan 5.679,53 hektare Fungsi Lindung Ekosistem Gambut Kubah Gambut. Hanya 419,07 hektare yang berada di Fungsi Budidaya

Hal kedua, penerbitan HGU patut diduga sengaja abai terhadap rujukan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016. Pasal 26 PP tersebut secara tegas memberi larangan pembukaan lahan baru di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut.

"Berdasarkan uraian di atas, penerbitan HGU PT TUM dari awal sudah menyalahi ketentuan perundang-undangan, melanggar ketentuan perlindungan ekosistem pesisir laut dan gambut, dan abai pada keberadaan masyarakat," urai Walhi Riau dalam laporan berjudul 'HGU Tidak Aktif Pemicu Konflik di Pulau Mendol', yang dipublikasikan pada 14 Oktober 2022 lalu.

SHARE