Sebanyak 26 Kejadian Konflik Satwa di Bengkulu Sepanjang 2022

Penulis : Aryo Bhawono

Satwa

Rabu, 04 Januari 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Konservasi Wilayah I Bengkulu mencatat 26 kejadian konflik antara manusia dengan satwa liar yang terjadi dalam enam kabupaten di wilayah itu sepanjang tahun 2022. Catatan Betahita, salah satu penyebab terjadinya konflik satwa adalah pembukaan lahan di kawasan habitat, terutama habitat gajah di Bentang Alam Seblat. 

Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bengkulu, Said Jauhari, melalui Kepala Unit Polhut Reza Alftriansyah, mengatakan konflik ini terjadi antara manusia dengan satwa liar, yakni harimau, beruang, gajah, buaya, ular sanca dan monyet ekor panjang. 

"Ada 26 kejadian, sebanyak 13 kejadian konflik antara manusia dengan harimau. Kemudian 13 kejadian lainnya dengan beruang madu lima kejadian, buaya muara ada lima kejadian, gajah sumatera satu kejadian, dengan ular dan monyet ekor panjang masing-masing satu kejadian," kata Reza, seperti dikutip dari Antara.  

Kejadian konflik manusia dengan satwa liar ini terjadi karena adanya penyempitan habitat mereka akibat pembukaan lahan pertanian dalam kawasan konservasi baik dalam hutan produksi terbatas (HPT) maupun areal penggunaan lain atau APL. 

Gajah sumatera di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu./Foto: Antara/Helti Marini Sipayung

"Untuk konflik manusia dengan Harimau Sumatera paling sering terjadi di wilayah Kabupaten Mukomuko, tepatnya di Kecamatan Malin Deman," katanya. 

Konflik manusia dengan harimau itu tidak memakan korban jiwa dan hanya ternak warga yang dilepas dalam perkebunan sawit yang lokasinya berbatasan dengan kawasan konservasi. 

Sedangkan untuk konflik manusia dengan satwa liar jenis beruang, menurut dia, salah satunya terjadi di Teluk Kupai, Kabupaten Bengkulu Utara yang menyebabkan satu orang petani mengalami luka-luka setelah secara tidak sengaja bertemu beruang di dalam kebun warga. 

"Upaya-upaya yang kita lakukan adalah dengan melakukan sosialisasi agar warga tidak memelihara ternak dengan cara dilepas dalam kawasan karena dapat memancing datangnya harimau. Kemudian melakukan pengusiran, memasang perangkap dan kamera serta memantau ke lapangan," ujarnya.

Pemberitaan Betahita mencatat, salah satu pemicu konflik satwa gajah di Bentang Alam Seblat, Bengkulu adalah karena penguasaan lahan habitat untuk perkebunan kelapa sawit. Direktur Genesis Bengkulu, Egi Saputra menyebutkan, luas habitat gajah Bentang Alam Seblat luasnya sekitar 36.358 hektare dan saat ini sekitar 55,89 persen dari luasan tersebut telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Hal ini, kata dia, populasi satwa gajah sumatera di Bentang Alam Seblat Bengkulu yang sekitar 50 individu itu menjadi terancam dan memperbesar peluang terjadinya konflik antara gajah dan manusia.

"Adanya aktivitas pertanian lahan campuran di dalam kawasan hutan yang didominasi oleh tanaman sawit menggambarkan mudahnya setiap orang untuk menguasai dan mengelola kawasan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan," kata Egi.

Menurut Egi, 6.385 hektare Bentang Alam Seblat itu sekitar 3.553 hektare di antaranya menjadi lahan pertanian kering campuran, 2.088 hektar menjadi lahan terbuka, 407,38 hektar menjadi semak belukar dan seluas 308,99 hektare lahan perkebunan.

SHARE