Perpres 112 Tahun 2022 dan Omong Kosong Energi Terbarukan

Penulis : Fatia Syavira N, Peneliti Tambang dan Energi Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Jumat, 14 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perpres No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik berkesan bahwa pemerintah bereaksi atas transformasi energi terbarukan. Tapi kepentingan pengusaha tambang batu bara dan korporasi pembangkit fosil diduga masih menyelinap. 

Pada 13 September 2022 lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik. Salah satu amanat penting beleid ini adalah penyusunan peta jalan (roadmap) percepatan pengakhiran masa operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara demi transisi energi. 

Lahirnya Perpres ini tak lepas dari janji Jokowi setahun sebelumnya, tepatnya pada KTT Pemimpin Dunia Tentang Perubahan Iklim ke-26 (COP26) di Glasgow. Ia mengatakan Indonesia akan melakukan transisi energi  dari energi fosil ke energi terbarukan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Meski butuh hampir satu tahun, Perpres No 112 Tahun 2022 ini dapat dianggap sebagai terjemahan pernyataan Presiden Jokowi di COP26. Pastinya kehadiran perpres ini sementara menjadi payung pelaksanaan transisi energi, karena tidak adanya aturan yang spesifik, khususnya mengenai pensiun dini (early retirement) PLTU.

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Hanya saja, lahirnya perpres ini mengkonfirmasi bahwa pemerintah belum punya peta jalan final transisi energi. Amanat pasal 3 ayat (1) dan (2) perpres Perpres No 112 Tahun 2022 menyebutkan penyusunan peta jalan pensiun dini PLTU. Padahal selama ini cukup banyak beredar dokumen rencana transisi energi serta pensiun dini PLTU. 

Misalnya saja paparan Kementerian ESDM saat diskusi Ngopini bertajuk ‘PLTU: Pensiun Dini atau Pensiun Alami?’ yang digelar Yayasan Auriga Nusantara pada Desember 2021. Transisi energi akan dilakukan dalam enam tahap, sedangkan pemensiunan PLTU dilakukan pada dua tahap, yakni 2031-2035 dan 2036-2040. 

Meski peta jalan telah disusun Perpres 112 Tahun 2022 tidak mengamanatkan pelibatan para pihak dalam prosesnya penyusunannya. Padahal proses transisi, pensiun dini PLTU, dan tarif listrik, relasinya sangat kuat terhadap masalah ketenagakerjaan, masalah sosial, lingkungan, termasuk perizinan dan investasi. 

Secara hukum, perpres adalah aturan pelaksana penyelenggaraan kekuasaan pemerintah. Hanya saja bicara soal listrik, tentulah berkait erat dengan urusan kemaslahatan rakyat. Jadi tak cukup hanya koordinasi lintas kementerian sebagaimana dalam ayat (2) pasal 3 Perpres 112 tahun 2022, yakni Kementerian Keuangan dan BUMN. 

Pemerintah seharusnya banyak belajar dari pengalaman perencanaan pembangunan infrastruktur dan pengadaan listrik. Lihat saja fast track programme (FTP) I 10.000 MW, FTP II 10 MW, dan 35.000 MW. Kita semua tahu akhirnya nasib FTP I dan FTP II. Lalu, 35.000 MW yang dicanangkan sejak 2015, mulai tertatih-tatih mengejar target. 

Bah, untuk kali ini pemerintah seharusnya menyusun peta jalan dengan baik melalui keterlibatan para pihak, supaya adil terhadap masyarakat luas tak hanya pengusaha, sehingga bukan semata-mata target politik untuk mendapatkan simpati rakyat Indonesia dan dunia.

Judul Perpres 112 tahun 2022 memang memunculkan kesan kesungguhan pemerintah segera shifting meninggalkan energi fosil. Ternyata ada embel-embelnya. Misalnya saja PLTU yang telah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, tetap dilanjutkan pembangunanya. Setidaknya ada sekitar 13 GW yang akan didirikan sampai 2030. 

Jika berandai-andai, dengan lifetime sebuah pembangkit 35 tahun, sementara baru beroperasi pada 2030, bagaimana mungkin mencapai NZE di 2060?

Saat ini saja, target pemerintah mengurangi emisi pasca Paris Agreement, diperkirakan meleset. Target emisi baru berhasil dikurangi sebanyak 12,8 persen dari 29 persen dilakukan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Banyaknya PLTU yang beroperasi, terutama di Pulau Jawa, berkontribusi terhadap perlambatan penurunan emisi meski pemenuhan kebutuhan regional telah oversupply. 

Apalagi jika tetap dibangun di Jawa-Bali, pulau ini tak memiliki potensi batu bara sedangkan penambangan akan tetap berlangsung di pulau lain seperti Kalimantan.

Ketentuan mengenai PLTU di RUPTL sebelum Perpres 112 ditetapkan, patut diduga sebagai upaya memberi perpanjangan nafas bagi investor pembangkit maupun perusahaan tambang batu bara. Setidaknya sampai batu bara Indonesia habis ditambang. Diperkirakan dengan tingkat produktivitas tambang batu bara saat ini, cadangan batu bara yang terbukti akan habis sekitar 30 tahun. Meskipun Perpres 112 telah membatasi operasi PLTU hanya sampai 2050, kendala pembangunan tidak ada yang pasti. 

Dengan logika sederhana, bisa dikatakan bahwa target NZE 2060 erat kaitannya dengan ketersediaan batu bara Indonesia. Dan Perpres No 112 Tahun 2022 menjadi aturan yang memfasilitasinya.

Sebab itulah, penyusunan peta jalan yang diamanatkan Perpres No 112 Tahun 2022 perlu pelibatan dan konsultasi para pihak paling tidak ada upaya kontrol dan tak sekedar menjadi omong kosong. Selain itu, perpres ini masih perlu perbaikan supaya lebih fokus ke energi terbarukan, tanpa harus menyelipkan situasi kepentingan pembangunan PLTU baru. Apalagi, DPR masih menggodok Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET). 

Dan semoga saja Perpres 112 tahun 2022 ini bukan hanya sekedar upaya memperoleh simpati dunia internasional dan menjelang perhelatan G20. Apalagi hanya statement politik seperti yang sudah-sudah bagian dari program periode kepemimpinan presiden yang sulit dicapai.

SHARE