Menagih Janji Reforma Agraria di Areal Kerja PT TKWL

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Rabu, 14 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Konflik agraria antara PT Teguhkarsa Wanalestari (TKWL) dengan masyarakat beberapa desa di Kabupaten Siak dan Bengkalis telah berlangsung sejak 1992. Konflik dipicu tumpang tindih alas hak antara masyarakat transmigrasi dan PT TKWL.

Masyarakat keberatan atas keberadaan PT TKWL, karena masyarakat lebih dahulu eksis mengelola areal konflik tersebut. Contohnya, masyarakat Kampung Tuah Indra yang telah bekerja di lokasi konflik sejak 1998.

Direktur Perkumpulan Elang, Janes Sinaga menyebut, PT TKWL baru mempunyai legalitas Hak Guna Usaha (HGU) pada 1998. Perusahaan baru mulai beraktivitas di 2005, namun tidak di lokasi yang dikerjakan oleh kelompok tani di Kampung Tuah Indrapura, Kampung Jati Baru dan Kampung Temusai Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak dan Desa Muara Dua, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis.

Dalam konteks komitmen reforma agraria, pemerintah seharusnya menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan PT TKWL dengan kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Skema legalisasi dengan metode penyelesaian konflik merupakan langkah yang harus ditempuh.

Plang larangan membakar dan menanam di lahan HGU PT TKWL./Foto: Walhi Riau

"Terlebih, Bupati Siak dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau telah merekomendasikan pencabutan izin PT TKWL sejak 2004. Dua rekomendasi ini dan keberadaan masyarakat patut dijadikan dasar mengakomodir hak masyarakat di tanah yang berkonflik,” kata Janes.

PT TKWL memperoleh HGU pada 1998, namun perusahaan ini tidak menggarap HGU-nya hingga 2005. Kondisi ini mengakibatkan tumpang tindih pemanfaatan lahan. Aktivitas garap masyarakat diklaim perusahaan berada di areal HGU PT TKWL.

Sedangkan masyarakat, mengklaim lokasi yang dikerjakan merupakan bagian dari wilayah Hak Pengelolaan (HPL) Transmigrasi Siak 1. Saling klaim hak ini membuat PT TKWL dan masyarakat saling lapor.

Sayangnya, laporan masyarakat belum digubris oleh Presiden, beberapa menteri dan Komnas HAM. Sedangkan laporan PT TKWL di Polda Riau diproses dengan memanggil lima orang masyarakat untuk diminta keterangannya pada Senin, 12 September 2022.

Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andi Wijaya mengungkapkan, pemanggilan kepada lima orang masyarakat ini merupakan upaya menghambat pemenuhan komitmen reforma agraria. Padahal komitmen TORA sebagai bagian dari tahapan reforma agraria merupakan janji Presiden.

Upaya PT TKWL menghambat perjuangan masyarakat memperoleh legalitas hak atas tanahnya merupakan bagian menghambat komitmen reforma agraria presiden. Walaupun panggilan yang diperoleh masyarakat hanya permintaan keterangan.

"Kami khawatir ruang ini dimanfaatkan untuk menjerat masyarakat dengan ketentuan "pasal karet" di Undang-Undang Perkebunan. Kami berharap, Polda Riau taat pada perintah Presiden pada Jumat, 3 Mei 2019, dalam pembukaan Rapat Terbatas Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan. Saat itu, Presiden tegas meminta menteri dan perusahaan untuk mengembalikan tanah masyarakat yang lebih dahulu dikuasai dan dikerjakan," kata Andi.

Dalam Rapat Terbatas Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan pada 3 Mei 2019, Presiden Joko Widodo menyebut pemukiman dan wilayah hidup masyarakat yang sudah bertahun-tahun di dalam konsesi yang diberikan kepada swasta, maupun BUMN, harus segera diberikan kepastian hukum dan dikembalikan kepada masyarakat. Jika ada perusahaan yang tidak melaksanakan instruksi ini, cabut seluruh konsesinya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Even Sembiring mengatakan, Menteri ATR/Kepala BPN harus menerjemahkan instruksi presiden dengan segera menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi. Salah satu preseden penyelesaian konflik ini dapat dimulai dari proses penciutan HGU PT TKWL dan melegalisasi hak masyarakat yang berada di lokasi tersebut.

Sebenarnya, lanjut Even, persoalan penelantaran HGU oleh perusahaan dalam waktu yang panjang tidak hanya dilakukan PT TKWL. Banyak kejadian serupa terjadi di Riau.

"Perusahaan memicu konflik dengan berupaya menggusur dan mengkriminalisasi masyarakat yang sudah bertahun-tahun beraktivitas di lokasi yang legalitas haknya saling bertumpang tindih. Contohnya, seperti konflik yang terjadi antara PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) dengan masyarakat lokal Pulau Mendol,” kata Even.

SHARE