Papua: LPSK Dituntut Proaktif Lindungi Saksi Tragedi Paniai

Penulis : Tim Betahita

Aktivis HAM Papua

Senin, 22 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK harus proaktif memberikan perlindungan bagi keluarga korban maupun saksi yang akan dihadirkan dalam proses persidangan kasus Paniai Berdarah 2014 di Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar. Proses persidangan kasus Paniai Berdarah itu akan dilangsungkan pada bulan Agustus 2022.

Hal itu disampaikan Fatia sebagai pembicara dalam diskusi publik “Perlindungan Saksi dan Korban di Pengadilan HAM Peristiwa Paniai” yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Menurut Fatia seperti dikutip dari kantor berita Jubi, perlindungan terhadap saksi dan korban sangat penting guna memberikan rasa nyaman ketika mereka hadir di dalam pengadilan.

Fatia menyatakan pihaknya khawatir para saksi dan korban yang akan dihadirkan dalam persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Makassar akan diintimidasi. Menurutnya, khawatiran seperti itu didasari proses persidangan Pengadilan HAM dalam sejumlah kasus yang lain.

“Misalnya, seperti yang terjadi di Pengadilan HAM Tanjung Priok, itu menunjukan banyak sekali terjadi kejanggalan. Sebetulnya hakimnya juga terintimidasi, karena posisi TNI yang kuat sekali waktu itu. Bahkan ruang sidang tidak dipenuhi masyarakat sipil, melainkan TNI yang pada akhirnya menimbulkan rasa intimidasi terhadap keluarga korban atau korban,” ujarnya.

Karya seni yang memprotes kekerasan dan diskriminasi di Tanah Papua. Foto: @inisayavicky via @papuaitukita

Fatia menyatakan LPSK belum terlihat aktif mempersiapkan perlindungan bagi para saksi dan korban yang akan dihadirkan dalam persidangan kasus Paniai Berdarah. Menurut Fatia, LPSK seharusnya meminta data dari Komnas HAM agar bisa memberikan perlindungan terhadap saksi maupun korban. Menurutnya, LPSK seharusnya tidak harus menunggu ada permintaan dari saksi maupun keluarga korban.

“Yang ditakutkan adalah ruangan persidangan akan menjadi ruangan intimidasi, seperti yang terjadi dalam [persidangan sejumlah kasus yang diadili di] Pengadilan HAM sebelumnya. LPSK harus bisa memastikan keluarga korban atau representasi dari keluarga korban masuk [dan bisa] mengikuti persidangan, memastikan jangan sampai ada intimidasi dari kelompok tertentu yang pada akhirnya menghambat jalannya persidangan,” katanya.

Wakil Ketua Komnas HAM RI, Amiruddin Al Rahab menyatakan perlindungan saksi dan korban itu harus diberikan, karena itu merupakan perintah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perlindungan itu dapat berupa perlindungan secara fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. “Itu adalah perintah kepada LPSK untuk menjalankan kewajiban melindungi saksi dan korban,” ujarnya.

Amiruddin menyatakan dalam persidangan di Pengadilan HAM sebelumnya, perlindungan terhadap saksi dan korban belum berjalan maksimal. Ia berharap LPSK kini bisa memastikan perlindungan, sehingga kehadiran saksi maupun korban di dalam ruang persidangan Pengadilan HAM Makassar akan nyaman.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, Maneger Nasution menyatakan pihaknya belum memberikan perlindungan bagi para saksi maupun korban yang akan dihadirkan dalam persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Makassar. Menurutnya, LPSK memang belum menerima permintaan untuk melindungi para saksi dan korban tragedi Paniai Berdarah.

“Sampai sekarang belum ada rekomendasi, permintaan, atau permohonan dari penegak hukum maupun Komnas HAM RI agar LPSK memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban. Sampai hari ini [juga] belum ada [permintaan perlindungan] dari saksi maupun korban,” katanya.

Maneger menyatakan LPSK bisa proaktif untuk memberikan perlindungan, walaupun belum ada permohonan atau permintaan. Aturan itu termuat dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban yang mengatur kewenangan LPSK dalam hal tertentu dapat memberikan perlindungan tanpa adanya permohonan perlindungan. Akan tetapi, proses itu harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan LPSK yang diatur dalam Peraturan LPSK Nomor 2 Tahun 2020. “Itu kemudian baru dilakukan tindakan proaktif itu,” ujarnya.

SHARE