Deforestasi di Papua Mencapai Lebih Dari 1.150 Ha Dalam 6 Bulan

Penulis : Aryo Bhawono

Deforestasi

Selasa, 02 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Deforestasi di Papua mencapai lebih dari 1.150 Hektare dalam kurun enam bulan. Penggundulan hutan tersebut lebih banyak terjadi pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang melakukan ekspansi bisnis.

Informasi analisis peta citra satelit Nusantara Atlas menunjukkan Deforestasi di Papua sejak awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1.150 Ha. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang melakukan ekspansi bisnis.

Terdapat lima lokasi perusahaan teridentifikasi menjadi tempat terjadinya deforestasi terbesar di Papua, yakni PT Inti Kebun Sawit dan PT Inti Kebun Sejahtera, kedua perusahaan ini beroperasi di Distrik Moi Segen dan Seget, Kabupaten Sorong; PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni; PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura; dan PT Selaras Inti Semesta di Kabupaten Merauke.

Pengecekan lapangan di Sorong, Jayapura dan Merauke, menunjukkan aktivitas deforestasi ini memunculkan permasalahan. Pada April 2022, anggota marga Mugu di Soroang, Papua, mempersoalkan dan menghentikan aktivitas perusahaan PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ). 

Area deforestasi paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang melakukan ekspansi bisnis. Foto: Pusaka

Bahkan aksi ini membuahkan keributan dan ketegangan dengan marga Klagumut, yang diduga memberikan restu pada PT IKSJ. Perusahaan menggusur hutan adat milik marga tanpa musyawarah dan kesepakatan Marga Mugu. 

Kepala Distrik Moi Segen dan Dewan Adat memediasi pertengkaran antara marga dan perusahaan di Balai Kampung Klasari pada 18 Juli 2022 lalu.

“Hutan adat kami terdapat tempat penting bersejarah disebut Mambus Wisnik, Tawili Wolu, Kelem Wobeles, yang digusur perusahaan, kami tidak pernah mengizinkan perusahaan dan kami menuntut perusahaan bertanggung jawab memulihkan kembali hutan adat ini, perusahaan dan pihak yang merusak harus diberikan sanksi”, jelas Efron Mugu seperti dikutip dari Pusaka.

Kasus serupa terjadi di Kampung Masmili, Distrik Moisegen, perusahaan PT IKSJ menggusur kawasan hutan adat dan mendapatkan perlawanan Marga Kutumun. Sejak April 2022, Nelson Kutumun dan beberapa keluarga, membuka hutan di Dusun Klawiri yang persis berbatasan dengan bekas hutan yang telah digunduli perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ).

Mereka mendirikan beberapa rumah panggung dari kayu, berdiam dan berkebun di Dusun Klawiri. Sebelumnya, anggota Marga Kutumun ini tinggal di Kampung Masmili, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong.

“Kami buka dusun ini untuk menghadang dan menghentikan rencana perusahaan kelapa sawit yang memperluas kebun sawit dan menghabiskan hutan kami”, jelas Nelson Kutumun, saat ditemui pada Juni 2022 lalu.

Mereka menghadang dan menolak rencana perluasan PT IKSJ karena luas pembukaan hutan melebihi kesepakatan antara marga dan perusahaan, yakni panjang 1000 meter dan lebar 500 meter.

Berdasarkan peta citra satelit dan keterangan Marga Kutumun yang berdiam di Dusun Klawiri dan Kampung Masmili. Sedangkan deforestasi di Dusun Klawiri terjadi untuk pengembangan kebun kelapa sawit. PT IKSJ menggusur hutan sejak Desember 2021 dan meningkat cepat pada Januari 2022, hingga menyebabkan lebih dari 100 hektar hutan hilang. 

Aktivitas penggundulan hutan oleh PT IKSJ berhenti pada pertengahan Juni 2022. Diperkirakan deforestasi di Dusun Klawiri  lebih dari 200 hektar.

Menurut Nelson Kutumun, operator perusahaan PT IKSJ menjanjikan akan mengukur ulang luas hutan yang digusur dan bertanggung jawab atas hutan hilang. Masyarakat resah karena belum ada tanda terang dari janji perusahaan dan penanaman sawit terus berlangsung hingga saat ini.

Kebanyakan masyarakat tidak mengantongi surat-surat dokumen perusahaan terkait rencana perusahaan, surat resmi perizinan dan peta lokasi, surat kesepakatan perusahaan dengan marga dan sebagainya. Masyarakat hanya mengingat perusahaan datang dengan janji-janji pembangunan dan kesejahteraan.

Marga Klafiyu di Kampung Ninjemur, sejak awal meminta seluruh surat dan dokumen peta lahan dari perusahaan PT IKSJ. Pada surat penyerahan dan pelepasan tanah adat, marga mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 50.000/ Ha dan kompensasi kayu mix, tanam tumbuh sebesar Rp. 185.000/ Ha. 

Artinya nilai tanah dan kekayaan alam di hutan sebesar Rp. 235.000 per hektar atau per meter persegi hanya Rp.23.500.  Angka tersebut tidak sebanding dengan nilai dan harga pasar kayu merbau Rp. 3.000.000, per kubik.

Ketegangan antara marga pemilik tanah dengan perusahaan menandakan buruknya pengelolaan bisnis perkebunan yang mengabaikan hak masyarakat, tidak adil dan tidak menjalankan prinsip keberlanjutan lingkungan. Pihak yang diuntungkan dari deforestasi adalah birokrat korup dan korporasi yang tidak bertanggung jawab. 

Sedangkan masyarakat setempat mengalami kehilangan mata pencaharian dan kesulitan akses pemanfaatan sumber pangan, terpaksa menerima kompensasi yang tidak adil dan menanggung resiko bencana ekologis.

Pada awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen dan kebijakan pemerintah mencabut izin-izin yang tidak produktif dan tidak sesuai peraturan, dengan dalil ‘mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam’.  

Pada 05 Januari 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut 192 izin konsesi di kawasan hutan, 51 izin diantaranya berada di Papua dengan luas 1.287.030,37 hektar.  Namun perusahaan tersebut masih tetap beraktivitas menggunduli hutan dan deforestasi meluas.

Masyarakat adat Papua bertahun-tahun melindungi hutan dengan tradisi pengetahuan dan norma adat, sebelum perusahaan datang dengan aturan, surat izin dari pemerintah, uang dan alat kekerasan negara, sebagai jalan menggunduli hutan adat.

SHARE