Papua: Tragedi Lumbung Pangan Zanegi

Penulis : Sandy Indra Pratama

Food Estate

Kamis, 16 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Vitalis Gebze duduk terpekur di depan bangunan gereja di satu sudut kota Merauke. Rokok lintingannya dihisap dalam sekali. Senyum seperti lama tak mampir di bibirnya yang tertutup kumis dan janggut lebat.

Beberapa kali disapa, respon Vitalis tak genah. Seperti banyak pikiran menggelayutinya. “Banyak habis sudah kampung saya,” kata Vitalis saat ditemui Betahita di Merauke, media Juni 2022.

Kampung Vitalis bernama Zanegi. Terletak Distrik Animha, Kabupaten Merauke. Jika ditempuh lewat darat, butuh sekitar tiga jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat.

Kampung yang sekitar 10 tahun dihinggapi program lumbung pangan yang menawarkan berjuta angan. Ketahanan pangan, penghidupan, hidup yang berkelanjutan, gemah ripah loh jenawi -begitu mungkin ibarat orang di Jawa mengatakan. Nama programnya Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Perempuan adat Suku Malind bersama anaknya di Kampung Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Istimewa

Kini lepas 10 tahun, apa kabar kondisi warga Zanegi di bawah program MIFEE? apa semua sudah menjadi “Sultan”? Canda Betahita tak bersambut. Vitalis masih tak genah.

Vitalis mengatakan apa yang terjadi terhadap kampungnya layak disebut pemerkosaan. Hutan dipaksa dibuka dan pohon-pohon direbahkan. Lepas gundul, lalu dicampakkan. “Ini benar pemerkosaan, itu sudah,” katanya menjawab canda. Bahkan, kata Vitalis, alih-alih membuat lahan yang ditanami pangan yang dijanjikan akan membuat kenyang perut warga Zanegi, perusahaan penggarap berhenti setelah operasinya menebangi hutan.

“Mereka cuma cari kayu saja,” katanya. Program pangan itu omong kosong!

Dalam sebuah laporannya Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan tahun ini memang tepat satu dekade program MIFEE masuk dan mengacak-acak Zanegi juga banyak kampung di Kabupaten Merauke. Dari dua tahun pemantauan dan dokumentasi lapangan terhadap pemenuhan hak atas tanah, pangan, hak sosial, kesejatheraaan, hasilnya nihil. Memprihatinkan.

“Masyarakat yang dulu bergantung hidup tidak pada satu sumber penghidupan dan satu sumber pangan, melalui berburu dan meramu di hutan dipaksa memudar. Masifnya pembongkaran hutan menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghidupan, pangan bahkan hingga hilangnya keanekaragaman hayati hutan Zanegi,” ujarnya. Kehadiran MIFEE, lanjut Rassela Malinda sebagai peneliti laporan, yang selalu dibungkus sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat nyatanya hanya menjad medium akuisisi lahan skala besar.

Sejak Program MIFEE masuk, lahan warga beralih tangan ke pemilik modal. “Kompensasinya tak masuk akal,” ujar Rassela.

Begini ilustrasinya, kata Rassela, tanah seluas 300 ribu hektare tanah milik masyarakat adat ditukar dengan hanya dengan “uang segar” senilai Rp300 juta dengan masa pinjam pakai selama 60 tahun. “Artinya sepuluh tahun lalu satu hektare tanah adat di Kampung Zanegi hanya dihargai Rp1.000,” ujarnya.

Sedangkan di Domande -tetangga kampung Zanegi- 40 ribu hentare tanah dikompensasi sebesar Rp3 miliar. Artinya satu hektare tanah dibanderol Rp75 ribu dengan masa pakai 35 tahun.

Itu tanahnya. Tapi hutan bukan lahan kosong. Ada kayu dan banyak komoditas lain di dalamnya. “Ketidakadilan bukan hanya pada penggantian tanah,” katanya.

Ilustrasi penggantiannya kompensasi sebesar Rp2.000 per kubik untuk kayu hasil panen dari hutan alam. Sementara kompensasi Rp1.500 per kubik untuk kayu dari dalam hutan tanaman. Satu batang kayu besar tak lebih mahal dari harga gorengan di Jakarta. “Brutal,” ujar Rassela.

Bentang hutan di wilayah konsesi perusahaan di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua. Foto: Istim

Siapa pihak yang panen cuan dari perjanjian 10 tahun lalu itu? Perusahaan bernama PT Selaras Inti Semesta (SIS). Mereka aktif melakukan kegiatan dan penebangan pohon tanaman di tanah ulayat Suku Malind di Kampung Zanegi dan Kampung Buepe, Distrik Kaptel, selama 2009-2016.

Sempat stagnan, perusahaan tersebut kembali menebang hutan di wilayah Kampung Zanegi sejak November 2020. Pada Maret 2021, perusahaan itu juga melakukan ekspansi penebangan baru di hutan alam di wilayah Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke.

“Kelompok Perempuan Adat dilemahkan, peran mereka sebagai reproduksi sosial seperti kerja pemenuhan pangan dan air, kerja merawat kesehatan anggota keluarga dan kerja memelihara serta mendidik anak jadi terganggu,” ujarnya. Pembongkaran hutan mengurangi akses mereka atas sumber pangan dan penghidupan serta dusun sagu, kali kecil tempat ikan di sekitar kampung. “Hak pemenuhan gizi dan nutrisi serta kesehatan anggota keluarga menjadi tidak bisa dipenuhi,” ujarnya.

Perubahan sosial lain yang terjadi adalah pemenuhan hak ekonomi yang asalnya bergantung dari hutan, berubah menjadi hanya sebagai buruh harian yang bergantung kepada perusahaan. Dari pemilik menjadi pekerja.

Belum selesai derita Kampung Zanegi, kini pemerintah berencana kembali membangun mimpi food estate di Kabupaten Merauke akan mencakup lahan di lima distrik dengan luas lahan sekitar 63 ribu Hektare. Distrik Jagebob, Semangga, Tanah Miring, Kurik dan Malind. Komoditas yang akan ditanam meliputi Padi, Jagung, Umbi dan budi daya Sagu.

“Itu merupakan program jangka pendek, sedangkan dalam program jangka panjangnya, pemerintah berencana melakukan pengembangan kawasan baru di tiga kabupaten, Merauke, Mappi dan Boven Digoel,” ujar Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMTSP) Kabupaten Merauke, Justina Sianturi alam pertemuan yang bertajuk ”Seminar dan Lokakarya Kebijakan serta Pelaksanaan Proyek Food Estate ,Di Pengakuan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah dan Hutan Adat serta Masalah Perlindungan Lingkungan”, di Merauke 13-14 Juni 2022.

Sayang Justina tidak bisa menjelaskan lebih banyak soal rencana program ini. Ia berdalih, rencana ini tidak seluruhnya berada dalam kewenangannya. Justina hanya mengklaim bahwa tidak akan ada pembukaan lahan baru untuk rencana proyek tersebut dan ia berharap masyarakat mengerti soal niat baik pemerintah soal pembangunan proyek lumbungan pangan ini.

Dalam pertemuan pemerintah lantas memaparkan peta usulan lahan Merauke Food Estate. Ia mengklaim akan peta usulan ini akan dipresentasikan ke hadapan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dalam waktu dekat.

Vitalis hanya mengangguk saja. Dalam diamnya ia membenarkan apa temuan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Rokok di tangan baranya sudah nyaris menyentuh tangan.

Malam kian larut di Merauke.

Lamunan Vitalis dirusak bara yang kemudian membakar tangan. “Saya istirahat dulu,” ujar Vitalis lesu. Malam terang bulan di Merauke, terasa kelam bagi Vitalis dan warga Kampung Zanegi.

SHARE