Amnesty: Penyelesaian Kasus HAM Dasar Kuat Perdamaian Tanah Papua

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hukum

Jumat, 10 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Penyelesaian Tragedi Wasior dan Paniai, serta pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya di Tanah Papua mutlak diperlukan guna memberikan rasa adil kepada korban dan keluarganya. Selain itu, menurut Amnesty Internasional Indonesia penyelesaian persoalan HAM yang menumpuk itu juga bisa dijadikan dasar yang kuat untuk proses perdamaian bagi masyarakat Papua.

Senin pekan depan yang jatuh tepat pada 13 Juni 2022, merupakan peringatan 21 tahun tragedi Wasior. “Jika pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Wasior dan Paniai, tidak diusut dan diadili secara tuntas, luka yang dialami oleh korban, keluarga korban, dan masyarakat Papua secara luas tidak akan pernah sembuh,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena.

Sebelum kasus-kasus ini diinvestigasi secara tuntas dan para pelakunya dibawa ke pengadilan, kata Wirya, pemerintah Indonesia tidak akan pernah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Papua. Dan tanpa itu, tidak akan ada perdamaian yang sesungguhnya di Papua.”

Tragedi Wasior terjadi dari April-Oktober 2001, bermula dari dua serangan dari kelompok bersenjata terhadap dua perusahaan kayu di Kabupaten Wasior, Provinsi Papua Barat. Dua serangan itu berujung kematian empat orang karyawan dan lima orang anggota Brimob yang bertugas menjaga perusahaan tersebut.

Demonstrasi Orang Asli Papua menuntut penghentian perampasan lahan masyarakat adat, di Jakarta, pada 2017. Foto: Kennial Laia/Betahita

Respons aparat terhadap kedua serangan tersebut menyebabkan setidaknya empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

Sementara Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014. Empat orang tewas dan belasan lainnya terluka akibat aparat keamanan melepaskan tembakan pada massa yang sedang berunjuk rasa di lapangan Karel Gobai, dekat markas Koramil Paniai.

Tahun lalu, Kejaksaan Agung RI akhirnya memulai penyidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai dan menetapkan seorang tersangka pada 1 April 2022.

“Kami berharap naiknya kasus Paniai ke tahap penyidikan menjadi preseden baik bagi pelanggaran HAM berat lainnya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh berhenti sampai di kasus ini. Karena itu, kami mendesak Kejaksaan Agung untuk memastikan bahwa semua terduga pelaku yang terlibat di dalam tragedi kemanusiaan tersebut dibawa ke pengadilan HAM,” kata Wirya.

Pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua, beserta impunitas bagi pelaku, juga masih terus berlanjut sampai sekarang. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia, selama 2018-2022 ada setidaknya 61 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan, dengan total 99 korban meninggal. Sebelumnya, ketika laporan “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati” dirilis tahun 2018, Amnesty mencatat adanya 69 kasus pembunuhan di luar hukum dengan 95 korban selama periode 2010-2018.

Kasus-kasus tersebut termasuk pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, yang sampai sekarang belum ada kejelasan proses hukumnya, dan juga pembunuhan Eden Bebari dan Roni Wandik, dua pemuda yang sedang mencari ikan di Timika, yang kasusnya saat ini sedang diadili di pengadilan militer, bukan pengadilan umum.

“Sayangnya, negara tidak pernah belajar dari masa lalu. Hingga hari ini, insiden pembunuhan di luar hukum masih saja terjadi di Papua. Wasior-Wasior dan Paniai-Paniai lain akan terus ada selama impunitas terus berjalan dan selama aktor kunci tidak diusut tuntas dan diadili di pengadilan umum,” tambah Wirya.

Latar belakang

​​Pada hari Senin, tanggal 13 April 2020, sejumlah anggota Satuan Tugas Penegakan Hukum (Satgas Gakkum) TNI diduga melakukan penembakan di Mile 34 Distrik Kwamki Narama, Timika, Papua dan menewaskan dua warga setempat bernam Ronny Wandik (21) dan Eden Armando Bebari (19).

Menurut keluarga korban, kedua korban pergi untuk menangkap ikan di Kali Biru dengan membawa peralatan menangkap ikan (kaca molo dan senapan tembak ikan). Anggota Satgas Gakkum TNI diduga menembak kedua korban karena berasumsi bahwa keduanya merupakan anggota kelompok kriminal separatis bersenjata yang hendak menyerang PT. Freeport Indonesia di Timika.

Pada 8 Juni 2022, Pengadilan Militer III-17 Manado menggelar sidang pembacaan tuntutan terhadap dua prajurit TNI yang diduga terlibat penembakan Ronny dan Eden. Oditur militer menuntut pidana sembilan dan 10 tahun, beserta pemecatan dari dinas militer, untuk masing-masing terdakwa.

Pendeta Yeremia Zanambani, seorang pendeta senior berusia 68 tahun di Intan Jaya, Papua, diduga ditembak dan ditikam oleh tentara Indonesia pada 19 September 2020. Sebelum kematiannya, ada baku tembak antara kelompok bersenjata pro-kemerdekaan dan militer, yang mengakibatkan kematian seorang prajurit. Pembunuhan Pendeta Yeremia diduga terjadi di tengah upaya militer untuk memburu anggota kelompok pro-kemerdekaan.

Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa ada keterlibatan anggota TNI dalam pembunuhan itu. Pihak berwenang telah melakukan otopsi pada jenazahnya, tetapi belum mengumumkan hasilnya. Keluarga Yeremia menuntut kasus itu dibawa ke pengadilan hak asasi manusia, namun penyelidikan kriminal atas pembunuhan itu sudah terhenti selama hampir dua tahun.

Hak korban dan keluarga korban sebuah pelanggaran HAM dilindungi di Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005. Pasal 2 (3a) ICCPR menyatakan kewajiban negara untuk memberikan pemulihan kepada orang-orang yang hak dan kebebasannya telah direnggut olehnya untuk mendapatkan pemulihan efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh individu-individu yang bertindak dalam kapasitas resmi.

Sebagai negara pihak ICCPR, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak korban dan keluarganya ketika haknya sudah diambil.

Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan Hak-Hak Pemulihan dan Reparasi Korban (Principle and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation) juga mengatur hak korban untuk mendapatkan reparasi dari negara.

Reparasi merujuk pada cakupan yang luas atas langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh negara untuk merespon pelanggaran yang telah terjadi atau untuk mencegahnya, termasuk adanya pengakuan yang jelas bahwa negara mempunyai kewajiban kepada korban, yakni memberikan pemulihan atas penderitaan yang mereka alami.

Dalam kerangka hukum nasional, hak korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan pemulihan dan rehabilitasi diatur di Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban juga telah mengatur bahwa korban pelanggaran HAM berat juga berhak mendapatkan kompensasi, pemulihan dan rehabilitasi.

Negara memiliki tanggung jawab di bawah undang-undang nasional tersebut untuk memastikan bahwa korban pelanggaran HAM berat mendapatkan hak-hak tersebut. Pemulihan hak korban adalah tanggung jawab negara untuk menegakkan supremasi hukum dalam pemerintahannya.

Ratusan Warga Kiwirok Masih di Pengungsian 

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang menyatakan sudah enam bulan lebih sebanyak 500 warga Kiwirok hingga saat ini masih mengungsi di Oksibil dan distrik terdekat yang ada di Kabupaten Pegunungan Bintang.

Pengungsian warga Kiwirok ini pasca pembakaran Puskesmas, sekolah dan fasilitas publik lainnya hingga tewasnya seorang tenaga kesehatan akibat penyerangan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang terjadi pada September 2021 lalu.

Bupati Pegunungan Bintang, Spei Y Bidana, M.Si menyampaikan, warga Kiwirok hingga saat ini masih mengungsi di Oksibil ibukota Pegunungan Bintang, dan distrik terdekat seperti Oklip dan Oksebang.

“Ada upaya kita bernegosiasi dengan saudara kita yang berseberangan kemarin. Saya juga mengirim kepala distrik sebanyak dua orang. Mudah-mudahan pesawat bisa masuk ke Kiwirok sehingga bisa melakukan pelayanan dan rekonstruksi bangunan bangunannya supaya bisa berjalan,” kata Bupati Spei Bidana kepada wartawan, seeprti diberitakan Cendrawasih Pos.

Menurut Bupati Spei Bidana, alasan para pengungsi Kiwirok hingga saat ini belum kembali lantaran belum adanya komunikasi terutama terkait dengan keamanan. “Pasukan yang non organik keluar lalu rakyat bisa kembali ke Kiwirok,” ujarnya.

Terkait dengan adanya tenaga kesehatan dan guru yang ditarik pasca insiden Kiwirok, Bupati Spei Bidana mengaku sudah mengirim kembali tenaga medis dan guru di Kiwirok dan Okikak.

“Anak-anak lokal yang sudah disiapkan untuk diturunkan melakukan pelayanan, kemarin sudah dilakukan raker dan mulai bergerak untuk pelayanan kesehatan. Tetapi untuk pendidikan anak-anak Kiwirok mulai SD hingga SMP kita sekolahkan di Oksibil,” terangnya.

Bupati juga menyebut wilayahnya aman kecuali di Kiwirok dan pesawat terbang bisa masuk kecuali di kiwirok.

Sementara itu, anggota DPRP Tarius Mul berharap agar pasukan non organic cepat ditarik dari Pegunungan Bintang sehingga tenaga medis dan guru serta pegawai bisa bertugas dengan baik. “Bergandengan tangan dengan masyarakat yang ada di Pegubing, agar bisa normal seperti dulu. Sebenarnya Pegubing itu aman, tapi pusat mengirim pasukan Non Organik ke Papua termasuk Pegunungan Bintang, sehingga terjadi kekacauan,” kata Tarius.

AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA

SHARE