Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil terhadap Kebijakan Uni Eropa

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Deforestasi

Jumat, 20 Mei 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Sekitar 167 orang berlatar belakang organisasi masyarakat sipil, perempuan, petani, buruh, pemuda, mahasiswa dan masyarakat menyampaikan sikapnya terhadap rencana pembahasan dan pengembangan kebijakan Uni Eropa tentang kebijakan pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam yang bebas deforestasi dan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.

Kebijakan Uni Eropa ini termasuk tidak menggunakan dan mendukung komoditi tertentu, seperti minyak kelapa sawit, kedelai dan tanaman nabati lainnya untuk menjadi bahan bakar biofuel.

Dalam surat pernyataan bersama yang ditujukan kepada Komisi Uni Eropa, Dewan Uni Eropa dan Parlemen Uni Eropa ini, koalisi masyarakat sipil menyampaikan beberapa poin penting. Poin-poin penting dimaksud juga dialamatkan kepada pemerintah Indonesia.

Poin-poin itu yang pertama, merumuskan, menerapkan, memantau dan mengevaluasi secara berkala kepatuhan terhadap kebijakan peraturan dan sistem perlindungan (safe guard) yang kuat dan efektif dalam rantai ekonomi perdagangan dan penggunaan energi terbarukan dari komoditas minyak kelapa sawit, kedelai dan sebagainya.

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kahayan Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada Juli 2009. Foto: Daniel Beltrá / Greenpeace

Hal itu dilakukan dengan mewajibkan adanya perlindungan dan penghormatan HAM dan hak-hak perempuan, melakukan uji tuntas HAM dan bebas deforestasi, rehabilitasi dan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang terdampak operasi industri minyak sawit dan penggunaan bahan bakar biofuel.

Kedua, menerapkan, memantau dan mengevaluasi kepatuhan atas prosedur uji tuntas dari para operator bisnis minyak kelapa sawit pada seluruh mata rantai pasok yang dilakukan secara transparan, membuka akses informasi sumber dan pemasok komoditas seluas-luasnya.

Kemudian, memenuhi persyaratan legalitas mengacu pada peraturan negara produsen dan instrumen HAM internasional, dan menilai dan mengidentifikasi resiko pelanggaran HAM dan bebas deforestasi, untuk mencegah dan menangani resiko atas produk komoditas yang dikonsumsi.

Ketiga, memperkuat dan memberikan insentif dan dukungan kapasitas kepada negara produsen untuk meningkatkan kebijakan tata kelola hutan dan lahan, sistem produksi berkelanjutan, pengetahuan teknologi, serta kerjasama dalam mengurangi dan mencegah dampak deforestasi.

Keempat, memberikan insentif perlindungan dan pemberdayaan kepada petani kecil dan buruh perkebunan kelapa sawit, yang mengembangkan usaha secara mandiri dan berkelanjutan.

Kelima, melibatkan jaringan organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan, petani, buruh, tokoh agama, pembela HAM dan lingkungan, dan pihak independen yang berkompeten, dalam proses konsultasi dan pembentukan hukum, pemantauan dan pengawasan atas proses dan pelaksanaan kebijakan, termasuk pemberian akses informasi.

Keenam, mendorong pemerintah Indonesia melanjutkan dan memperkuat kebijakan moratorium pemberian izin dan perluasan lahan perkebunan baru kelapa sawit sebagai langkah strategis menyelesaikan permasalahan dan penataan kembali tata kelola hutan dan lahan untuk mengurangi deforestasi, perlindungan masyarakat yang tergantung pada tanah dan hutan, serta penegakan hukum.

Ketujuh, meminta dan mendesak pemerintah Indonesia, secara khusus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Tim Pengendalian Perizinan Konsesi, Penertiban dan Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan bersama Direktur Jenderal dalam lingkup KLHK, untuk menindaklanjuti putusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, terkait pencabutan izin bagi 192 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi dalam kawasan hutan dengan luas 3.126.439,36 hektare, dengan tindakan kongkrit penegakan hukum dan putusan sanksi pencabutan izin.

Terakhir kedelapan, meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan peraturan turunannya, serta mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor91/PUU-XVIII/2020, yang memutuskan UU Cipta Kerja melanggar konstitusi UUD 1945 dan tidak menerbitkan kebijakan aturan dan program baru dari UU Cipta Kerja tersebut.

SHARE