Indonesia Butuh Dukungan Internasional untuk Penurunan Emisi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Senin, 11 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Indonesia membutuhkan dukungan dana internasional dalam rangka mewujudkan komitmen, baik untuk target penurunan emisi maupun net zero emission/NZE (netralitas karbon) pada 2060 sesuai hasil COP-26 Glasgow.

"Dukungan global akan mempercepat pencapaian target penurunan emisi," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, dikutip dari Antara, Sabtu (9/4/2022).

Dadan Kusdiana melanjutkan, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan untuk menuju NZE. Ia memaparkan, langkah pertama adalah mengembangkan energi terbarukan secara masif dengan sumber tersebar, bervariasi, dan dalam jumlah besar.

Dalam catatan Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.700 Gigawatt (GW). Kebijakan selanjutnya adalah berupa pengurangan penggunaan energi fosil secara bertahap, serta mendorong penggunaan elektrifikasi baik untuk kendaraan bermotor maupun peralatan rumah tangga, serta penerapan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara melepaskan emisi karbon dioksida, yang menjadi salah satu faktor terbesar pemanasan global saat ini. Foto: loe.org

Pemerintah, lanjut Dadan, telah menyampaikan komitmen pada 2060 nanti seluruh kebutuhan listrik akan dipenuhi dari energi terbarukan. Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, seluruh operasi pembangkit PLTU akan berakhir pada 2056 dan kebutuhan kapasitas pembangkit EBT pada 2060 sebesar 587 GW.

Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi sangat besar, sekitar 1.042 miliar dolar AS hingga 2060 sehingga dibutuhkan peran global untuk mendukung penurunan emisi di Indonesia. Dadan memaparkan, dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Dijelaskannya, melalui UU tersebut pemerintah akan menerapkan pajak karbon pada PLTU batu bara mulai 1 Juli 2022 dengan mekanisme cap tax, serta pajak karbon akan dikenakan kepada PLTU yang melampaui ambang batas emisi yang ditetapkan.

Menurut Dadan, bila pajak karbon sudah diterapkan, maka penerimaan dari pajak karbon diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberi dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

"Kebijakan pajak karbon ini merupakan paket kebijakan komprehensif untuk pengurangan emisi dan sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi hijau atau yang berkelanjutan," jelasnya.

Senior Associate, Lead Energy Taxation, International Institute for Sustainable Development (IISD), Tara Laan mengatakan, penerapan pajak karbon akan memberikan sinyal kepada para investor soal komitmen kebijakan iklim Pemerintah.

Tara bilang, selain itu penerapan pajak karbon juga akan mendorong perusahaan untuk beralih ke teknologi energi yang lebih bersih. Bagi perusahaan pembiayaan, pengenaan pajak karbon terhadap penggunaan energi fosil akan menjadikan pemberian kredit di sektor ini menjadi lebih berisiko dan kurang menguntungkan di masa depan.

Ia memaparkan, ada berbagai skema penyaluran 'subsidi' untuk membuat harga energi tetap terjangkau, terutama bagi kelompok ekonomi rentan atau miskin, misalnya melalui bantuan tunai atau pengurangan pajak penghasilan. Pendapatan dari pajak karbon juga bisa dimanfaatkan untuk investasi infrastruktur energi bersih.

SHARE