Studi: Spesies Pesisir Membentuk Koloni di Sampah Plastik di Laut

Penulis : Kennial Laia

Sampah

Selasa, 14 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Jutaan plastik berakhir di lautan setiap tahun, mengancam ekosistemnya. Sebuah studi menemukan bahwa massa plastik laut kini menyediakan habitat buatan bagi spesies pesisir. Ini disebut sebagai cara lautan beradaptasi dengan membentuk koloni di permukaan sampah. 

Studi tersebut, terbit di jurnal Nature Communications, mengamati sampah plastik yang mengambang seperti botol minuman, sikat gigi, dan jaring ikan yang kusut. Ada kemungkinan bahwa spesies mungkin berevolusi untuk beradaptasi lebih baik dengan kehidupan di atas plastik, menurut para peneliti.

Satu dekade yang lalu, para peneliti kelautan meyakini bahwa organisme pesisir, yang berevolusi untuk hidup di sepanjang garis pantai yang terlindung, tidak dapat bertahan hidup dalam perjalanan melintasi lautan terbuka. Namun tsunami Jepang pada 2011, yang mengirim sekitar 300 spesies kehidupan laut Asia menunggangi sampah plastik yang tahan lama dan mengapung ke pantai Amerika Utara, membantah anggapan ini.

Saat ini para ilmuwan memiliki istilah “komunitas neopelagik”, yakni koloni hewan ‘pelaut’ yang terdiri dari anemon, bintang ular (Ophiuroidea), udang, teritip, dan banyak lainnya, tumbuh subur di atas plastik di Great Pacific Garbage Patch, yang juga dikenal sebagai pusaran sampah Pasifik, yang membentang di perairan dari Pantai Barat Amerika Utara hingga Jepang. Genangan sampah raksasa ini terbawa arus kemanapun mereka pergi.

Sampah plastik dengan campuran teritip pantai (merah muda dan bergaris) dan teritip gooseneck dari laut terbuka. Foto: Lab Invasi Laut SERC

“Masalah plastik lebih dari sekadar tertelan dan terjerat,” kata Linsey Haram, yang merupakan penulis utama jurnal tersebut, dalam sebuah rilis baru-baru ini.

“Ini menciptakan peluang bagi biogeografi spesies pesisir untuk berkembang pesat melampaui apa yang sebelumnya kami pikir mungkin,” kata Haram.

Genangan sampah plastik di Samudra Pasifik terbentuk ketika arus permukaan mendorong polusi plastik dari pantai ke daerah di mana arus berputar dan memerangkap benda-benda mengambang, yang menumpuk dari waktu ke waktu. Dunia memiliki setidaknya lima pilin yang dipenuhi plastik, atau “tambalan sampah.”

Pusaran Subtropis Pasifik Utara, antara California dan Hawai’i, yang disebut Great Pacific Garbage Patch itu, menampung plastik mengapung, dengan perkiraan 79.000 metrik ton plastik mengambang di wilayah seluas lebih dari 610.000 mil persegi.

Namun, istilah “tambalan sampah” adalah istilah yang keliru. Pasalnya, banyak polusi terdiri dari mikroplastik, terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang. Puing-puing yang mengapung seperti jaring, pelampung, dan botol juga tersapu ke dalam pilin, membawa organisme dari rumah pesisir mereka bersama mereka 

Namun demikian, temuan itu tidak serta-merta menjadi kisah kemenangan spesies laut atas kesalahan manusia. Juan José Alava, seorang ahli ekotoksilogi dan konservasi laut di University of British Columbia, mengatakan bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.

Menurut Alava, sampah dari pesisir membawa koloni neopelagik yang merupakan spesies non-asli ke habitat yang rentan di mana mereka dapat menjadi invasif dan destruktif.

Selain itu, koloni spesies ini “pada dasarnya adalah jebakan ekologis.” Ini karena kepadatan plastik di lautan (peneliti memperkirakan 600 juta metrik ton sampah akan terkumpul di lautan pada 2040) mengarah pada penciptaan struktur terapung permanen, tercakup dalam spesies kecil yang menarik makhluk yang lebih tinggi dalam rantai makanan, termasuk ikan, penyu, dan mamalia.

Ketika makhluk-makhluk ini memasuki pilinan sampah untuk mencari perlindungan dan makanan, mereka berisiko tinggi untuk memakan plastik atau terperangkap dalam plastik dan mati. 

“Misalnya, seringkali anak paus, yang memililo keingintahuan tinggi, terjerat dan mati dalam sampah plastik,” kata Alava, dikutip The Guardian.

“Laporan PBB tahun 2021 setelah COP26 jelas bahwa skala polusi plastik yang meningkat pesat menempatkan kesehatan semua samudra dan lautan dunia dalam bahaya,” tegas Alava.

SHARE