Mapbiomas Indonesia: Platform Terbuka Pembaca Tutupan Lahan

Penulis : Aryo Bhawono

SOROT

Rabu, 10 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Bayangkan saja anda ingin menapakkan kaki di tengah hutan, titik koordinat GPS dan peta seharusnya menuntun anda di tengah pepohonan alami. Tetapi sejauh mata memandang justru terlihat pohon sawit berjajar rapi. Permasalahan semacam ini menjadi kendala klasik dalam pemetaan.

Ketidakcocokan data peta dengan temuan lapangan ini menunjukkan berbagai kemungkinan, dari soal keberadaan perkebunan sawit ilegal, masalah pembaruan peta, atau memang tersesat karena salah membaca peta. Pastinya temuan lapangan ini menunjukkan adanya perubahan dan risiko kerusakan ekosistem.

Kini ada cara mudah melakukan pengecekan perubahan lahan semacam ini, yakni menggunakan Mapbiomas Indonesia. Aplikasi pemetaan ekosistem tutupan lahan ini dibangun untuk melakukan pengecekan, perubahan ekosistem, hingga mengukur peluang bahaya kerusakan ekosistem.

Auriga Nusantara bekerjasama dengan sembilan organisasi masyarakat sipil mengembangkan pemetaan ini dengan supervisi dari Mapbiomas Brazil yang sebelumnya sudah beroperasi.

Tampilan platform Mapbiomas Indonesia./Foto: Auriga

Sembilan lembaga tersebut antara lain HAKA Aceh, HAKI Sumsel, GENESIS Bengkulu, SAMPAN Kalbar, Save Our Borneo Kalteng, Green of Borneo Kaltara, KOMIU Sulteng, Mnukwar Papua Barat, dan JERAT Papua.

Pemetaan Mapbiomas Indonesia menggunakan basis citra landsat disertai teknologi machine learning dan cloud computing yang mengandalkan Google Earth Engine (GEE). Citra landsat sendiri memiliki resolusi medium yang cukup memenuhi untuk skala satu banding 50 ribu hingga 100 ribu.

Terdapat 10 kelas tutupan lahan yang terpetakan pada Mapbiomas Indonesia saat ini, yakni (1) hutan alam; (2) mangrove; (3) tumbuhan non-hutan, seperti savanna; (4) hutan tanaman; (5) sawit; (6) pertanian lainnya; (7) non-vegetasi; (8) tambang; (9) tambak; (10) tubuh air.

Produk Mapbiomas Indonesia dinamai Koleksi X.Y untuk menampung pembaruan terhadap jenis data yang sama, juga untuk periode waktu baru. Koleksi 1.0 akan menampilkan kelas tutupan lahan di atas untuk rentang tahun 2000 – 2019. Kelak koleksi ini akan diperbarui dan diharapkan mencakup informasi reforestasi di Indonesia.

Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara, Dedi Pratama Sukmara, mengungkapkan proses pembuatan Mapbiomas Indonesia ini cukup panjang. Ide pembuatan diawali ketika mereka mengunjungi Brazil untuk persiapan peluncuran Mapbiomas Brazil pada sekitar 2015-2016. Mapbiomas Brazil sendiri bertujuan untuk mengawasi deforestasi.

“Mapbiomas Brazil ini sangat ketat dan tujuannya sudah alerta terhadap deforestasi,” ucap dia.

Auriga Nusantara datang ketika scientific review. Mereka memiliki berbagai ahli untuk menjadi pengawas seperti pakar landscape, remote sensing, GIS, statistik, dan lainnya. Proses yang demikian rinci diikuti dan kemudian diadopsi ketika mulai membangun Mapbiomas Indonesia pada 2019.

Pada tahun tersebut perwakilan Mapbiomas Brazil melakukan pelatihan pembuatan aplikasi pemetaan ini ke Jakarta serta melakukan kunjungan ke berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. Pelatihan ini cukup padat dan kompleks karena pembuatan data benar-benar dimulai dari nol.

Pelatihan terhadap mitra sembilan organisasi masyarakat sipil dilakukan setelahnya selama empat kali. Terhitung membutuhkan waktu dua tahun dari awal proses hingga produk ini diluncurkan.

“Pelatihan cukup panjang karena sebelum melakukan pekerjaan ini teman-teman harus benar-benar memahami soal data. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman karena bisa merusak hasil,” ucap Dedi.

Hasil pembuatan cukup memuaskan karena memiliki beragam detail yang dibutuhkan untuk kebutuhan data sederhana. Tak hanya itu olah data tingkat lanjut dapat memenuhi kebutuhan investigasi ataupun riset.

Bahkan pemanfaatan tingkat lanjut dapat menjadi bahan prediksi bencana seperti banjir. Data ini dikembangkan dengan melihat tutupan lahan di daerah aliran sungai dan pasang surut muka air.

Makanya Mapbiomas Indonesia ini dibuat berakses bebas, interaktif, dan komunikatif. Dedi berharap semua pihak yang memanfaatkan aplikasi ini dapat turut mengembangkan pemetaan kelak. Bahkan berbagai salinan rumus coding untuk aplikasi dapat diakses bebas sehingga membuka peluang bagi setiap orang untuk mengembangkannya.

Cara Sederhana Menggunakan Mapbiomas

Operasi aplikasi ini tergolong interaktif dan sederhana sehingga mudah digunakan dan dapat diakses secara gratis. Perwajahan peta dinamis tahunan dapat dilakukan dalam rentang tahun 2000 hingga 2019. Penghitungan perubahan ekosistem pun dapat menghasilkan data statistik yang bisa didownload secara gratis.

Penggunaan aplikasi ini tinggal mengakses situs dan memilih fitur ‘access platform’. Tampilan peta Indonesia kemudian muncul disertai dengan perangkat di sebelah kiri layar. Perangkat ini akan memberikan pilihan spesifikasi wilayah yang dapat dikelola dari tingkat nasional hingga kabupaten.

Jenis pemetaan dapat dipilih antara jenis kelas dengan jenis alami dan antropogenik. Jenis kelas menampilkan pemanfaatan lahan. Sedangkan jenis alami dan antropogenik menampilkan ragam vegetasi.

Misalnya saja kita ingin melakukan pemantauan sederhana tutupan lahan di Kalimantan Tengah. Kita tinggal memilih opsi wilayah provinsi dan sub wilayah Kalimantan Tengah. Aplikasi pemetaan tak hanya menyajikan gambar peta hutan, perkebunan, dan lainnya melainkan juga opsi statistik dari rentang tahun 2000 hingga 2019.

Selain itu masih ada perangkat lain, yakni peta transisi yang dapat menampilkan perubahan tutupan lahan. Data statistik pun menyajikan angka perubahan kawasan hutan menjadi pertanian, tumbuhan non hutan, hingga non vegetasi.

Memperkaya Data Pemetaan

Mapbiomas Indonesia bukan satu-satunya aplikasi pemetaan yang kini dapat diakses bebas. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri memiliki tujuh jenis peta dalam situs geportal mereka. Peta ini, menurut Dedi, masih bersifat statis dan kurang interaksi data statistik.

Selain itu masih terdapat portal aplikasi pemetaan yang dikembangkan Green Peace, yakni kepohutan. Lantas ada pemetaan hutan milik Global Forestwatch.

Dedi mengungkap kehadiran Mapbiomas Indonesia sendiri untuk memperkaya ketersediaan peta. Masing-masing peta yang sudah ada memiliki ciri khas dan bisa saling bersanding. Makanya keterlibatan publik melalui akses bebas dan masukan sangat penting untuk pengembangan Mapbiomas Indonesia ke depan.

“Bisa dibayangkan jika hanya ada satu peta saja dan model keterbukaan informasi seperti sekarang tentu monopoli informasi bisa menyesatkan. Makanya Mapbiomas Indonesia ini cukup penting untuk memberikan referensi pembanding,” jelas dia.

Saat ini Mapbiomas Indonesia baru dikembangkan oleh oleh NGO seperti Auriga dan sembilan mitranya. Ke depan sangat memungkinkan jika akademisi dan ilmuwan untuk terlibat. Apalagi terbukanya peluang pengembangan di aplikasi pemetaan ini memungkinkan masukan dari berbagai pihak pengguna.

Misalnya saja data soal RTRW, infrastruktur, dan lainnya kelak akan dimasukkan ke dalam aplikasi pemetaan ini.

Ilustrasi data Mapbiomas Indonesia. (Auriga Nusantara)

SHARE