Xi Jinping: Cina akan Berhenti Bangun PLTU Baru di Luar Negeri

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Kamis, 23 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pernyataan Presiden Cina Xi Jinping dalam Sidang Umum PBB, yang menyebut akan berhenti membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara baru di luar negeri, menuai berbagai respon dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia, tak terkecuali dari kalangan organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap permasalahan lingkungan hidup. Pernyataan Xi Jinping dianggap belum menjawab soal mitigasi perubahan iklim.

Dalam pidatonya, Xi Jinping menyatakan Cina akan berusaha untuk mencapai puncak emisi karbon dioksida yang dilepaskan sebelum tahun 2030 dan mencapai karbon netral sebelum tahun 2060, dengan cara meningkatkan dukungan untuk negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi hijau dan rendah karbon.

"Dan tidak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga baru di luar negeri," kata Xi Jinping disampaikannya melalui rekaman video yang ditampilkan pada Sidang ke-76 Majelis Umum PBB yang digelar di New York, Amerika Serikat, Selasa (21/9/2021) kemarin. Pernyataan Xi Jinping itu dianggap menandai perubahan kebijakan cina seputar Belt and Road Initiative.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung menyebut pernyataan Xi Jinpung itu cukup patut diapresiasi. Lantaran komitmen Pemimpin Cina itu merupakan sebuah kemajuan, terutama karena Cina dalam beberapa tahun terakhir secara agresif mendanai PLTU di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun untuk mitigasi perubahan iklim, pernyataan Xi Jinping itu jelas belumlah cukup.

Aksi kelompok masyarakat sipil Greenpeace menolak PLTU Celukan Bawang. Foto: Greenpeace

"Setidaknya oleh 3 hal. Pertama, bagaimana dengan pembangunan PLTU di Cina sendiri? Kedua, bagaimana mekanisme transisi terhadap PLTU yang sudah terlanjur dibiayai (oleh perbankan Cina). Ketiga, bagaimana dengan proyek-proyek lain dalam skema Belt Road Initiative yang juga merusak tutupan hutan alam dan berpengaruh pada perubahan iklim?" kata Timer, Rabu (22/9/2021).

Terpisah Ketua Kanopi Hijau Indonesia, yang juga merupakan konsolidator gerakan Sumatera Terang untuk energi Bersih (STuEB), Ali Akbar, mengatakan, komitmen Xi Jinping itu cukup memberi angin segar dalam rangka melawan krisis iklim global. Karena sejauh ini, keberadaan PLTU batu bara telah membuat petani kehilangan tanah, anak-anak terpapar abu, konflik horizontal, pencemaran sungai yang terjadi sebagai dampak langsung dari PLTU Sumatera.

"Dengan pernyataan (Xi Jinpinng) ini dapat dikurangi. Namun tidak semerta-merta, pernyataan yang masih dalam bentuk komitmen ini akan direalisasikan. Untuk itu penting bagi kami di Sumatera untuk menjaga komitmen ini sampai ke level operasional di lapangan," kata Ali Akbar, Rabu (22/9/2021).

Pemerintah Indonesia Harus Respon dengan Moratorium PLTU Batu Bara

Di kesempatan lain, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan, sikap Xi Jinping yang berikrar akan berhenti terlibat dalam proyek PLTU baru di luar negeri itu bukanlah sesuatu yang mencengangkan. Karena apa yang dilakukan Cina itu saat ini merupakan tren global, yang mana negara-negara yang merupakan negara investor dan lembaga pembiayaan berkomitmen untuk menghentikan pendanaan batu bara.

"Nah Cina mengikuti Jepang dan Korea yang sudah memiliki komitmen serupa sebelumnya. Jadi sekarang tiga negara investor PLTU terbesar sudah berkomitmen untuk tidak melakukan pendanaan untuk PLTU batu bara baru. Tren global saat ini negara-negara di Dunia semakin meninggalkan batu bara dan beralih ke energi bersih dan terbarukan," kata Tata, Rabu (22/9/2021).

Pemerintah Indonesia, lanjut Tata, semestinya segera merespons tren global itu dengan melakukan moratorium PLTU batu bara mulai tahun ini. Tata menjelaskan, saat ini kapasitas terpasang energi listrik berasal dari PLTU batu bara di Indonesia sebesar 28 gigawatta (GW), sedangkan yang masih dalam proses pembangunan sebesar 27 GW. Sehingga apabila 27 GW yang masih dibangun itu semuanya selesai, kapasaitas energi listrik dari PLTU batu bara di Indonesia akan menjadi dua kali lipat.

"Cina, Jepang dan Korea memegang sebagian besar (proyek 27 GW). Sehingga komitmen Cina, Jepang dan Korea akan 'terlambat'. Dan ketiganya (Cina, Jepang Korea) sudah berkomitmen untuk tidak mendanai PLTU batu bara baru, jadi harusnya tiga negara ini dan Indonesia bisa menyetop PLTU batu bara baru di pipelines."

Tata berpendapat, bila memang punya komitmen positif pada perubahan iklim, dan mendukung energi hijau serta rendah karbon, Cina seharusnya juga berani menghentikan juga pendanaannya pada proyek tambang batu bara.

"Iya di hulu juga harusnya disetop juga pembiayaannya. Tapi kalau dari hilirnya dahulu (disetop) dan membatalkan semua yang di pipelines itu, akan menyetop juga demand baru terhadap batu bara."

Tata bilang, Indonesia baru akan mulai menghentikan pembangunan PLTU batu bara pada 2025, dan itu menurutnya sudah sangat terlambat. Walaupun tanpa PLTU batu bara, kondisi Indonesia saat ini tidak akan berada pada jalur yang tepat untuk menjaga peningkatan suhu di bawah 1,5 derajat di 2030, namun akan berada di jalur yang tepat di 2050 apabila melakukan perubahan kebijakan secara fundamental.

"Kalau masih membangun PLTU batu bara baru 3 tahun akan sangat terlambat untuk merespons krisis iklim. Kecenderungannya (pemerintah) lebih ke greenwashing dan menawarkan false solution."

Banyak PLTU Batu Bara Cina Yang Bermasalah

Di Indonesia setidaknya ada 18 PLTU batu bara yang pembangunannya dibiayai oleh perbankan Cina, baik melalui China Development Bank (CDB) maupun melalui Bank Ekspor-Impor China (CEXIM). Bila nilai proyek 18 PLTU itu digabungkan, nilainya mencapai sekitar USD7 miliar.

18 PLTU itu yakni, PLTU Sumsel 8, PLTU Celukan Bawang, PLTU Cilacap, PLTU Indramayu, PLTU Jambi, PLTU Sumsel 5, PLTU Sumsel Mulut Tambang, PLTU Adipala, PLTU Bengkulu, PLTU Parit Baru, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Paiton, PLTU Pacitan, PLTU Suralaya Unit 8, PLTU Tanjung Kasam, PLTU Rembang, PLTU Nangroe Darussalam dan PLTU Nagan Raya. Sebagian di antaranya bermasalah.

PLTU Cilacap misalnya, pada 2008 lalu dua unit pembangkit dengan kapasitas masing-masing 300 megawatt (MW) yang dioperasikan PLTU itu diketahui hanya mampu beroperasi 17 persen saja. Tidak optimalnya PLTU Cilacap itu menyebabkan defisit pasokan listrik di Jawa-Bali--PLTU Suralaya dan PLTU Paiton juga pernah dilaporkan tak mampu beroperasi maksimal--,bahkan permasalahan operasi PLTU Cilacap ini konon sudah terjadi sejak pertama kali beroperasi.

Pada 2019 lalu, PLTU Cilacap juga dilaporkan menyebabkan pencemaran limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dari fly ash dan bottom ash hasil pembakaran batu bara. Pencemaran itu menyebabkan satu komplek pemukiman warga di Karangkadri, Cilacap, nyaris tak layak lagi dihuni karena tercemar.

PLTU Celukan Bawang di Bali, pada 2018 lalu digugat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil karena dianggap menimbulkan dampak sosial-ekonomi, lingkungan dan kesehatan yang merugikan warga. Dampak tersebut mencakup persoalan ganti rugi tanah yang belum selesai, karena nilai ganti rugi yang tidak layak dan proses yang tidak transparan. Kemudian pemiskinan masyarakat karena hancurnya mata pencaharian, terutama bagi petani dan nelayan. Kerusakan lingkungan di darat dan di laut, yang disebabkan oleh limbah sisa pembakaran batu bara, dan tergangunya kesehatan warga, terutama sakti pernafasan yang diperburuk oleh tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan.

Tak hanya di Jawa dan Bali, di Sumatera PLTU batu bara juga banyak yang bermasalah, yaitu PLTU Nagan Raya di Aceh, PLTU Teluk Sepang di Bengkulu, PLTU Jambi 1 di Jambi, dan PLTU Pangkalan Susu di Sumatera Utara. Sejak beroperasinya PLTU-PLTU tersebut, tingkat kerusakan lingkungan dan dampak terhadap masyarakat mulai dirasakan.

Saat ini di Sumatera terdapat 33 PLTU batu bara yang sudah beroperasi, dengan total kapasitas sebesar 3.566,5 megawatt (MW). Sedangkan yang sedang masuk perencanaan di dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 berjumlah 16 pembangkit dengan total kapasitas sebesar 4.450 MW. Cina mendominasi pendanaan proyek-proyek PLTU itu.

Direktur Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti mengatakan, keberadaan PLTU batu bara Pangkalan Susu Sumatera Utara telam mempersempit ruang tangkap nelayan, karena aktivitas angkutan batu bara melalui jalur laut menyebabkan turunnya pendapatan nelayan hingga 70 persen.

"Ditambah lagi dampak terhadap kesehatan, masyarakat banyak menderita gatal-gatal, paru hitam serta tingginya warga yang menderita ISPA akibat abu sisa pembakaran batu bara," kata Mimi, sapaan akrab Sumiati, Rabu (22/2021).

Operasi PLTU batu bara Teluk Sepang di Bengkulu diduga juga telah mengakibatkan kematian biota laut, lantaran limbah cair yang dihasilkan PLTU itu dibuang ke laut tanpa izin. Pembangunan PLTU itu juga dilakukan dengan menggusur tanam tumbuh milik petani, belum lagi pengangkutan batu bara yang melanggar aturan dan ketidakpatuhan terhadap dokumen yang dibuatnya sendiri.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani menambahkan, dampak PLTU batu bara juga dirasakan oleh warga di Sumatera Barat. Yang mana di Sumatera Barat saat ini terdapat dua PLTU yang sudah beroperasi, yaitu PLTU Ombilin dan PLTU Teluk Sirih. PLTU Ombilin yang berada di Desa Sijantang Koto, Kota Sawahlunto, sudah sejak lama menyemburkan abu racun FABA (fly ash bottom ash) dalam jumlah yang mengerikan.

"Itu terjadi ketika alat penangkap abu rusak dan tidak diperbaiki hingga sekarang. Hal tersebut menyebabkan seluruh abu sisa pembakaran batu bara keluar dari cerobong dan menghujani warga dengan abu beracun. Abu bawah sisa pembakaran (bottom ash) ditumpuk sampai membentuk gunung di dekat PLTU hingga mengalir ke sungai ketika hujan," kata Indira.

Begitu juga di Jambi. Direktur Lembaga Tiga Beradik, Hardi Yudha mengatakan, operasi produksi PLTU Semaran di Kabupaten Sarolangun, sudah berdampak buruk kepada kesehatan warga, seperti batuk, sesak nafas bahkan penyakit kulit. Apalagi di Jambi juga akan ada pembangunan PLTU Jambi 1 dan 2 dengan kapasitas 2x300 MW yang akan berdampak buruk terhadap warga, seperti kehilangan ruang hidup, kemiskinan jangka panjang, buruknya situasi lingkungan, konflik horizontal. Hardi meyakini dampak PLTU batu bara relatif sama di setiap wilayah yang ada di Sumatera.

Sejauh ini, Cina termasuk negara paling agresif memberikan dana untuk pembiayaan proyek PLTU batu bara. Pada 2017 lalu, Market Forces menyebut telah mempelajari total 22 kesepakatan pendanaan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia sejak 2010, yang menarik total utang sebesar USD17,1 miliar. Dari jumlah tersebut, Export Credit Agencies (ECA) dan Bank Pembangunan Bilateral merupakan pemodal integral, yang terlibat dalam 91 persen kesepakatan dan menyediakan 64 persen pembiayaan utang.

Dari kesepakatan-kesepakatan itu, Bank Ekspor-Impor China (CEXIM) diketahui terlibat dalam 7 kesepakatan yang mewakili 31 persen dari pinjaman ECA, China Development Bank (CDB) terlibat dalam 5 kesepakatan yang meminjamkan 93 persen dari utang Bank Pembangunan Bilateral, dan 14 persen dari utang komersial disediakan oleh bank-bank Tiongkok melalui 4 kesepakatan.

Porsi pinjaman Indonesia untuk kesepakatan ini terhitung sebesar USD347 juta atau 2 persen dari keseluruhan utang, lebih dari 2 kesepakatan. Salah satunya melibatkan Bank Expor-Impor Indonesia dan lainnya melibatkan Bank Mandiri.

SHARE