Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan, Pelajaran dari KPK (3)

Penulis : Sofie Arjon Schütte dan Laode M Syarif

Kolom

Rabu, 25 November 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Bagian terakhir dari 3 tulisan

Analisis kasus

Locus delicti dan tempat pengadilan

Kejahatan dari kasus-kasus yang didakwa terjadi di lima provinsi, Riau dan Jakarta di posisi tertinggi dengan masing-masing terdakwa 10 dan sembilan terdakwa. Para pengambil keputusan nasional di Jakarta juga terjerat dalam kasus-kasus di empat provinsi lainnya.

Gambar 1: Locus delicti

Meski kejahatan terjadi di lima provinsi, kebanyakan kasus diadili di Jakarta. Bahkan setelah penetapan Pengadilan Tipikor ke pengadilan negeri dan tinggi di ibu kota provinsi pada 2011, beberapa kasus masih disidangkan pada tingkat pertama dan kedua di Jakarta. Semua terdakwa dari Sulawesi Tengah diadili di Jakarta, meski persidangan berlangsung setelah desentralisasi pengadilan Tipikor.

Manggala Agni memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Foto: Istimewa

Menurut KUHAP Indonesia,8e39b6f03246 perkara dapat diadili di pengadilan yang bertanggung jawab atas wilayah tempat terjadinya kejahatan (locus delictius); atau, sebagai alternatif, untuk alasan efisiensi, di mana mayoritas saksi berada; atau di lokasi lain untuk alasan keamanan.6c27d9301409 Saksi, terdakwa (dengan jaminan), penyidik, jaksa, dan hakim semuanya dapat mengalami tekanan dan ancaman publik yang mungkin lebih mudah dihindari atau dikendalikan di lokasi lain. Di Sulawesi Tengah, pendukung Bupati Buol yang sedang berkampanye untuk masa jabatan kedua segera berkumpul saat ditangkap di kediamannya. Dia lolos dari penangkapan sebelumnya dengan menabrak sepeda motor seorang petugas KPK dengan mobilnya.e8341dc69ce0 Karena suasana yang tidak bersahabat di provinsi tersebut, persidangan dipindahkan ke Jakarta.

Sebagai perbandingan, setelah 2011 kasus dari Riau dan Jawa Barat diadili di pengadilan antikorupsi setempat. Misalnya FX Yohan Yap alias Yohan, M. Zairin, dan Rachmat Yasin diadili di Bandung karena kejahatannya terjadi di Jawa Barat. Baru di tingkat kasasi FX Yohan Yap diadili di Jakarta. Edison Marudut dan Annas Maamun, Gubernur Provinsi Riau, juga diadili di pengadilan di Bandung karena pembayaran suap terjadi di Jawa Barat (sebenarnya di Jakarta Selatan). Gulat Manurung yang juga merupakan bagian dari transaksi itu diadili di Jakarta.

Arwin AS, Burhanuddin Husin, Rusli Zainal, dan Syuhada Tasman diadili di Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, sebelum kasasi mereka disidangkan di Jakarta (tempat semua kasus kasasi disidangkan).

Jenis tuntutan pidana

UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang diamendemen dengan UU 20/2001, membedakan 30 jenis Tindak Pidana Korupsi. KPKb60a66a2590b mengelompokkannya menjadi tujuh kategori:

  1. Penyalahgunaan kekuasaan menyebabkan kerugian negara
  2. Penyuapan
  3. Penggelapan
  4. Pemerasan
  5. Penipuan
  6. Konflik kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi/hadiah

Kategori kedelapan, tidak secara khusus tentang korupsi tetapi bagian dari undang-undang, adalah menghalangi peradilan. Dalam dakwaannya terhadap 30 terdakwa terkait kehutanan, dakwaan primer KPK adalah penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, gratifikasi, dan, dalam satu kasus, menghalangi peradilan terkait kasus suap.

Sepuluh terdakwa dalam dua kasus pertama yang diteliti di sini (Kalimantan Timur dan Riau 1) semuanya didakwa dengan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan negara berdasarkan Pasal 2 (1), yang berbunyi:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Atas dakwaan tersebut KPK harus memberikan bukti bahwa (a) telah terjadi perbuatan melawan hukum, (b) ada yang diuntungkan dari perbuatan tersebut, dan (c) merugikan negara. Definisi ketiga elemen tersebut telah memicu perdebatan hukum.

Dalam 10 dakwaan yang dikaji di sini, KPK pertama-tama menetapkan pengelolaan hutan dan peraturan perizinan di bawah UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar 'secara tidak sah' dan memperkaya mereka yang terlibat. Misalnya, dalam kasus sektor kehutanan pertama, awalnya KPK mendakwa Gubernur Kaltim, Suwarna Abdul Fatah, karena menyalahgunakan dan melampaui kewenangannya sebagai gubernur serta melanggar seluruh peraturan dan ketetapan Kementerian Kehutanan tentang penerbitan izin dan lisensi selama periode Agustus 1999 sampai 2002. Selanjutnya ia dituduh memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain, dalam hal ini Martias alias Pung Kian Hwa dan PT Surya Dumai Group, dengan menebang dan menjual hampir 697.260 meter kubik kayu secara ilegal.

Tuduhan utama KPK adalah penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, dan penerimaan gratifikasi ilegal

Dengan berlakunya UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kementerian Kehutanan membentuk unit penyidik ​​khusus untuk mengusut tindak pidana perusakan hutan, termasuk penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah. Sejak saat itu, penuntutan KPK difokuskan pada kasus suap dan gratifikasi ilegal sebagai dakwaan utama, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah, Riau 2 dan 3, dan Jawa Barat. Sebagai bagian dari penelitian untuk artikel ini, tidak dapat ditentukan dengan pasti apakah fokus KPK pada dakwaan suap (bukan penyalahgunaan kekuasaan) mencerminkan pembagian kerja yang implisit dengan unit baru di Kementerian Kehutanan atau memang seharusnya demikian. Alasan lain adalah sulitnya menetapkan kerugian negara untuk mendukung tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut salah satu pengkaji artikel ini, akan semakin sulit menetapkan kerugian negara dalam kasus-kasus yang hutannya tidak berkualitas tinggi dan telah yang ditebang secara illegal. Ini terutama bagikawasan yang, meski masih resmi hutan, hanya memiliki kayu dengan kualitas lebih rendah dan sudah ditetapkan untuk konversi.

Alasan lain untuk strategi penuntutan berbeda pada 2013 mungkin adalah pergantian kepemimpinan KPK pada akhir 2012. KPK dipimpin lima komisioner yang diangkat untuk masa jabatan empat tahun dalam proses seleksi berurutan yang pertama melibatkan pemerintah, lalu kemudian DPR.

Dalam kasus yang dituntut setelah 2013, KPK mendakwa sembilan terdakwa dari sektor swasta dengan suap kepada pejabat negara berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU 31/1999, yang diamandemen dengan UU 20/2001, yang menyatakan:

Setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”

Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng juga didakwa dengan penyuapan berdasarkan Pasal 5, namun dakwaan utamanya adalah menghalangi keadilan setelah penyelidikan terhadap FX Yohan Yap dimulai. Antara lain, ia menginstruksikan orang lain menyembunyikan dokumen sebelum bisa disita, mengeluarkan kontrak secara surut untuk menyembunyikan pembayaran suap, dan memberikan pernyataan saksi palsu.

Setelah 2013, penerima suap dari sektor publik, dengan satu pengecualian, dikenakan pasal 12, sebagai dakwaan utama atau primer, dengan penerimaan gratifikasi atau hadiah ilegal. Pasal 12 menetapkan adalah tanggung jawab terdakwa untuk menunjukkan gratifikasi di atas Rp 10 juta bukanlah suap. Undang-undang tersebut menetapkan hukuman penjara empat hingga 20 tahun dan denda antara Rp 200 juta hingga 1 miliar - hukuman yang sama dengan penyalahgunaan kekuasaan berdasarkan Pasal 2 (1). Karena itu, pasal ini menetapkan pedoman lebih tegas dibanding Pasal 5 (2), yang mengatur kalimat yang sama untuk penerima suap seperti untuk pembayar suap. Pasal 12 B mengatur:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pasal murni suap adalah pasal 11, di mana tanggung jawab pembuktian ada pada penuntut berapapun besarnya suap tersebut. Pasal ini memiliki kalimat lebih lemah dan hanya menjadi tuduhan tambahan dalam kasus-kasus yang dipelajari di sini:

Pegawai negeri atau aparatur negara yang menerima pembayaran atau janji yang diyakini telah diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berkaitan dengan jabatan atau hadiah atau janjinya yang menurut penyumbang masih ada hubungannya dengan jabatannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Jaksa KPK dengan demikian memaksimalkan potensi hukuman dengan membawa dakwaan gratifikasi ilegal lebih kuat berdasarkan Pasal 12 sebagai dakwaan utama, menempatkan tanggung jawab pembuktian pada terdakwa, dan mengajukan dakwaan suap berdasarkan Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 hanya sebagai dakwaan tambahan. Ini adalah strategi cerdas dan gemilang dari jaksa penuntut, menghasilkan putusan bersalah untuk semua terdakwa (dibahas lebih lanjut di bawah).

Profil tergugat dan lolosnya perusahaan

Sifat kasus sektor kehutanan, yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk mengeluarkan izin secara ilegal atau suap untuk mendapatkan izin dan konsesi, menyiratkan pelaku sektor swasta diuntungkan dari penggunaan izin tersebut. Pada Gambar 3 kami telah mengelompokkan para terdakwa berdasarkan sektor dan kategori profesional. Di antara 30 terdakwa hanya ada satu perempuan, Siti Hartati Murdaya, direktur utama PT Hardaya Inti Plantations dan PT Cipta Cakra Murdaya. Jenis kelamin jaksa, hakim, dan saksi tidak selalu memungkinkan untuk ditentukan berdasarkan nama mereka dalam putusan, karena beberapa nama Indonesia netral gender, tetapi di dalam kelompok ini perempuan jelas termasuk minoritas.

Sembilan terdakwa dari sektor swasta yang dituduh melakukan suap semuanya adalah manajer senior dan kepala direksi perusahaan yang terlibat. Tercatat, dari 13 terdakwa dalam tiga kasus Riau, hanya satu yang berasal dari pihak swasta, Chandra Antonio Tan, Managing Director PT Chandratex Indo Artha. Kasus-kasus di Siak dan Pelalawan tidak menuntut para konglomerat yang terlibat yang membeli perusahaan-perusahaan yang didirikan bupati. Dalam analisis jejaring sosialnya, Baker mengamati seorang saksi kunci/calon tersangka kasus Pelalawan, Rosman, yang merupakan General Manager PT Riau Andalan Pulp and Paper, melarikan diri saat pemeriksaan. Baker juga menemukan penyelidikan dan penuntutan berhenti pada transaksi tingkat pertama; aliran uang tidak ditelusuri lebih jauh.

Perusahaan sendiri tidak dituntut, padahal UU 31/1999 yang diamandemen dengan UU 20/2001 mengatur bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana korupsi. Pasal 20 menyatakan: “(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. (2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”

Ada dua alasan utama tidak adanya tuntutan terhadap perusahaan yang terlibat dalam kasus yang dibahas di sini, menurut sumber di KPK dan aktivis lingkungan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh sumber KPK adalah tidak adanya hukum acara pidana yang mendakwa korporasi sebelum diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 13/2016 (setelah putusan akhir perkara yang dibahas di sini). Hambatan lain, yang masih diupayakan KPK bersama aliansi pemerintah dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, adalah tidak adanya daftar pemilik manfaat di Indonesia yang terverifikasi. Nota kesepahaman antar kementerian mulai Juli 2019 memperkirakan pembentukan pangkalan data terintegrasi antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Kemungkinan alasan ketiga, yang tidak dapat diverifikasi sebagai bagian dari penelitian yang dilakukan untuk studi ini, adalah perusahaan-perusahaan tersebut diperas pejabat pemerintah daerah.

KPK telah mendakwa lebih dari 30 terdakwa yang terlibat dalam korupsi sektor kehutanan

KPK telah mendakwa sekitar 10 perusahaan lintas sektor sejak peraturan Mahkamah Agung tahun 2016, dan pada 2019 KPK mengajukan dakwaan korupsi pertama kali terhadap sebuah perusahaan di sektor kehutanan: PT Palma Satu, anak perusahaan dari Grup Darmex, yang pemiliknya adalah miliarder, Surya Darmadi, juga didakwa dalam skandal tersebut (Morse 2020).

Gambar Profesi terdakwa

Lama investigasi, persidangan, banding

Berdasarkan undang-undang, kombinasi kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK hadir dengan pengamanan khusus yang harus dilihat sebagai tanggapan atas kekesalan publik terhadap kinerja Polri dan Kejaksaan. Setelah berpindah dari penyelidikan ke tahap penyidikan, KPK wajib melanjutkan ke penuntutan dan pengadilan (Pasal 40, UU 30/2002). Berbeda dengan kepolisian dan Kejaksaan, KPK tidak bisa menghentikan proses penyidikan atau dakwaan jika, misalnya, ditemukan bukti permulaan tidak akan bertahan di pengadilan. Alasan persyaratan ini berasal dari reputasi buruk Surat Penghentian Penyidikan Penyidikan (SP3). Kewenangan SP3 memberi polisi dan jaksa penuntut umum keleluasaan menghentikan penyeliidikan dan penuntutan serta menawarkan peluang besar terhadap pelecehanuntuk disalahgunakan, seperti pemerasan terhadap tersangka dan saksi dengan menawarkan menghentikan penyelidikan dengan imbalan suap.

Seluruh 30 terdakwa menerima hukuman penjara

KUHAP Indonesia, dalam Pasal 23-29, menetapkan masa penahanan maksimum bagi terdakwa hingga 40 hari selama penyidikan dan hingga 30 hari selama tahap dakwaan. Jika hukuman maksimum untuk kejahatan tersebut lebih dari sembilan tahun penjara, penahanan dapat diperpanjang hingga paling lama 150 hari atas perintah hakim pengadilan negeri. Oleh karena itu, jika terdakwa ditahan, penyidik ​​dan jaksa KPK berada di bawah tekanan untuk bergerak secepatnya jika mereka tidak ingin melepaskan terdakwa sebelum sidang (dan berisiko membuat mereka dibebaskan dengan jaminan). Keseluruhan terdakwa yang berjumlah 30 orang telah dimasukkan ke dalam penahanan pra-sidang.

UU 30/2002, yang menetapkan KPK, mengatur batas waktu yang ketat untuk menyampaikan putusan: 90 hari sejak dimulainya persidangan untuk pengadilan tingkat pertama, 60 hari untuk pengadilan banding, dan 90 hari untuk kasasi (Pasal 58). Garis waktu ini dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan menumpuknya kasus yang belum diputuskan, yang lazim terjadi di Mahkamah Agung. Batas waktu kasus pertama dan persidangan kasasi diperpanjang menjadi 120 hari masing-masing oleh UU 46/2009 (yang disebut UU Tipikor, berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan antikorupsi). Tenggat waktu ini telah ditaati dalam sebagian besar kasus KPK, termasuk kasus yang dibahas di sini. Dengan tidak adanya sanksi disipliner atau hukum untuk persidangan yang tertunda, tekanan datang dari media dan pengawasan publik dan, mungkin, dari tekanan rekan profesi, karena tidak ingin terlibat dalam persidangan berkepanjangan.

Untuk kasus-kasus yang kami teliti, meski batas waktu dari mulai penyidikan hingga putusan yang mengikat tidak dapat ditentukan berdasarkan putusan pengadilan saja, namun setelah didakwa, kasus tersebut bergerak cukup cepat melalui pengadilan. Ini luar biasa, tidak hanya dibandingkan dengan sistem peradilan umum di Indonesia dan Mahkamah Agung, dengan tumpukan kasus yang sangat banyak,tetapi juga jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yang kasus-kasus korupsi besar sering berlarut-larut di pengadilan selama satu dekade atau bahkan lebih lama.

Hukuman penjara dan banding

Rata-rata hukuman penjara final dan mengikat (in kracht) dalam 30 kasus ini adalah lima tahun. Gambar 4 menunjukkan kasus berdasarkan lamanya hukuman yang diajukan penuntut. Perbedaan rata-rata antara tuntutan KPK dalam dakwaan dan putusan akhir adalah 1,37 tahun. Dua kasus khusus adalah kasus Martias alias Pung Kian Hwa dan Al Amien Nasution. Pada tingkat kasasi, tuntutan utama terhadap Martias (no. 26 pada Gambar 4) dibatalkan dan hukumannya dikurangi 7,5 tahun. Hukuman terakhir untuk Al Amien Nasution (no. 29) tujuh tahun kurang dari yang diminta KPK, juga karena dakwaan utama terhadapnya dibatalkan. Jika kedua kasus ini dikecualikan, perbedaan rata-rata antara permintaan dalam tuntutan dan putusan akhir kurang dari satu tahun (0,96).

Dalam kasus FX Yohan Yap (no. 1), pengadilan menjatuhkan hukuman lebih tinggi (lima tahun penjara) dari yang diminta jaksa penuntut (dua tahun). Hukuman Yohan Yap juga lebih tinggi dari atasannya Kwee Cahyadi Kumala (no. 22), yang hukuman terakhirnya dikurangi menjadi 2,5 tahun, setelah peninjauan kembali diterima Mahkamah Agung. Nampaknya pada tingkat banding, pengadilan memutuskan Yohan Yap dan para konspiratornya 'hanya mempertimbangkan, memikirkan, dan mengedepankan kepentingan bisnis mereka tanpa memperhatikan dan memperhatikan kepentingan anak dan cucu kita di masa depan.' Pengadilan juga menilai tindakannya dapat merusak lingkungan dan ekosistem, sehingga menimbulkan risiko banjir yang dapat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat di daerah tersebut.52f58ae827dc

Gambar Hukuman di semua tingkatan

Gambar menunjukkan setengah dari 30 kasus terdakwa sampai ke Mahkamah Agung, termasuk empat tinjauan kasus (lajur hijau tua). Hanya lima kasus yang dihentikan di tingkat banding. Sepuluh kasus tidak naik banding. Tidak ada analisis sistematis yang dilakukan sebagai bagian dari studi ini mengenai pihak mana yang mengajukan banding. Jaksa KPK biasanya akan meminta izin ke komisioner KPK untuk naik banding ke pengadilan lebih tinggi jika hukumannya kurang dari dua pertiga dari yang mereka minta. Namun dari pemberitaan media diketahui banyak terdakwa dalam kasus KPK juga mengajukan banding.

Gambar : Putusan akhir tingkat pengadilan

* Empat peninjauan kasus yang langsung dari tingkat pertama hingga peninjauan kasus oleh Mahkamah Agung dicantumkan di sini sedang dalam kasasi

Banding kebanyakan terjadi untuk hukuman di atas enam tahun; namun, pada tingkat banding kemungkinan hukuman lebih tinggi. Kasasi memang seperti berjudi, tapi hanya dalam kasus Kwee Cahyadi Kumala yang notabene peninjauan kembali dan bukan kasasi, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman lebih rendah dari yang dijatuhkan pada putusan tingkat pertama. Oleh karena itu, akan lebih baik bagi terdakwa jika tidak ada banding (terlepas dari siapa yang mengajukan banding, pembelaan atau penuntutan).

Kerugian, penyitaan dan pemulihan aset, dan restitusi

Merupakan mandat KPK untuk mengusut dan mengadili kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum atau pejabat publik, yang menimbulkan keprihatinan masyarakat luas, dan/atau merugikan negara paling sedikit Rp 1 miliar. Kerugian negara harus dibuktikan sebagai bagian dari dakwaan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetapi hal ini tidak berlaku bagi kerugian negara atas tindak pidana lain yang tercantum dalam UU 31/1999, amandemen UU 20/2001.

Apa yang dimaksud dengan keuangan negara dan kerugian terkait kerugian negara atau kerugian keuangan negara didefinisikan berbeda oleh undang-undang berbeda, dengan beberapa tumpang tindih dan kesenjangan, dan merupakan isu perdebatan yang sedang berlangsung. Dalam kasus Kalimantan Timur dan Riau 1 yang dibahas di sini, kerugian negara harus dibuktikan sebagai bagian dari dakwaan penyalahgunaan kekuasaan, jaksa KPK berpegang pada standar harga kayu yang ditebang secara ilegal, dengan perhitungan yang diberikan oleh BPKPP.

Namun, di media dan pemberitaan lainnya, kita juga dapat menemukan perkiraan kerugian negara yang mencakup tidak hanya jumlah kayu yang ditebang dan dijual secara ilegal, tetapi juga suap yang telah dibayarkan dan keuntungan tambahan yang terbukti diperoleh dari tindakan ilegal tersebut. Dalam kasus baru-baru ini terhadap mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, KPK untuk pertama kalinya menghitung kerugian finansial berdasarkan kerusakan lingkungan, meski jaksa enggan mengklaim secara formal sebagai kerugian negara dalam dakwaan (lihat Kotak 1).

Terlepas dari apakah kerugian negara ditentukan atau tidak, jaksa penuntut dapat meminta denda dan hukuman tambahan selain hukuman penjara. UU 31/1999 sebagaimana telah diamandemen dengan UU 20/2001 mengatur sanksi tambahan dalam Pasal 18 (1):

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Jaksa KPK meminta ganti rugi hanya dari lima terdakwa

Jaksa KPK meminta restitusi (pembayaran kompensasi) hanya dari lima terdakwa, dan pengadilan menyetujui kelima kasus (Tabel 1). Orang-orang ini, terutama, adalah terdakwa dalam dua kasus pertama di mana dakwaan utamanya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan kerugian negara, sehingga kerugian negara perlu ditetapkan sebagai bagian dari dakwaan tersebut. Dalam kasus suap dan gratifikasi yang menyusul, hanya putusan Amran Abdulah Batalipu yang memerintahkannya membayar restitusi kepada negara. Jumlahnya, Rp 3 miliar, adalah jumlah suap yang diterimanya, meski baru Rp 2 miliar yang dibayarkan kepadanya (selain Rp 1 miliar yang sebelumnya telah dialihkan kepadanya) selama operasi tangkap tangan oleh KPK seharusnya terdaftar sebagai aset yang disita.

Sampai saat ini, tidak ada izin yang diperoleh secara ilegal dalam kasus mana pun yang dibahas dalam artikel ini yang dicabut karena kasus pidana yang dibahas di sini. Pada 2012, Koalisi Anti Mafia Hutan, aliansi masyarakat sipil Indonesia, menuntut dalam siaran pers bersama agar KPK juga memburu para konglomerat yang diuntungkan dari perizinan ilegal dalam kasus Riau.

Tabel 1: Kerugian ekonomi negara, aset yang disita, denda, dan restitusi per tergugat (putusan akhir), dikelompokkan berdasarkan kasus

Provinsi Terdakwa Kerugian ekonomi negara (kerugian negara) Aset yang disita oleh pengadilan (dirampas untuk negara) Denda Restitusi (Uang pengganti)
Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah Rp 346.823.970.564 Rp 250 juta
Martias alias Pung Kian Hwa Rp 346.823.970.564 Rp 300 juta Rp 346.823.970.564
Uuh Aliyudin Rp 346.823.970.564 Rp 200 juta
Robian Rp 346.823.970.564 Rp 200 juta
Riau 1 Rusli Zainal Rp 265,91 miliar USD 1.600 Rp 1 miliar
Tengku Azmun Jaafar Rp 1.208.625.819.554 Rp 6.072.626.434 Rp 500 juta Rp 12.367.780.000
Burhanuddin Husin Rp 519.580.718.790 Rp 1,1 miliar Rp 500 juta
Syuhada Tasman Rp 153.024.496.294 Rp 5 juta Rp 250 juta
Asral Rachman Rp 655.324.675.125 Rp 3,13 miliar Rp 250 juta Rp 1.544.200.000, minus aset yang sudah disita Rp 600.000.000
Arwin AS
Rp 301.653.789.091 Rp 500 juta Rp 200 juta Rp 850 juta dan USD 2.000
Riau 2 Al Amien Nasution Rp 114.337.500; 2 ponsel Rp 250 juta
Sarjan Tahir Rp 100 juta Rp 250 juta
Yusuf Erwin Faishal 2 telepon pintar; SGD 85.000; Rp 75.000.000; USD 5.000 Rp 250 juta
Azirwan Rp 150 juta
Chandra Antonio Tan Rp 3,32 miliar; 1 ponsel, 1 Kartu SIM, 1 kartu memori Rp 250 juta

Azwar Chesputra

Rp 975.000.000 (putusan bersama) Rp 200 juta
Hilman Indra
Rp 200 juta
HM Faachri Andi Leluasa
Rp 200 juta
Sulawesi Tengah Amran Abdulah Batalipu Rp 500 juta Rp 3 miliar
Gondo Sudjono Rp 50 juta
Siti Hartati Murdaya Rp 92 juta Rp 200 juta
Totok Lestiyo Rp 50 juta
Yani Ansori Rp 50 juta
Jawa barat Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng Rp 200 juta
M. Zairin Rp 300 juta
Rachmat Yasin Rp 300 juta
FX Yohan Yap alias Yohan
Rp 250 juta
Riau 3 Annas Maamun
SGD 224.000; Rp 713.650.000; USD 32.000; 5 ponsel Rp 200 juta
Gulat Medali Emas Manurung
Rp 100 juta
Edison Marudut Marsada Uli Siahaan
Rp 100 juta
Kotak 1: Kasus Nur Alam: Upaya memberi nilai pada kerusakan lingkungan

Kasus mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, istimewa karena jaksa KPK untuk pertama kalinya tidak hanya menuntut hukuman penjara, denda, dan uang restitusi (uang pengganti) atas hilangnya pendapatan, tapi juga memperhitungkan kerugian ekonomi yang diderita negara akibat kerusakan lingkungan akibat dikeluarkannya izin pertambangan secara ilegal. Berdasarkan keterangan saksi ahli, Basuki Wasis, kerugian negara berasal dari tiga sumber: kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya rehabilitasi lingkungan. Penghitungan itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Setelah pemeriksaan seksama termasuk kunjungan situs, ahli dan tim KPK menyimpulkan total kerugian negara di sektor lingkungan mencapai Rp 2,73 triliun. Tim KPK juga menambah Rp 1,6 triliun lagi dari keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang, PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB). Dengan demikian total kerugian ekonomi negara mencapai Rp 4,3 triliun.

KPK mendakwa Nur Alam karena menyalahgunakan kekuasaan yang merugikan negara dengan menerima gratifikasi secara ilegal (Pasal 2 dan 12B UU 31/1999 sebagaimana amandemen UU 20/2001). KPK meminta pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara ke Nur Alam, denda Rp 1 miliar, dan restitusi Rp 2,7 miliar. Jaksa KPK tidak secara khusus meminta Nur Alam membayar Rp 4,3 triliun untuk mengganti kerugian negara. Menurut penjelasan jaksa KPK, kerugian ekonomi negara akibat kerusakan lingkungan akan dibebankan kepada perusahaan, PT AHB.

Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Nur Alam 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan restitusi Rp 2,7 miliar. Nur Alam mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, tetapi hukumannya ditingkatkan menjadi 15 tahun, dengan jumlah denda dan restitusi yang sama. Tak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi, Nur Alam mengajukan kasasi ke MA. Hakim menyimpulkan Nur Alam hanya melanggar Pasal 12B tentang gratifikasi, dan sebagai konsekuensinya, Mahkamah Agung mengurangi hukuman kurungannya menjadi 12 tahun, dengan jumlah denda dan restitusi yang sama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung semuanya dengan jelas menyatakan Nur Alam juga bersalah karena menerima suap, bukan hanya gratifikasi seperti dituntut KPK. (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 123/Pid.Sus-TPK/2017/PN Jkt.Pst., dan Mahkamah Agung, Keputusan No. 2633 K/PID.SUS/2018).

Pemeriksaan mendalam terhadap keputusan Mahkamah Agung menunjukkan ketidakkonsistenan berikut:

1. Pengadilan menyimpulkan Nur Alam dibebaskan dari dakwaan berdasarkan Pasal 2 dan 3 tentang kerugian perekonomian negara, tetapi Mahkamah Agung tetap mempertahankan besaran denda dan ganti rugi atas pelanggaran Pasal 2 dan 3.

2. Jumlah restitusi (Rp 2,7 miliar) jauh lebih rendah dari suap/gratifikasi yang diterima Nur Alam. Berdasarkan dokumen pengadilan, Nur Alam menerima USD 4.499.900 (setara dengan Rp 40,2 miliar) dari Richcorp International Ltd., anak perusahaan PT AHB. Kekeliruan itu juga disumbang jaksa KPK, karena mereka hanya meminta Nur Alam membayar ganti rugi Rp 2,7 miliar atas kejahatannya.

Dalam Peninjauan Kembali, Nur Alam mengaku mempunyai bukti baru yang menguntungkan dirinya usai sidang. Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali pada Mei 2020. Pada saat laporan ini ditulis, penyidik ​​dan jaksa KPK masih mempertimbangkan apakah akan secara resmi menuntut PT AHB dan para pengurusnya karena menyuap Nur Alam dan menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi bagi negara.

Rekomendasi: Paradigma penuntutan baru

Tebang pilih adalah istilah yang awalnya digunakan dalam kaitannya dengan penebangan hutan, istilah yang merujuk pada praktik yang diperdebatkan untuk menebang pohon tertentu secara selektif dan meninggalkan sisanya. Ungkapan tersebut juga digunakan untuk menggambarkan selektifitas KPK dalam mengusut perkara. Berdasarkan UU 30/2002, KPK harus menyidangkan semua kasus yang telah ditersangkakan ke pengadilan sehingga membuat KPK sangat berhati-hati dalam meningkatkan kepenyidikan resmi jika belum ada bukti awal yang kuat, agar tidak kalah di pengadilan dan merusak rekor KPK yang hampirr 100 persen keberhasilannya. Hal ini menimbulkan tuduhan bahwa KPK melakukan 'cherry-picking' (tebang pilih), atau bahkan penyidikan yang bias.

Analisis dari putusan saja tidak memungkinkan untuk memastikan pemeriksaan yang bias dalam investigasi. Namun, vonis yang dibandingkan di dalam studi ini menunjukkan bahwa KPK hanya menggunakan sebagian kecil dari alat alat hukum yang tersedia di “kotak peralatan” peradilan pidana -– dan jika atau dilanjutkan dengan metafora hutan, KPK hanya menggunakan gunting taman sederhana untuk memotong cabang pohon yang terinfeksi penyakit.

Perusahaan yang diuntungkan dari korupsi tidak didenda dan tidak kehilangan izin yang diperoleh secara ilegal

KPK telah mendakwa lebih dari 30 terdakwa yang terlibat dalam tindakan korupsi terkait sektor kehutanan, yang semuanya mengakibatkan deforestasi dan penggunaan untuk kepentingan komersial secara ilegal di sebagian besar lahan di Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Riau, dan Jawa Barat. Semua terdakwa menerima hukuman penjara, tetapi pada saat penulisan, sebagian besar telah menyelesaikan hukuman mereka dan dibebaskan dari penjara. Perusahaan-perusahaan yang diuntungkan dari transaksi korup tidak didenda dan tidak pernah kehilangan izin yang diperoleh secara ilegal.

Berdasarkan tuntutan dalam dakwaannya, KPK bisa dikatakan relatif berhasil. Tuduhannya sebagian besar telah dikabulkan pengadilan, meski hukuman penjara terakhir rata-rata setahun lebih rendah. Dalam pengabaian dakwaan terhadap perusahaan yang diuntungkan, serta kegagalan meminta restitusi aset (pemulihan penuh dari hasil kejahatan ditambah kerusakan lingkungan), dakwaannya bisa jauh dari ideal. Kenyataan seperti ini membuat KPK tidak bisa bertindak sebagai 'pemicu perubahan' sebagaimana yang dicanangkan oleh KPK.

Hanya dua kasus terkait kehutanan yang didakwa KPK sejak 2016

Kritik ini bukan berita baru bagi KPK. Memang, lembaga tersebut telah memulai upaya mengejar perusahaan yang diuntungkan dari kesepakatan korupsi dan memberikan nilai pada kerugian ekonomi yang diderita negara akibat kerusakan lingkungan. Namun kemajuannya terlalu lambat, dan hal ini menghambat kemampuan KPK menunjukkan nilainya dari segi biaya-manfaat. Hanya dua kasus terkait kehutanan yang telah didakwa KPK sejak 2016; hal ini tak sejalan dengan upaya bagian pencegahan KPK tersebut melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi dan dukungannya terhadap Kebijakan Satu Peta dan kajian-kajian atas sektor ini.

Berdasarkan tinjauan di atas, kami dapat menawarkan beberapa rekomendasi untuk penuntutan kasus korupsi terkait kehutanan (dan yang serupa):

  • Menerapkan strategi pencegahan dan penegakan hukum yang koheren di sektor ini, didukung oleh infrastruktur berbagi informasi dan pengetahuan yang kuat.
  • Menuntut perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari transaksi korup.
  • Lebih menekankan pada pemulihan aset dan restitusi.
  • Terus memberikan nilai pada kerusakan lingkungan dan minta restitusi.
  • Menuntut pencabutan izin jika pengadilan memutuskan izin tersebut diperoleh secara ilegal.

Ke depan, KPK tidak bisa cukup berbangga dengan vonis hukuman yang nyaris sempurna, tetapi juga harus secara inovatif dan berani membuka jalur hukum penuntutan di sektor sumber daya alam dan menjadi preseden yang dapat diikuti Polri dan Kejaksaan. Instruksi Ketua KPK Firli Bahuri kepada kedeputian penindakan baru-baru ini untuk memberantas korupsi di bidang pertambangan dan bisnis sumber daya alam lainnya menimbulkan harapan bagi kami untuk menganalisis lebih banyak kasus kehutanan yang dibawa ke pengadilan di masa yang akan datang.

Daftar terdakwa dan putusan dalam urutan panjang hukuman yang diminta KPK

Sesuai penomoran dari keputusan pengadilan.

1. FX Yohan Yap alias Yohan

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No. 63/Pid.Sus/TPK/2014 /Pn.Bdg.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Bandung, Putusan No. 13/TIPIKOR/2014/PT BDG.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung, Putusan No. 624/PID.SUS/2015.

2. Gondo Sudjono

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 52/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 65/PID/TPK/2012/PT/DKI.

3. Yani Ansori

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 53/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 66/PID/TPK/2012/PT.DKI.

4. Azirwan

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 13/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.

5. Chandra Antonio Tan

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 35/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.

6. Gulat Medali Emas Manurung

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No.116/PID.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST.

7. Totok Lestiyo

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 60/PID.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No.07/PID/TPK/2014/PT.DKI.

8. Edison Marudut Marsada Uli Siahaan

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No.78/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Bdg.

9. Arwin AS

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Putusan No. 10/PID.SUS/2011/PN.PBR.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung Putusan No. 226 PK/Pid.Sus/2012. (review kasus; ditolak)

10. Asral Rachman

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 16/PID.B/TPK/2010/PN.JKT-PST.

11. Azwar Chesputra

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 12/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung Putusan No. 23 PK/PID.SUS/2012 (Peninjauan Kembali).

12. Hilman Indra

  • Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 12/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung Putusan No. 23 PK/PID.SUS/2012 (Peninjauan Kembali).

13. H. M. Fachri Andi Leluasa

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 12/PID.B/TPK/2010/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung Putusan No. 23 PK/PID.SUS/2012 (Peninjauan Kembali).

14. M. Zairin

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No. 88/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Bdg.

15. Robian

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 03/PID.B/TPK/2007/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 08/PID/TPK/2007/PT.DKI (putusan tidak diperoleh).
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung Putusan No. 248 K/Pid.Sus/2008.

16. Sarjan Tahir

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 22/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.

17. Siti Hartati Murdaya

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 76/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 13/PID/TPK/2013/PT.DKI.

18. Syuhada Tasman

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Putusan No. 17/Pid.Sus/2011/PN.PBR.

19. Uuh Aliyudin

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 02/Pid.B/TPK/2007/PN.JKT.PST (tidak ada putusan).
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 312/Pen/10/Pid/TpK/2007/PT.DKI.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung, Putusan No. 94 K/Pid.Sus/2008.

20. Annas Maamun

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No. 35/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Bandung, Putusan No. 22/TIPIKOR/2015/PT.BDG.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung, Putusan No. 2819/K/Pid.Sus/2015.

21. Burhanuddin Husin

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Putusan No. 21/Pid.Sus/2012/PN-PBR.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Putusan No. 26/PID.SUS/2012/PTR.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung, Putusan No.804 K/Pid.Sus/2013.

22. Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 08/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST.
  • Tidak ada banding, tapi hak uji materioleh Mahkamah Agung.
  • Mahkamah Agung Putusan No. 995/TU/2016/1 PK/PID.SUS/2016.

23. Yusuf Erwin Faishal

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 29/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.

24. Suwarna Abdul Fatah

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 29/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 03/PID/TPK/2007/PT.DKI.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung, Putusan No. 380 K/Pid.Sus/2007.

25. Rachmat Yasin

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No. 87/PID.SUS/TPK/2014/PN.Bdg.

26. Martias alias Pung Kian Hwa

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 21/PID.B/TPK/2006/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 05/PID/TPK/2007/PT.DKI.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung, Putusan No. 05/PID/TPK/200/PT.DKI.

27. Amran Abdulah Batalipu

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 64/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 12/Pid/TPK/2013/PT.DKI.

28. Tengku Azmun Jaafar

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 06/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 12/PID/TPK/2008/PT.DKI.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung, Putusan No. 736 K/Pid.Sus/2009.

29. Al Amien Nasution

  • Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan No. 19/ PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Jakarta, 05/PID/TPK/2009/PT.DKI.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung, Putusan No. 1183 K/PID.SUS/2009.

30. Rusli Zainal

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Putusan No. 50/Pid/Sus/Tipikor/2013/PN.PBR.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Putusan No. 11/TIPIKOR/2014.PTR.
  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung, Putusan No. 1648 K/Pid.Sus/2014

Baca tulisan (1) dan (2) 

catatan redaksi

Artikel asli dimuat di U4 Anti-Corruption Recorce Center dengan judul Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan, Pelajaran dari Kasus KPK

Penulis: 
1.Sofie Arjon Schütte
SENIOR ADVISER U4

2. Laode M. Syarif
MANTAN KOMISIONER KPK

SHARE