Membangun Kembali dengan Lebih Baik

Penulis : Medrilzam dan Helen Mountford

Kolom

Senin, 22 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Pandemi Covid-19 merupakan tragedi kemanusiaan di abad ini. Prioritas pemerintah Indonesia saat ini adalah menghentikan penyebaran virus dan menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa sembari menjaga stabilitas ekonomi. Untuk memulihkan perekonomian, pemerintah mengeluarkan stimulus sekitar Rp 641 triliun dan mempersiapkan respons jangka panjang. Seperti halnya berbagai negara di seluruh dunia, respons jangka panjang ini menentukan masa depan Indonesia. Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membangun kembali dengan lebih baik melalui pembangunan rendah karbon.

Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa stimulus pada pembangunan rendah karbon dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Studi terbaru yang dirilis Oxford University menunjukkan bahwa paket pemulihan dan kebijakan ekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan emisi gas rumah kaca memiliki prospek yang lebih baik untuk meningkatkan pendapatan negara dan berbagai sumber daya, seperti masyarakat yang produktif, modal sosial, infrastruktur, dan sumber daya alam.

Pengalaman krisis ekonomi pada masa lalu pun mendukung temuan ini. Dalam paket pemulihan ekonomi Amerika Serikat setelah krisis ekonomi 2008, setiap US$ 1 miliar yang diinvestasikan ke proyek infrastruktur transportasi publik menciptakan hampir dua kali lipat peluang kerja dibanding investasi di jalan raya. Selain itu, investasi Amerika pada energi terbarukan dan efisiensi energi dapat melipatgandakan lapangan kerja dibandingkan dengan investasi pada energi fosil. Adapun Korea Selatan menginvestasikan sebagian besar stimulus setelah krisis 2008 (69 persen) untuk pembangunan rendah karbon, dan negara itu menjadi salah satu yang paling cepat bangkit dari krisis. Dengan memilih kebijakan dan paket pemulihan yang tepat, Indonesia dapat meraih manfaat yang sama.

Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan dalam pembangunan rendah karbon. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 Indonesia menjadi dokumen perencanaan “hijau” pertama yang didasarkan pada hasil riset Pembangunan Rendah Karbon Indonesia, yang digagas Bappenas. Seperti di Amerika dan Korea, terdapat banyak contoh serupa di sini mengenai dampak positif pembangunan rendah karbon.

Aktivitas pertambangan minyak bumi

Di Pulau Belitung, misalnya, masyarakat yang awalnya bergantung pada penambangan timah sebagai mata pencaharian telah beralih ke industri ekowisata dengan membangun Belitung Mangrove Park di kawasan bekas lahan tambang. Ekowisata yang dikelola masyarakat ini telah menciptakan lapangan kerja bagi 164 penduduk dan menghasilkan manfaat ekonomi senilai Rp 50-65 juta per bulan sembari memulihkan 50 hektare lahan mangrove dan ekosistem pesisir lainnya. Keberhasilan ini juga telah menarik investasi tambahan sebesar Rp 21,9 miliar, sebuah peningkatan tajam dari investasi awal sebesar Rp 2 miliar.

Contoh lain adalah upaya perlindungan terhadap hutan gambut di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dari perluasan perkebunan kelapa sawit. Sebagai mata pencaharian alternatif bagi masyarakat, metode pembukaan lahan tanpa bakar diperkenalkan sebagai strategi untuk pertanian berkelanjutan. Metode ini tidak hanya meningkatkan produktivitas beras sebesar 300 persen, dari 2 ton per hektare per tahun menjadi 6 ton per hektare per tahun, dan menghasilkan pendapatan tambahan sebesar Rp 1 juta per bulan untuk setiap keluarga, tapi juga menyelamatkan lahan gambut dan kawasan hutan di sekitarnya dari kebakaran selama tiga tahun berturut-turut. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa insentif fiskal dapat mencapai manfaat ekonomi dan lingkungan secara bersamaan.

Kebijakan stimulus fiskal yang tepat pada sektor energi dan kehutanan menjadi sangat penting dalam skema pemulihan rendah karbon. Di sektor energi, alokasi stimulus fiskal harus diarahkan pada upaya mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi investasi pada bahan bakar fosil. Ketergantungan pada batu bara muncul dari persepsi di masa lampau bahwa biaya batu bara lebih rendah daripada energi terbarukan. Padahal keseluruhan biaya proyek baru batu bara sekarang lebih tinggi daripada investasi pada energi terbarukan yang sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup dan menciptakan lapangan kerja. Transisi menuju energi terbarukan dapat menghindarkan Indonesia dari 40 ribu kematian akibat polusi udara setiap tahun hingga 2045. Meningkatnya polusi udara berarti juga meningkatnya kerentanan masyarakat terhadap penyakit yang menyerang saluran pernapasan, seperti Covid-19.

Di sektor kehutanan, stimulus pemulihan harus diarahkan pada perbaikan tata kelola hutan dan lahan serta reboisasi untuk mencegah meningkatnya kerugian ekonomi, memastikan ketahanan pangan, dan melindungi hutan. Dengan mempertahankan dan memulihkan hutan, Indonesia dapat membangun ketahanan terhadap bencana alam, dampak krisis iklim, dan pandemi di masa depan.

Indonesia telah menjalankan berbagai kebijakan penting untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya hutan, termasuk melalui moratorium pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut. Indonesia dapat memperkuatnya melalui penegakan hukum atas larangan pembukaan hutan dan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan upaya menghasilkan minyak sawit secara berkelanjutan.

Medrilzam
Direktur Lingkungan Hidup Bappenas

Helen Mountford
Vice President Iklim dan Ekonomi World Resources Institute

TEMPO.CO | TERAS.ID

SHARE