Rencana KLHK Gandeng Raksasa Pulp Merestorasi Gambut Dipertanyakan

Penulis : Redaksi Betahita

Gambut

Rabu, 20 Februari 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Koalisi Anti Mafia Hutan menilai Pemerintah dan Perusahaan tidak transparan dalam proses dan dokumen terhadap revisi RKU perusahaan-perusahaan HTI yang mengakibatkan rencana pemulihan ekosistem gambut di area izin HTI tertutup bagi publik.

Hal ini selain membuka ruang kompromi antara perusahaan dengan KLHK sehingga rentan korupsi, juga mengakibatkan publik tidak dapat memantau kinerja pemulihan ekosistem gambut di area izin usaha HTI, demikian siaran pers Koalisi, Senin, 19 Februari 2019.

Pasca kebakaran 2015, 2,6 juta hektar lahan dan hutan terbakar dengan kerugian RP 221 triliun, Pemerintah Indonesia prioritaskan pemulihan dan perlindungan ekosistem gambut.

Januari 2016, Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), melalui Perubahan Peraturan Pemerintah No 71 tahun 2014 (PP71/2014) menjadi PP 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan Ekossistem Gambut.

Pasca kebakaran 2015, 2,6 juta hektar lahan dan hutan terbakar dengan kerugian RP 221 triliun, Pemerintah Indonesia prioritaskan pemulihan dan perlindungan ekosistem gambut. foto/RAN

Tidak hanya itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun menerbitkan peraturan pelaksaan, termasuk penetapan Peta Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) seluas 24,7 juta hektar, 12,3 juta hektar berfunsi budidaya dan 12,4 juta hektar berfungsi lindung.

Area yang ditetapkan sebagai ekosistem gambut berfungsi lindung tersebut mancakup izin usaha skala luas di Sumatera dan Kalimantan yang bertahun-tahun telah dibuka dan dikeringkan sebagai hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit.

Sehingga KLHK mewajibkan izin usaha kehutanan yang areal kerja masuk dalam fungsi lindung ekosistem gambut melakukan revisi rencana kerja usaha (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT). Hal tersebut diatur dalam Permen No 16/MENLHK/SETJEN?KUM/1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut (P.16/2017). Peraturan ini menyebut pelaksaan pemulihan ekosistem gambut dilakukan atas dasar revisi RKU.

Hingga Februari 2018, 45 perusahaan HTI menyampaikan revisi rencana kerja kepada KLHK. Setahun kemudian belum ada muncul ke publik daftar perusahaan tersebut serta rincian perubahan rencana kerja.

Laporan ini menyajikan analisis terhadap peta fungsi ekosistem gambut dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No SK 130/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional (SK130/2017) guna mengetahui kewajiban restorasi ekosistem gambut dua raksasa produsen pulp-kertas terbesar di Indonesia, yakni Asia Pulp and Paper (APP) dan asia Pacific Resources International Limited (APRIL).

Analisis terhadap Peta KHG yang diterbitkan KLHK menunjukkan seluas 1,2 juta ha, setara delapan belas kali luas DKI Jakarta, fungsi lindung ekosistem gambut yang berada di dalam izin usaha HTI pemasok industri APP dan APRIL.

Seluas 793.293 ha izin usaha HTI pemasok industri APP berada di dalam fungsi lindung ekosistem gambut, atau sekitar 31% dari total 2.624.209 ha izin yang dikendalikan oleh grup tersebut.

Pasca kebakaran 2015, 2,6 juta hektar lahan dan hutan terbakar dengan kerugian RP 221 triliun, Pemerintah Indonesia prioritaskan pemulihan dan perlindungan ekosistem gambut.

Pada 2017 KLHK menerbitkan kebijakan lahan pengganti (land swap policy) sebagai kompensasi terhadap areal dalam izin-izin usaha HTI yang terkena dampak perlindungan gambut, dengan mengalokasikan lahan pengganti terhadap areal perlindungan tersebut pada tanah-tanah mineral.

Akan tetapi, Koalisi Anti Mafia Hutan mengkritik kebijakan ini setelah mengungkap bahwa 362.390 ha, atau 40% dari total alokasi, lahan pengganti tersebut ternyata bertutupan hutan alam. APP, salah satu perusahaan yang dialokasikan lahan pengganti tersebut, juga menyebut bahwa pengalokasian lahan pengganti tersebut beresiko meningkatkan konflik dengan masyarakat lokal.

betahita.id gilang helindro

Peta konsesi HTI pemasok APP dan APRIL, fungsi ekosistem gambut di Kalimantan.

KLHK kemudian menyampaikan tidak akan melaksanakan land swap tersebut, namun kebijakan tersebut hingga saat ini belum dicabut.

Pemerintah perlu segera mengkaji secara mendalam kebutuhan industri terhadap HTI saat ini dan memastikannya hanya dipasok oleh hutan tanaman, tanpa mengganggu fungsi lindung ekosistem gambut dan tanpa merusak hutan alam tersisa sama sekali.

Pemerintah dan perusahaan pengendali izin usaha HTI semestinya terbuka terkait ketiga hal berikut: Pertama, fungsi lindung ekosistem gambut di setiap izin usaha HTI. Kedua, hutan tanaman saat ini (existing). Ketiga, kebutuhan bahan baku setiap industri pulp & paper.

Ketiga hal ini bersama-sama dengan jaminan tidak terganggunya fungsi lindung ekosistem gambut dan hutan alam menjadi panduan utama revisi rencana kerja perusahaan, yang sayangnya hingga saat ini prosesnya sangat tertutup dan tanpa menyediakan informasi yang memadai bagi publik.

Data realissasi pemulihan ekosistem gambut dirilis KLHK akhir tahun lalu dan bertepantan dengan tiga tahun dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG). KLHK menyatakan telah memulihkan lahan 3,1 juta hektare lahan gambut di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Perkebunan.

Januari 2016, BRG dibentuk pasca kebakaran hutan dan lahan mencapai level terparah. Adapun BRG merestorasi 679 ribu hektare lahan di luar area konsesi kala itu.

Desember 2020, masa tugas BRG akan berakhir, dikutip koran tempo, Kepala BRG Nazir Foead menyatakan tak mengetahui detail pemulihan gambut di lahan konsesi. Untuk mengetahui detail lahan konsesi yang akan diverifikasi ke lapangan.

“Kami masih menunggu peraturan menteri untuk melakukan supervisi di (kawasan konsesi),” katanya seperti dikutip koran tempo Senin (18/2), di Jakarta

Eko Fambudin, Masyarakat Advokasi Gambut Bengkalis mengatakan masyarakat disekitar areal konsesi sebagian besar bekerja dan mendapatkan manfaat ekonomi jangka pendek dari beroperasinya kembali perusahaan.

Karna menurut Eko, ditengah kondisi ekonomi yang sulit, mendapat pekerjaan yang lumayan pendapatannya sangat mereka harapkan, tanpa metreka berfikir bahwa eksploitasi hutan dan ekosistem gambut akan mereka peroleh dampak negatifnya dikemudian hari.

“Harus ada upaya penyadaran dan edukasi kepada mereka,” katanya saat dihubungi Jum’at (15/2) dari Jakarta.

Karliansyah, Direktur Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, mengatakan BRG tak bisa mengawasi gambut di kawasan konsesi lantaranterbentur aturan.

“Daalam aturan, izin konsesi ada di KLHK yang boleh masuk ke perusahaan hanya pejabat KLHK, karena ini data tak bisa kami publikasikan,” katanya seperti dikutip Koran Tempo Senin (18/2), di Jakarta.

Menurut Eko, pemerintah setengah hati dalam menjalankan komitmen restorasi gambut, tidak tegas menertibkan dan menjalankan aturan pada seluruh perusahaan-perusahaan yang berada didaerah gambut dengan kedalaman tinggi, mengabaikan pemberdayaan masyarakat disekitar ekosistem gambut, tidak mencarikan solusi peningkatan ekonomi masyarakat gambut tanpa eksplorasi gambut secara berlebihan.

Pemerintah gagal menunjukkan eksistensi Negara ketika berhadapan dengan hegemoni pemilik modal, sehingga berkompromi dan negosiasi dalam menerapkan aturan dan regulasi yang telah dibuat, padahal aturan tersebut bertujuan menjaga keberlangsungan ekosistem jangka panjang.

Program restorasi gambut harus menggandeng dunia pendidikan, mulai dari memasukkan urgensi restorasi gambut kedalam system kurikulum pendidikan kita, bekerjasama dengan kampus-kampus untuk membuat kajian-kajian tentang ssosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang tinggalndisekitar gambut, mengedukasi masyarakat agar memiliki pemahaman yang beaik tentanng pelestarian lingkungan.

Pemerintah harus transparan dan mempublikasi dokumen perizinan perusahaan, terutama yang areal konsesinya berada di daerah gambut, mulai dari dokumen perencanaan, RKT, RKU dan lainnya sehingga publiik bisa membantu mengawasi proses dan pelaksanaannya.

Harus Ada Pihak Ketiga

Terkait rencana kerjasama restorasi gambut KLHK dengan dua raksasa bubur kertas, APP dan APRIL. Pakar lingkungan DR Elviriadi menilai harus diimbangi dengan pihak ketiga. Pihak ketiga di sini katanya adalah pihak independen atau kelompok masyarakat sipil dan CSO yang konsen pada isu restorasi gambut.

Baca juga: Kawasan Hutan Produksi Bergambut di Kotawaringin Barat Rusak Akibat Perkebunan Sawit

“Sejak Orde Baru kan memang minim partisipasi publik, ke depan kita berharap lebih ditingkatkan,” katanya saat dihubungi Selasa (12/2/2019), dari Jakarta.

Hanya saja, tambah Elvi, restorasi gambut yang akan dilakukan itu harus mendudukkan 4 poin krusial sebagai berikut, Pertama, restorasi gambut versi perusahaan apakah sama dengan versi pemerintah? Restorasi versi pemerintah memakai standar apa? Apakah mengikuti kaidah konservasi kawasan lindung gambut atau akomodatif terhadap versi perusahaan.

Kedua, agar kecurigaan publik berkurang, di sinilah perlu kehadiran “poros tengah” untuk turut serta dalam upaya restorasi itu. Pemerintah bisa minta data dan keterangan kelompok sipil sejak di awal, pertengahan maupun evaluasi pada akhir restorasi.

“Saya kira Bu Siti Nurbaya wellcome-lah, briefing   dengan aktivis lingkungan dan akademisi biasa beliau lakukan, ” kata pegiat Society of Ethnobiology Ohio State University itu

“Ketiga, saya melihat supervisi KLHK terhadap korporasi itu sebuah langkah maju. Dulu dulu mana ada. Apalagi KLHK sampai digugat perdata gara-gara Revisi Rencana Kegiatan itu. Hanya saja KLHK dalam supervisi tersebut harus base on data lapangan. Pemanggilan sudah, penyerahan berkas Revisi sudah, artinya secara di atas kertas sudah,” katanya.

Apalagi ada Kepmen No 15, 16 tahun 2017 berisi juknis pemilihan gambut. “Yang terpenting itu kan observasi faktual, make sure bahwa data logger dan TMAT (Tinggi Muka Air Tanah) sesuai Kepmen itu. Saya kira poros tengah seperti BPPT, Eyes on the Forest, dan kelompok sipil lain perlu diajak. Biar nyaman kedua belah dan tak ada lagi polemik.

Keempat, jika terdapat  1, 2 juta ha yang merupakan fungsi lindung ekosistem gambut di areal konsesi maka tentu treatmen dan assesement harus berbeda. “Perlu penyadaran struktural pentingnya ekosistem lindung gambut bagi semua pihak. Sebaiknya dikembalikan ke fungsi awal sebagai habitat alami saja.” katanya.

Skema dan metode nya harus dikalkulasikan dengan cermat. Negara punya otoritas yang kuat untuk menakar ikhtiar bagi keadilan ekologis,” katanya

Menurut Elvi, pemerintah perlu segera mengkaji secara mendalam kebutuhan industri terhadap Hutan Tanaman Industri saat ini dan memastikannya hanya dipasok oleh hutan tanaman tanpa mengganggu fungsi lindung ekosistem gambut tanpa merusak hutan alam tersisa sama sekali.

 

SHARE